Di era globalisasi saat ini pertumbuhan perdagangan internasional kian makin cepat dan pesat serta meningkatnya sengketa atau konflik akibat perdagangan internasional. Terlebih lagi aspek yang begitu penting dan erat ketika ingin memaksimalkan pembangunan ekonomi suatu negara adalah perdagangan internasional itu sendiri. Hal itu dikarenakan, tidak ada satu golongan atau bagian di dunia ini, termasuk negara itu sendiri, yang dapat memenuhi semua kebutuhannya, termasuk kebutuhan akan barang dan jasa meskipun dengan kekayaan alam yang melimpah.Â
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kemakmuran yang terjadi di suatu negara itu tergantung pada proses perdagangan internasionalnya. Dengan ini perdagangan internasional dianggap sebagai mesin dari pertumbuhan ekonomi suatu negara. Maka dari itu perdagangan internasional saat ini memerankan peranan yang vital.
Dengan adanya perdagangan internasional, ini tentu saja akan meningkatkan hubungan antar negara-negara. Namun hal ini juga tidak dapat ditampik bahwa ini juga bisa mengakibatkan terjadinya sengketa. Terlebih lagi tidak dapat dipungkiri bahwa di era globalisasi saat ini yang diserang adalah negara. Hal ini terutama terhadap negara-negara berkembang yang notabennya stabilitas ekonominya belum mencukupi, seperti Indonesia.
Ketika proses globalisasi ekonomi dunia, secara alami terjadi perubahan fundamental atau struktural ekonomi dunia dan proses ini berlanjut semakin cepat. Hal itu dikarenakan, perubahan teknologi yang juga mempercepat dan memperluas serta mengubah struktur permintaan komunitas dunia. Dengan perkembangan ini tentu saja meningkatkan adanya saling ketergantungan ekonomi.
Jika kita lihat saat ini batas-batas geografi dari kegiatan ekonomi pasar secara regional kian menipis. Akan tetapi, ini semakin mendunia membentuk suatu mekanisme yang tentunya mengikutsertakan banyak negara di dalamnya. Inilah yang dapat disebut dengan globalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi ini adalah sebuah proses yang di mana pemerintah berada di luar kontrol. Hal itu dikarenakan, yang menggerakkan proses ini adalah kekuatan pasar global.
World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi internasional perdagangan dunia telah memberikan kontribusi yang unik terhadap stabilitas ekonomi global. Hal itu dikarenakan telah dicantumkannya Dispute Settlement Understanding (DSU) dalam Perjanjian WTO. Ini dipergunakan sebagai sumber yang sentral di dalam mekanisme penyelesaian sengketa yang terjadi antar negara anggota. Sebagai anggota WTO, Indonesia tidak lepas dari perselisihan dengan anggota WTO lainnya. Salah satunya ketika Indonesia berhadapan dengan Korea Selatan. Hal itu dikarenakan, Korea Selatan menuduh Indonesia melakukan dumping.
Dumping merupakan suatu kebijakan akan ekspor barang dan menjualnya ke luar negeri dengan harga lebih rendah untuk menguasai pasar domestik. Kebijakan dumping dapat diartikan sebagai kebijakan diskriminasi harga dan menghancurkan pasar luar negeri di mana produk tersebut dijual dengan harga lebih rendah. Meski kebijakan dumping merupakan tindakan yang tidak diterima oleh sebagian besar negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).Â
Akan tetapi, WTO menganggap sah untuk menjual barang ke luar negeri dengan harga lebih rendah. Hal ini juga telah diratifikasi di dalam pasal VI tentang Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT). Â Perjanjian WTO memang tidak secara jelas menjelaskan apa itu dumping. Akan tetapi, Pasal 2(1) Perjanjian Anti-Dumping menyatakan bahwa suatu produk dianggap dumping apabila dijual di pasar negara tujuan dengan harga di bawah nilai wajarnya.
Perlu dicatat bahwa memang hukum WTO itu tidak melarang dumping. Akan tetapi, negara-negara anggota WTO dapat mengambil tindakan untuk melindungi industri dalam negeri mereka dari efek berbahaya dumping. Sehingga dalam mencegah terjadinya praktik dumping, GATT memuat kebijakan anti-dumping. Biasanya anti-dumping ini dilakukan dengan cara melalui adanya bea masuk. Bea masuk ini adalah pungutan yang dikenakan pada produk dumping yang menyebabkan kerugian. Tentu saja, bea masuk ini bisa dikenakan pada negara yang terbukti dalam melakukan praktik dumping.
Dari ketentuan dalam perjanjian antidumping, praktik dumping dapat diancam dengan tindakan balasan/sanksi. Lalu untuk menjatuhkan sanksi dumping, otoritas perdagangan suatu negara harus terlebih dahulu membuktikan bahwa dumping menyebabkan kerugian bagi industri negara tersebut secara material. Dengan tidak adanya bukti atas kerugian tersebut maka sanksi tersebut tidak diperbolehkan.
Untuk menentukan apakah industri dalam negeri menderita kerugian serius maka dapat dilihat melalui Pasal 3.1 Perjanjian Anti-Dumping. Yang dimana pasal ini mewajibkan Anggota untuk memeriksa volume impor yang diasumsikan di-dump dan pengaruh impor yang diasumsikan di-dump pada harga pasar domestik barang serupa.
Mengenai awal mulai dugaan dumping produk kertas Indonesia oleh Korea Selatan itu berawal dari inisiatif Korea Selatan untuk mengajukan petisi antidumping produk kertas Indonesia ke Korea Trade Commission (KTC). Perusahaan Indonesia yang dituduh melakukan dumping adalah PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli Pulp & Mills, April Pine Paper Trading Pte Ltd, dan PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk. Kedua belah pihak negara Indonesia dan Korea Selatan merupakan anggota dari WTO. Maka dari itu sebagai anggota, perlu melakukan upaya penanganan konflik berdasarkan aturan yang telah diatur di WTO.
Tahapan penanganan yang muncul di bawah DSU di Ini terdiri dari empat langkah utama:
- Negosiasi wajib antara pihak-pihak yang berkonflik untuk memperoleh solusi damai;
- rapat panel;
- Peninjauan Banding;
- Pelaksanaan dan kepatuhan terhadap rekomendasi dan perintah DSB.
- Empat langkah di atas, langkah dalam proses penyelesaian sengketa WTO yang masih  sulit dilaksanakan dan merupakan langkah terakhir. Ini sering terjadi ketika ada negara berkembang dan negara maju yang bersengketa. Negara-negara maju kebanyakan yang terkena sanksi terutama ketika berurusan dengan negara-negara berkembang, menolak untuk melaksanakan rekomendasi DSB.
Seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan atas tuduhannya ke Indonesia yang tidak terbukti. Yang di mana Panel Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) menemukan bahwa Korea Selatan melakukan kekeliruan pada saat membuktikan adanya dumping kertas dari Indonesia.Â
Penyelidikan dumping juga harus dihentikan apabila fakta di lapangan menunjukkan bahwa margin dumping dianggap tidak relevan (kurang dari 2% dari harga ekspor). Serta ketika jumlah impor produk yang diunduh sangat keci. Yang di mana jumlah impornya kurang dari 3% dari total ekspor negara tersebut ke negara pengimpor. Akan tetapi, penyelidikan akan terus berlanjut meskipun produk yang di dumping impor dari beberapa negara pengekspor secara bersamaan dihitung sebesar 7% atau lebih.
Indonesia melakukan pengajuan protes penerapan kebijakan anti-dumping yang dilakukan oleh Korsel kepada DSM. Pengajuan tersebut atas dasar kasus anti dumping untuk Korea-Certain Paper Products. Pada pertengahan tahun 2004 yaitu 4 Juni, Indonesia mengundang Korea Selatan untuk merundingkan penyelesaian sengketa mengenai pengenaan aksi antidumping oleh Korea Selatan atas impor produk kertas yang berasal dari Indonesia. Namun perundingan tersebut dianggap gagal dan Indonesia kemudian meminta DSB WTO agar Korea Selatan menghentikan tindakan antidumping. Ini atas dasar yang melanggar kewajibannya di WTO dan melanggar beberapa pasal aturan antidumping.
28 Oktober 2005, DSB WTO mengirimkan laporan panel kepada semua anggota yang menyimpulkan bahwa aksi antidumping Korea Selatan tidak konsekuen sekaligus bertentangan dengan ketentuan Perjanjian antidumping. Kedua pihak yang bersengketa bersepakat bahwa Korea Selatan hendaklah melaksanakan rekomendasi DSB serta menetapkan jadwal pelaksanaan rekomendasi DSB.
Akan tetapi sungguh sangat disayangkan hingga kini Korea Selatan tidak mengikuti keputusan DSB. Namun meski terbukti salah mengenakan bea masuk antidumping terhadap produk kertas yang berasal dari Indonesia hingga kini belum mencabut pengenaan bea masuk anti dumping tersebut. Meski Badan Penyelesaian Sengketa (DPO) World Trade Organization  menemukan Korea Selatan melakukan kesalahan prosedural dalam investigasi paper dumping Indonesia pada 2003. Oleh karena itu, DSB meminta Korea Selatan segera melaksanakan putusan yang telah ditetapkan.
Menurut saya dengan lemahnya penegakan atas putusan yang dilakukan oleh DSB ini, membuat Korea Selatan menjadi leluasa atas tindakannya dalam menolak putusan. Hal ini tentu saja berimbas terhadap negara Indonesia yang sebagaimana mestinya mendapatkan bayaran atas tindakan yang dilakukan oleh Korea Selatan malah tambah dibiarkan. Akhir dari sengketa ini justru kita dapat melihat bahwa tidak adanya kepastian hukum yang dijatuhkan sebelumnya.
REFERENCE
Nawiyah, N., Rabbani, D. R., Juliawan, A. B., Azzam, M. H., & Marwan, M. A. (2023). PENGARUH TUNTUTAN YANG DILAKUKAN INDONESIA ATAS TUDUHAN DUMPING KERTAS OLEH KOREA SELATAN. JURNAL ECONOMINA, 2(2), 397-404.
Heriyanti, Y. (2018). DAMPAK GLOBALISASI EKONOMI PADA PRODUK KERTAS INDONESIA YANG DIKAITKAN DENGAN TUDUHAN DUMPING OLEH NEGARA KOREA SELATAN. Jurnal Pahlawan, 1(2), 22-27.
Sidiqah, M. (2019). Retaliasi Indonesia Atas Tuduhan Dumping Terhadap Korea Selatan. Jurnal Wawasan Yuridika, 3(1), 73-92.
Wibowo, R., & Ratnawati, R. (2021, October). Mercantilism Regime toward Dumping Policy on Paper Industry between Indonesia and South Korea. In RSF Conference Series: Business, Management and Social Sciences (Vol. 1, No. 4, pp. 223-228).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H