Perasaan cemas pasti pernah dirasakan oleh semua orang. Meski seringkali dianggap mengganggu, rasa cemas merupakan respon yang wajar untuk memberitahu tubuh bahwa ada sesuatu yang perlu diwaspadai. Rasa cemas mulai menjadi sangat merepotkan ketika terjadi tanpa penyebab yang jelas dan ketika mulai sering dialami saat ada dalam suatu ketidakpastian.
Ketidakpastian adalah hal yang menakutkan; terlebih ketika kita merasa tidak memiliki kontrol atau sumberdaya yang cukup untuk bertahan dalam ketidakpastian itu. Masa depan termasuk dalam kategori ini. Sebaik apapun kita bersiap, sebagus apapun rencana yang ditata untuk menjalaninya, masa depan kadang tidak terjadi seperti yang kita harapkan. Akhirnya, muncul perasaan was-was, khawatir, dan tidak berdaya ketika kita memikirkan masa depan. Tidak hanya sekali, perasaan ini mungkin akan dialami pada beberapa fase kehidupan; cemas saat melanjutkan kuliah karena takut salah jurusan, cemas tidak dapat kerjaan ketika baru lulus, kekhawatiran ketika harus masuk di lingkungan baru yang tidak nyaman, dan mungkin kecemasan di banyak situasi lainnya. Sebagai contoh, mari kita pelajari cerita di bawah ini.
N adalah wanita berusia 29 tahun. Ia baru 3 bulan menikah dan harus ikut bersama dengan suaminya di luar pulau tempatnya berasal. N dulunya adalah seorang wanita pekerja yang juga aktif dalam beberapa kegiatan pro-bono. Di tempatnya yang baru, ia kesulitan untuk menyesuaikan diri. Ia sudah mencoba melamar pekerjaan ke banyak tempat namun masih belum berhasil sehingga kegiatan sehari-harinya hanya melakukan pekerjaan rumah tangga. Akhir-akhir ini, ia merasa mudah lelah, gampang marah, dan sering merasa cemas. Ia merasa takut saat berpikir ia akan terjebak dalam pola kegiatan yang ia benci. N juga mudah tersinggung saat berinteraksi sehingga enggan bertemu dengan orang lain. N sering menangis ketika melihat pencapaian teman-teman kerjanya dulu di sosial media yang menurutnya sangat berbanding terbalik dengan kehidupannya saat ini.
Jika kita lihat sekilas, mungkin ini tampak seperti kesulitan untuk beradaptasi yang wajar dialami oleh orang yang baru masuk ke suatu lingkungan baru. Namun jika ditelisik lebih jauh, N sebenarnya sedang sangat cemas karena dia tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya di masa depan. N meninggalkan tempat yang sudah membuatnya nyaman untuk tempat baru yang belum ia kenal, wajar jika ia mengkhawatirkan apakah dia bisa mendapatkan kenyamanan dan bertahan hidup di tempat barunya. Proses adaptasi merupakan sesuatu yang akan terjadi secara natural jika N bisa memproses ketakutan dan kekhawatirannya dengan baik. Namun jika N hanya berfokus pada hasil negatif dari ketakutan dan kekhawatiran itu, kesehatan mental N tentu juga akan terpengaruh.
Saat mengkhawatirkan tentang masa depan, kita biasanya hanya berfokus pada situasi negatif yang terjadi sekarang. Kondisi tersebut dianggap sebagai suatu kelemahan yang bisa mencelakakan kita di kemudian hari sehingga kita menjadi lebih waspada untuk melindung diri—makanya kecemasan menjadi semakin meningkat. Ini seringkali berkaitan dengan pola pikir tidak rasional dan tidak sesuai dengan bukti yang ada, yang dalam perspektif cognitive behavioural therapy disebut distorsi kognitif. Distorsi kognitif punya banyak tipe, kali ini kita akan bahas 2 yang mungkin berkaitan erat dengan kecemasan tentang masa depan yaitu mental filter dan catastrophizing.
Mental filter terjadi ketika pikiran kita hanya menyaring hal-hal negatif dan melupakan hal positif lain yang terjadi dan catastrophizing terjadi saat kita mengasumsikan bahwa hal terburuk akan kita alami karena suatu situasi, bahkan ketika tidak ada bukti kuat yang mendukungnya. Sebenarnya adalah hal yang sangat wajar ketika ada dalam suatu ketidakpastian, kita hanya akan berfokus ke hal-hal yang negatif dan berpikir yang terburuk agar bisa melindungi diri dengan baik.
Kembali ke cerita N di atas, ia mungkin merasa sangat cemas karena berasumsi tidak akan bisa bahagia di kehidupannya sekarang (catastrophizing). Alasannya banyak, karena ia tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan atau karena ia tidak menyukai pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang harus ia kerjakan. N juga mungkin berpikir ia tidak akan bisa bekerja selamanya, tidak bisa menyalurkan ilmu dan kemampuannya sehingga ia bisa berakhir menjadi orang tidak berguna yang menggantungkan hidup dan finansialnya kepada suami. Untuk N itu adalah hal yang sangat menakutkan meskipun sebenarnya apa yang ia pikirkan tidak memiliki bukti yang kuat untuk terjadi. Semua hanya berfokus pada situasi negatifnya yang saat ini harus dia jalani (mental filter).
Pikiran-pikiran negatif yang tidak rasional tersebut akan membuat N berpikir ia mampu memprediksi masa depan— misalnya bahwa dia tidak akan bisa lagi merasakan apa yang dirasakannya dulu, juga tidak bisa merasakan apa yang dirasakan teman-temannya yang masih bekerja mempunyai penghasilan sendiri. N berpikir dia mungkin tidak bisa lagi liburan kemanapun dia mau, tidak bisa belanja sesuka hatinya, dan dia akan terjebak dalam hidupnya yang monoton.
Hal itu bisa mengakibatkan N memiliki penilaian negatif pada dirinya: bahwa ia adalah seseorang yang tidak berguna dan tidak mandiri. N mulai menilai dirinya hanya dari satu sisi yang mungkin belum bisa dimiliki pada saat ini. Jika dibiarkan, tentu saja akan banyak dampak negatif yang muncul; kondisi Kesehatan mental yang makin memburuk, kesulitan berkonsentrasi, kelelahan, hingga sulit berfungsi di kehidupan sehari-hari. Sebuah penelitian bahkan mengatakan bahwa seseorang yang memiliki perskpektif atau penilaian negatif terhadap dirinya sendiri atau masa depannya dapat merasa putus asa, yang ketika sudah parah dapat menimbulkan pikiran bunuh diri.
Itu cerita N yang mungkin pernah juga dialami oleh kita. Hal tersebut juga menjadi bukti betapa hebatnya pikiran dalam mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Hal yang tadinya kecil bisa berubah menjadi sangat besar dan menakutkan jika kita memiliki perspektif yang salah dalam memprosesnya. Yang tadinya berawal dari pikiran saja nyatanya bisa mempengaruhi emosi, perilaku, dan fungsi keseharian kita.
Jadi, apakah wajar untuk cemas mengenai masa depan? Jawabannya wajar, asal sesuai dengan porsinya, sesuai dengan kondisi yang sedang dialami, dan tidak sampai mengganggu kestabilan emosi.
Mengatasi kecemasan akan masa depan
Ada beberapa cara untuk membantu mengatasi kecemasan terhadap masa depan. Cara-cara dalam artikel ini disimpulkan untuk mengatasi kecemasan dari perspektif kognitif, yaitu ketika kita memiliki banyak pikiran tidak rasional dan merasa terganggu karena hal itu.Â
1. Perhatikan pikiran-pikiran yang membuatmu cemas
Pikiran menjadi kunci utama dalam mengatasi kecemasan mengenai masa depan. Oleh karenanya, penting sekali untuk menyadari pikiran-pikiran yang sering terlintas di dalam kepala. Salah satu caranya adalah selalu periksa apakah pikiran yang kita miliki saat merasa takut/cemas punya bukti yang cukup untuk terjadi. Jika ya, maka kita perlu berfokus pada cara untuk mengurangi risiko yang terjadi. Tapi jika tidak, kita perlu alihkan pikiran tersebut menjadi pikiran yang lebih bermanfaat untuk pengembangan diri, misalnya alihkan ke pikiran bagaimana cara kita mengasah kemampuan yang lebih bermanfaat untuk masa depan.
2. Tidak apa-apa jika punya keraguan.
Keraguan akan membuat kita berhati-hati, dan itu boleh. Yang tidak boleh adalah jika kita selalu melihat keadaan dari sudut pandang keragu-raguan itu. Cobalah melihat permasalahan dari sudut pandang lain. Caranya banyak; kita bisa sharing dengan orang lain, membaca-baca terkait apa yang membuat cemas, atau menuliskan kecemasan tersebut di dalam sebuah catatan sehingga kita bisa mengetahui apa dan bagaiamana masalah itu mengakibatkan kecemasan. Saat sudah memahami masalah tersebut, pikiran akan berhenti untuk berulang-ulang memikirkan hal negatif yang akan terjadi dan mulai berkembang untuk melihat dari sisi yang lain. Kita juga perlu untuk memperhatikan hal positif apa yang juga terjadi dan dimiliki, bukan hanya berfokus pada situasi negatif saja.
3. Tidak perlu buru-buru
Semua punya waktunya masing-masing. Manusia dengan segala keterbatasannya tidak akan bisa melihat masa depan sebelum hal itu terjadi. Yang bisa dilakukan adalah berusaha yang terbaik untuk mempersiapkannya. Berusahalah yang terbaik, apresiasi diri atas semua usaha dan kemajuan yang sudah dilalui. Percaya pada proses bahwa usaha yang dilakukan akan membawa ke kondisi yang lebih baik. Bisa jadi bukan yang diharapkan, tapi sudah pasti yang terbaik untuk kita.
4. Jaga komitmen untuk bertindak
Coba langkah sekecil apapun yang bisa memperbaiki diri/situasi saat ini. Tidak perlu merasa malu, takut gagal, atau tidak diterima. Hal-hal yang sudah dilakukan itu pasti membuat kita merasa lebih baik dibanding hanya diam dan terjebak dalam pikiran negatif.
5. Terima apa yang saat ini terjadi
Sambil berusaha dan menikmati prosesnya, tidak ada salahnya beristirahat sejenak untuk menarik napas. Situasi apapun pasti berlalu, termasuk saat ini. Cobalah untuk berhenti menolak situasi yang sedang dihadapi sekarang dan latih diri untuk menerima kondisi saat ini sebagaimana adanya. Hal ini bisa dilakukan dengan rutin berlatih meditasi dan relaksasi.
Referensi:
Winston, S dan Seif, M. (2022). Overcoming Anticipatory Anxiety: A CBT Guide for Moving past Chronic Indecisiveness, Avoidance, and Catastrophic Thinking. Oakland: New Harbinger Publications
Fazakas-DeHoog, L. L., Rnic, K., & Dozois, D. J. A. (2017). A Cognitive Distortions and Deficits Model of Suicide Ideation. Europe's journal of psychology, 13(2), 178–193. https://doi.org/10.5964/ejop.v13i2.1238
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H