Banyak dari kita pernah mendengar atau bahkan berada di hubungan tidak sehat yang penuh dengan kekerasan. Sebenarnya, hubungan tidak sehat bukan hanya berkaitan dengan hubungan romantis; hubungan pertemanan tidak sehat, lingkungan keluarga yang tidak mendukung, atmosfer kerja yang tidak baik juga bisa dikategorikan dalam hubungan tidak sehat.Â
Dalam artikel ini, kita akan lebih dalam membahas mengenai hubungan romantis yang abusive (penuh dengan kekerasan) dan tahapan yang dilalui untuk bisa keluar dari hubungan tersebut. Beberapa orang berhasil mengidentifikasi dan meninggalkan hubungan abusive ini sehingga bisa move on untuk melanjutkan hidupnya dengan lebih baik.Â
Namun, sebagian yang lain merasa sangat sulit untuk lepas dari pasangan atau merasa stuck (terjebak) setelah mencoba mengakhiri hubungannya sehingga terus kembali lagi ke pasangan meskipun berulang kali diperlakukan buruk.
Hubungan yang abusive ditandai dengan besarnya dominasi dan kontrol pada salah satu pihak dalam hubungan tersebut, sehingga membuat pihak lain menjadi pihak yang lebih 'menurut'.Â
Pihak yang mendominasi disebut pelaku kekerasan sedangkan pihak yang cenderung lebih lemah akan disebut sebagai korban kekerasan. Kekerasan yang dimaksud di sini tidak hanya yang dilakukan secara fisik.Â
Ketika pasangan sudah berulang kali memaki, menghina, kerap memaksakan keinginannya dan membatasi ruang lingkup korban supaya selalu bergantung padanya juga merupakan bentuk kekerasan secara verbal dan emosional.
Kekerasan dalam hubungan cenderung tidak terprediksi, namun biasanya terdiri dari 4 fase:
*) Masa meningkatnya ketegangan: ditandai dengan waktu-waktu ketika pelaku kekerasan mulai sering marah, komunikasi memburuk, para korban merasa harus 'menyerah', yang menyebabkan kondisi hubungan semakin menegang dan terasa tidak nyaman;
*) Masa terjadinya kekerasan: misal menghina, mengancam pasangan, terlalu posesif dan mengekang, atau melakukan kekerasan fisik dan seksual;
*) Masa rekonsiliasi: pelaku kekerasan meminta maaf atas perilakunya. Ada yang memohon untuk dimaafkan, memberikan banyak janji bahwa hal tersebut tidak akan terjadi, beberapa bahkan menyalahkan korban karena telah memprovokasi emosi mereka atau menolak bahwa mereka telah melakukan kekerasan
*) Masa tenang: pelaku kekeasan berhenti dan bersikap seolah tidak pernah melakukan kekerasan, janji di masa sebelumnya biasanya mulai ditepati, sering beri hadiah, dan melakukan perilaku baik lainnya sehingga membuat korban percaya bahwa pelaku tidak akan melakukannya lagi atau akan berubah dengan bantuan mereka.Â
Keempat fase ini mungkin tidak akan terjadi dalam satu waktu yang dekat, namun biasanya membentuk pola dan berulang selama beberapa kali selama bertahan di hubungan tersebut.
Jika bisa memahami fase-fase kekerasan ini, kita bisa melihat mengapa sulit bagi seorang korban untuk keluar dari hubungan tidak sehat ini.Â
Keyakinan bahwa pasangannya bisa berubah dan keinginan untuk membantu pasangan menjadi lebih baik bisa jadi faktor yang menyulitkan untuk memutus rantai kekerasan ini.Â
Kemudian, pembatasan secara sosial dan emosional untuk terlibat dengan orang selain pasangan juga bisa menyebabkan korban bertahan; karena mereka merasa sendiri, tidak punya tempat lain yang bisa menerima kecuali pasangan mereka saat ini.Â
Pelaku kekerasan biasanya manipulatif, ia bisa membuat seolah-olah perilakunya disebabkan oleh korban, sehingga membuat korban sangat merasa bersalah.Â
Tidak jarang, pelaku kekerasan juga sering melakukan love bombing, membombardir korban dengan perhatian, rasa cinta dan kasih sayang sebelum/setelah melakukan kekerasan, sehingga korban merasa bahwa kekerasan yang dilakukan pelaku tidak sebanding dengan rasa sayang yang mereka berikan pada korban.
Faktanya, sangat sedikit pelaku kekerasan yang berubah. Perubahan ini pada dasarnya harus didasari dengan kesadaran pelaku bahwa apa yang dilakukannya salah, kemudian mencari pertolongan --berupa terapi, untuk membantunya mengelola emosi yang dirasakan.Â
Ini juga membutuhkan waktu dan usaha yang keras untuk tetap konsisten mengontrol diri agar tidak mudah melakukan kekerasan.Â
Maka dari itu, perubahan yang dilakukan demi pasangan biasanya tidak bertahan lama, apalagi jika pelaku kekerasan sebenarnya merasa tidak ada yang salah dengan perilakunya dan hanya mengucapkan janji tersebut untuk membuat korban tidak meninggalkannya.
Tahap-tahap melepaskan diri dari hubungan abusive
Penelitian Dziewa dan Glowacz (2022) menyebutkan bahwa ada 8 tahapan yang akan dilalui seseorang sebelum benar-benar bisa meninggalkan hubungan yang sudah tidak sehat.Â
Tahapan ini disimpulkan dari 21 orang yang sudah berhasil keluar dari hubungan yang penuh dengan kekerasan, dengan proses seperti gambar berikut:
Tahapan pertama dimulai ketika para korban melihat hubungan yang dimiliki dari sudut pandang/persepsi yang berbeda.Â
Mereka mulai melihat bahwa telah terjadi perbedaan dalam dinamika yang terjadi di hubungan ini: munculnya kekerasan yang dilakukan pasangan, meningkatnya frekuensi kekerasan, atau pasangan yang berubah menjadi posesif dan pencemburu. Kesadaran akan hal ini bisa muncul di beberapa bulan atau bisa juga beberapa tahun setelah menjalani hubungan tersebut.
Di tahap kedua, para korban sudah mulai bisa mengidentifikasi perilaku atau jenis kekerasan yang sering dilakukan oleh pasangannya baik itu berupa kekerasan fisik, verbal, ataupun emosional seperti gaslight atau guilt tripping, dan bagaimana kekerasan itu mempengaruhi para korban.
Di tahap ketiga, para korban mulai bertanya-tanya pada diri mereka tentang perilaku kekerasan ini. Mereka mulai mengikuti kemauan pasangan supaya pasangan berbaik hati dan tidak melakukan kekerasan kepada mereka.Â
Mereka percaya bahwa pasangan bisa berubah dan ingin membantu, dengan cara menuruti semua permainan pasangan mereka.
Kemudian, para korban akan mulai mempertanyakan tanggungjawab pasangan yang harusnya ada dalam mempertahankan hubungan ini. Mereka mulai menyadari bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan pasangan sudah di luar tanggungjawab mereka.
Dari situ, mereka akan tiba di tahapan keempat, yaitu memutuskan bahwa keadaan harus berubah dan mereka tidak boleh ada di posisi tersebut terus-menerus.Â
Mereka mulai menyarankan hal-hal yang bisa dilakukan untuk membantu pasangan berubah misalnya terapi, minta bantuan dari orang terdekat, dan lainnya.Â
Dalam tahap ini korban juga sudah mulai merencanakan keadaan ideal yang mereka inginkan dan bagaimana cara untuk mencapai hal itu.
Tahap kelima adalah menerapkan rencana perubahan dan mencari dukungan dari pihak ketiga. Di sini, para korban mulai mencari dukungan psikologis, terapi pasangan, atau melaporkan ke pihak yang punya kewenangan lebih tinggi (misal polisi, orangtua, ketua RT) untuk 'menghukum' pasangan. Ini dilakukan bukan untuk mengakhiri hubungan, tapi untuk mengakhiri kekerasan yang dilakukan pasangan.Â
Ini bisa jadi tidak hanya dilakukan sekali, namun berkali-kali karena harapan korban yang masih besar bahwa pasangannya bisa berubah.
Sayangnya, percobaan-percobaan yang dilakukan di tahap ini seringnya tidak membuahkan hasil yang bertahan lama sehingga para korban akan masuk di tahap keenam yaitu memutuskan untuk mengakhiri hubungan.
Memutuskan mengakhiri hubungan bisa dilakukan karena percobaan di fase kelima yag berkali-kali gagal, juga bisa dilakukan sejak pertama kali pasangan melakukan kekerasan karena para korban tahu mereka layak mendapatkan perlakuan lebih baik.Â
Kapanpun waktunya keputusan ini diambil, kebanyakan dari para korban sudah mulai menjauhi pasangan baik secara fisik ataupun emosi di titik ini. Karenanya, mereka jadi bisa melihat bahwa hubungan ini tidak baik untuk jangka panjang dan perlu segera diakhiri.
Tahap ketujuh adalah titik kesadaran bahwa hubungan ini telah berakhir. Mereka yang berhasil melewati tahap ini akan melanjutkan hidup meskipun terasa sangat sulit.Â
Tapi, banyak juga yang tidak berhasil melewati tahap ini sehingga akan putus-nyambung dengan pasangannya dan menerima pola kekerasan yang sama seperti sebelumnya. Di sinilah rantai itu mesti diputus, yaitu dengan memperkuat hati, diri, dan dukungan dari sekitar agar tidak lagi kembali ke dalam hubungan tidak sehat itu.
Tahapan terakhir merupakan tahapan yang paling panjang, yaitu bertahan untuk tidak kembali ke hubungan tersebut dan belajar untuk hidup tanpa pasangan atau hubungan sebelumnya. Tahap ini bisa menjadi sangat berat. Banyak perubahan yang terjadi dan mungkin menyulitkan kita untuk beradaptasi.Â
Namun bagaimanapun sulitnya, penting untuk mengingatkan diri sendiri bahwa perlakuan yang diterima dalam hubungan sebelumnya tidak layak didapatkan. Akan ada masa depan yang lebih baik menunggu di depan sana, meskipun belum bisa dilihat saat ini.
Karena panjangnya proses dan waktu yang dibutuhkan untuk keluar dari hubungan ini, dukungan yang cukup dari orang terdekat juga sangat penting bagi para korban. Para korban perlu merasa aman dan memahami bahwa mengakhiri hubungan mungkin akan menyakitkan, tetapi hal itu bisa membuat mereka menemukan kembali diri yang hilang di dalam hubungan tersebut.Â
Maka dari itu, dianjurkan untuk tidak mengecilkan diri sendiri di dalam sebuah hubungan. Jika merasa ada perilaku pasangan yang seharusnya tidak dilakukan, segera ceritakan pada orang terdekat yang bisa memberikan dukungan.Â
Jangan ragu untuk mencari bantuan profesional seperti psikolog atau terapis untuk membantu keluar dari hubungan seperti ini. Ingatlah bahwa sertiap orang layak untuk diperlakukan dengan baik dan disayangi dengan tulus oleh pasangan.
Referensi:
Walker LE. 1979. The battered woman syndrome. New York: Springer.
Eckstein, Jessica. 2011. Reasons for Staying in Intimately Violent Relationships: Comparisons of Men and Women and Messages Communicated to Self and Others. Journal of Family Violence 26, 21-30. DOI: 10.1007/s10896-010-9338-0.
Dziewa, A., Glowacz, F. 2022. Getting out from Intimate Partner Violence: Dynamics and Processes. A Qualitative Analysis of Female and Male Victims' Narratives. J Fam Viol 37, 643--656. DOI:10.1007/s10896-020-00245-2
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI