Globalisasi adalah suatu proses bahwa adanya saling ketergantungan antara sesama aktor sebagai bagian dari human nature. Globalisasi selalu diidentikkan dengan fenomena ekonomi dan teknologi serta juga budaya. Dengan rasa saling ketergantunganlah yang membuat sebuah negara itu melakukan sebuah kerja sama. Â Dengan demikian maka suatu negara atau aktor dapat mencegah dirinya dari situasi konfliktual yang mengarah ke kondisi perang terbuka.
Selama ini, globalisasi selalu identik dengan strategi yang digunakan oleh negara-negara Barat untuk memperluas produk dan pengaruh. Hal ini sesuai dengan legitimasi lembaga internasional yang mengatur kegiatan di seluruh dunia, seperti UNESCO, WTO, IMF di bawah PBB. Dengan begitu melekatnya dominasi barat terhadap arus globalisasi, hal ini menimbulkan ketergantungan antara negara-negara dunia ketiga dengan negara-negara maju tersebut, seperti Amerika Serikat.
Dewasa ini, persaingan antar negara serta menipisnya sumber daya alam memaksa negara-negara untuk mencari alternatif lain dari masalah ekonomi supaya tidak bergantung pada negara lain. Setiap negara memiliki masalah ekonomi sehingga ini membuat negara terus mencari solusi atas masalah ekonominya, salah satunya adalah ekspor budaya. Salah satu faktor pendukung dari pertumbuhan ekonomi suatu negara itu tidak lain adalah budaya. Atas jawaban ini, Korea Selatan mampu melakukan itu serta menjadikan negaranya kini sebagai negara yang paling berhasil dalam ekspor budaya.
Budaya Korea Selatan ini kita kenal dengan Korean Wave. Korean Wave lahir dan menjadi versi globalisasi Asia yang begitu booming selama dekade terakhir. Dengan ini maka saya melihatnya sebagai jawaban atas permasalahan ketergantungan dengan negara-negara barat yang selama ini sebagai stigma pendominasi arus globalisasi. Secara signifikan kita dapat melihatnya kini bahwa Korean Wave telah memengaruhi berbagai negara di beberapa belahan dunia terutama pasar Asia bahkan telah memasuki pasar Amerika. Pengenalan akan Korean Wave Korea Selatan perlahan mengubah selera dan paradigma anak muda saat ini terkait dengan tren yang dulu dibawa oleh budaya Barat.
Penyebaran dan peningkatan ekspor budaya bukan hanya keberhasilan perusahaan hiburan Korea Selatan. Akan tetapi juga keberhasilan pemerintah mengembangkan ekonominya melalui industri budaya, bahkan produk budaya tersebut menjadi kebanggaan bagi pemerintah Korea. Industri ini mendongkrak perekonomian karena membantu meningkatkan jumlah pengunjung atau wisatawan di sektor pariwisata.
Dengan semakin pesatnya perkembangan ekonomi suatu negara ini menimbulkan kerja sama, seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan-Tiongkok. Hubungan Korea Selatan-Tiongkok sendiri sudah berlangsung lama sejak berakhirnya perang Korea(1992) dan telah mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Hal ini diperkuat dengan Korea Selatan dan Tiongkok dalam mengembangkan hubungan bilateral di berbagai bidang seperti pertukaran budaya, pariwisata dan pendidikan. Hubungan ekonomi kedua negara telah berkembang secara signifikan. Namun hal ini tidak lepas dari pesatnya pertumbuhan ekonomi China yang turut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Korea Selatan. Begitupun sebaliknya, juga diikuti perkembangan budaya populer Korea Selatan yang dikenal dengan Korean Wave yang mendapat perhatian khusus di kawasan Asia.
Atas kesamaan budaya antara Korea Selatan dan Tiongkok, Hallyu atau Korean Wave telah menarik perhatian khusus dari masyarakat Tiongkok, khususnya para remaja. Hallyu di Tiongkok sering digambarkan sebagai fenomena unik bagi "Hahanzu". Ini adalah suatu komunitas yang tidak hanya mencintai budaya K-Pop, tetapi juga aspek lain dari negara Korea Selatan yang membuat mereka belajar bahasa Korea, membeli produk Korea seperti skincare,make up.dll.
Seiring perkembangan Korean Wave di Tiongkok yang semakin pesat, pemerintah memperluas penyebutan Korean Wave tidak hanya pada musik dan dramanya. Akan tetapi juga budaya tradisional, sastra, bahasa, dan makanan. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian banyak orang. Sejak itu, drama dan musik Korea menjadi populer tidak hanya di kawasan Asia Timur, tetapi juga di negara-negara lain seperti Meksiko, Mesir, Rusia, Uzbekistan, Mongolia, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa lainnya.
Dengan terjalinnya hubungan kerja sama kedua negara ini, membuat keuntungan tersendiri bagi Korea Selatan. Hal itu dikarenakan dalam pembangunan ekonomi Korea Selatan, Tiongkok lah yang menjadi prioritas dari mitra dagang ekspor. Selain itu perkembangan ekonomi Tiongkok begitu pesat. Pada tahun 2014 Tiongkok merupakan negara penyumbang dari 25% total volume ekspor Korea Selatan yang bernilai kan sekitar US$ 234,5 M.
Korea Utara semakin agresif di dalam menjalankan pembangunan dan pengembangan serta uji coba nuklirnya. Hal ini tentu saja membuat Korea Selatan menjadi khawatir, terlebih lagi karena Korea Utara dan Korea Selatan terus mengalami problematik yang tiada hentinya. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Juli 2016 Korea Selatan memberi pengumuman atas kesepakatan yang dijalinnya dengan US. Kesepakatan tersebut berkaitan dengan US sebagai aliansi dari Korea Selatan menempatkan sistem anti rudalnya yaitu THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) di Korea Selatan.
Pemerintah Korea Selatan tetap bersikukuh atas keputusannya itu meski banyak terjadinya penolakan oleh masyarakatnya. Masyarakatnya menilai bahwa sistem anti rudal tersebut menimbulkan terjadinya gangguan kesehatan akibat radiasi. Akibatnya pemerintah mau tidak mau harus memindahkan sistem anti rudal tersebut yang jauh dari pemukiman yaitu di Seongju. Mungkin ini sangat bermanfaat atau membawa keuntungan bagi Korea Selatan. Hal itu dikarenakan dengan adanya sistem THAAD tersebut dapat meredam adanya ancaman dari serangan nuklir dan rudal balistik Korea Utara.
Tiongkok sebagai negara yang wilayah geografisnya berdekatan dengan kedua negara tersebut (Korea Utara & Korea Selatan) tentunya khawatir mengancam kestabilan keamanan negaranya. Meski Tiongkok memberi pernyataan yang jelas atas ikut menentang uji coba nuklir Korea Utara, tetapi Tiongkok juga beranggapan bahwa dengan ditempatkannya THAAD di Korea Selatan itu juga berpotensi menjadikan kawasan tersebut itu semakin memanas. Hal ini membuat Tiongkok menyatakan adanya penolakan terhadap penempatan sistem THAAD itu di Korea Selatan. Bahkan sampai-sampai Menlu Tiongkok memberi peringatan terhadap Korea Selatan dengan penempatan THAAD dinegaranya itu membuat berkurangnya kepercayaannya. Selain dari itu juga Tiongkok mempunyai keyakinan bahwa dengan penempatan THAAD di KorSel membuat hubungan US dan Korea Selatan menjadi kuat dan langgeng. Seperti kita tahu bahwa US dan Tiongkok ini adalah negara yang saling bersaing serta memiliki hubungan yang cukup buruk. Tiongkok kurang suka dengan semakin kuatnya US di kawasan Asia Timur. Tentunya kehadiran US ini membuat ancaman tersendiri bagi Tiongkok karena mengancam eksistensi dan keamanan negaranya.
Akibat dari keputusan Korea Selatan ini, membuat hubungan antara Tiongkok dan Korea Selatan menjadi memburuk. Dampaknya bagi Korea Selatan atas keputusannya tersebut membuat Tiongkok menutup akses diplomatik. Bahkan banyak program yang awalnya sudah di rencanakan oleh kedua negara ini harus tiba-tiba dibatalkan tanpa adanya alasan yang jelas, contohnya program pertukaran budaya. Tak hanya itu, Tiongkok bahkan sampai memberi sanksi di bidang ekonomi dengan memboikot ekonomi Korea Selatan. Contoh nyata boikot ini seperti di larangnya penayangan televisi Korea Selatan, boikot perusahaan-perusahaan dari Korea Selatan(seperti otomotif, elektronik dan kosmetik), disertai boikot pariwisata. Tidak hanya di pertelevisian saja, bahkan beberapa acara konser musik KPop pun dibatalkan.
Jika kita lihat dari aksi boikot yang luncurkan oleh Tiongkok ini tentunya berdampak signifikan terhadap penurunan perekonomian Korea Selatan. Hal itu dikarenakan pasar perdagangan terutama budaya Korean Wave paling besar yaitu di Tiongkok. Boikot ini sangat berdampak pada sektor hiburan dan juga pariwisata. Selain pada sektor ekonomi tentunya Korea Selatan mengalami tekanan di diplomatiknya, baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Akan tetapi menurut saya aksi boikot ataupun pembatasan ini tidak hanya di dasari akan ancaman atau integritas dan keamanan Tiongkok saja. Akan tetapi, disini ada maksud lain yang dimana kerja sama tersebut bukannya membawa dampak baik atau keuntungan bagi Tiongkok. Hal itu dikarenakan budaya-budaya yang masuk dari Tiongkok ke Korea Selatan dan Korea Selatan Ke Tiongkok ini tidak seimbang bahkan perbedaannya sangat jauh. Akibat dari kerja sama ini peminat budaya Korea Selatan untuk rakyat Tiongkok melonjak drastis, seperti meminati produk-produk Korea, kegemaran Kpop, Kdrama, KMovie, Kfashion, dll. Namun, rakyat Korea Selatan akan budaya Tiongkok peminatnya sangan minim. Ini tentu saja membuat Tiongkok ketakutan dan merasa terancam akan budaya-budaya Korea Selatan yang masuk karena itu melunturkan budayanya sendiri. Oleh karena itu, pemerintahan Tiongkok mulai sadar dan membatasi Korean Wave yang masuk China.
Referensi
Valentina, A., & Istriyani, R. (2013). Gelombang Globalisasi ala Korea Selatan. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 2(2).
Cahyani Sipayo, R. (2020). Strategi SM Entertainment Dalam Mengembangkan New Culture Technology Di Pasar China (Doctoral dissertation, Universitas Bosowa).
AMELIA, A. (2022). DAMPAK PENEMPATAN SISTEM PERTAHANAN RUDAL TERMINAL HIGH ALTITUDE AREA DEFENSE (THAAD) TERHADAP PERKEMBANGAN BUDAYA KOREA SELATAN DI CHINA (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS BOSOWA).
Matutina, T. G. C. (2020). Diplomasi Publik Korea Selatan Pasca Pencabutan Larangan Hallyu Di Tiongkok (2017-2019) (Doctoral dissertation, Universitas Komputer Indonesia).
Sugiyanti, T. P., & Yuniasih, T. (2019). Confidence Building Measure (CBM) Korea Selatan Terhadap Tiongkok. Balcony, 3(2), 167-175.
Paramitha, M. C., Prameswari, A. A. A. I., & Nugraha, A. A. B. S. W. (2018). Upaya Diplomasi Korea Selatan Memperbaiki Hubungan Ekonomi Dengan Tiongkok Pasca Pemasalahan Terminal High Altitude Area Defense (Thaad). Universitas Udayana, 2(1).
Firdhani, N. E. (2016). Penyebab Dikuasainya Industri Pertelevisian Tiongkok oleh Drama Korea tahun 2005-2011. Jurnal Analisis Hubungan Internasional, 5(2), 299.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H