Mohon tunggu...
Elda Nabiela Muthia
Elda Nabiela Muthia Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

A dreamer, an avid learner. Kawan untuk memaknai perjalanan hidupmu.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Cemas akan Masa Depan, Wajarkah?

27 Juni 2023   15:11 Diperbarui: 27 Juni 2023   15:20 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.istockphoto.com/id/foto/wanita-cemas-menangis-di-tempat-tidur-gm1377555942-442585413ar

Perasaan cemas pasti pernah dirasakan oleh semua orang. Meski seringkali dianggap mengganggu, rasa cemas merupakan respon yang wajar untuk memberitahu tubuh bahwa ada sesuatu yang perlu diwaspadai. Rasa cemas mulai menjadi sangat merepotkan ketika terjadi tanpa penyebab yang jelas dan ketika mulai sering dialami saat ada dalam suatu ketidakpastian.

Ketidakpastian adalah hal yang menakutkan; terlebih ketika kita merasa tidak memiliki kontrol atau sumberdaya yang cukup untuk bertahan dalam ketidakpastian itu. Masa depan termasuk dalam kategori ini. Sebaik apapun kita bersiap, sebagus apapun rencana yang ditata untuk menjalaninya, masa depan kadang tidak terjadi seperti yang kita harapkan. Akhirnya, muncul perasaan was-was, khawatir, dan tidak berdaya ketika kita memikirkan masa depan. Tidak hanya sekali, perasaan ini mungkin akan dialami pada beberapa fase kehidupan; cemas saat melanjutkan kuliah karena takut salah jurusan, cemas tidak dapat kerjaan ketika baru lulus, kekhawatiran ketika harus masuk di lingkungan baru yang tidak nyaman, dan mungkin kecemasan di banyak situasi lainnya. Sebagai contoh, mari kita pelajari cerita di bawah ini.

N adalah wanita berusia 29 tahun. Ia baru 3 bulan menikah dan harus ikut bersama dengan suaminya di luar pulau tempatnya berasal. N dulunya adalah seorang wanita pekerja yang juga aktif dalam beberapa kegiatan pro-bono. Di tempatnya yang baru, ia kesulitan untuk menyesuaikan diri. Ia sudah mencoba melamar pekerjaan ke banyak tempat namun masih belum berhasil sehingga kegiatan sehari-harinya hanya melakukan pekerjaan rumah tangga. Akhir-akhir ini, ia merasa mudah lelah, gampang marah, dan sering merasa cemas. Ia merasa takut saat berpikir ia akan terjebak dalam pola kegiatan yang ia benci. N juga mudah tersinggung saat berinteraksi sehingga enggan bertemu dengan orang lain. N sering menangis ketika melihat pencapaian teman-teman kerjanya dulu di sosial media yang menurutnya sangat berbanding terbalik dengan kehidupannya saat ini.

Jika kita lihat sekilas, mungkin ini tampak seperti kesulitan untuk beradaptasi yang wajar dialami oleh orang yang baru masuk ke suatu lingkungan baru. Namun jika ditelisik lebih jauh, N sebenarnya sedang sangat cemas karena dia tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya di masa depan. N meninggalkan tempat yang sudah membuatnya nyaman untuk tempat baru yang belum ia kenal, wajar jika ia mengkhawatirkan apakah dia bisa mendapatkan kenyamanan dan bertahan hidup di tempat barunya. Proses adaptasi merupakan sesuatu yang akan terjadi secara natural jika N bisa memproses ketakutan dan kekhawatirannya dengan baik. Namun jika N hanya berfokus pada hasil negatif dari ketakutan dan kekhawatiran itu, kesehatan mental N tentu juga akan terpengaruh.

Saat mengkhawatirkan tentang masa depan, kita biasanya hanya berfokus pada situasi negatif yang terjadi sekarang. Kondisi tersebut dianggap sebagai suatu kelemahan yang bisa mencelakakan kita di kemudian hari sehingga kita menjadi lebih waspada untuk melindung diri—makanya kecemasan menjadi semakin meningkat. Ini seringkali berkaitan dengan pola pikir tidak rasional dan tidak sesuai dengan bukti yang ada, yang dalam perspektif cognitive behavioural therapy disebut distorsi kognitif. Distorsi kognitif punya banyak tipe, kali ini kita akan bahas 2 yang mungkin berkaitan erat dengan kecemasan tentang masa depan yaitu mental filter dan catastrophizing.

Mental filter terjadi ketika pikiran kita hanya menyaring hal-hal negatif dan melupakan hal positif lain yang terjadi dan catastrophizing terjadi saat kita mengasumsikan bahwa hal terburuk akan kita alami karena suatu situasi, bahkan ketika tidak ada bukti kuat yang mendukungnya. Sebenarnya adalah hal yang sangat wajar ketika ada dalam suatu ketidakpastian, kita hanya akan berfokus ke hal-hal yang negatif dan berpikir yang terburuk agar bisa melindungi diri dengan baik.

Kembali ke cerita N di atas, ia mungkin merasa sangat cemas karena berasumsi tidak akan bisa bahagia di kehidupannya sekarang (catastrophizing). Alasannya banyak, karena ia tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan atau karena ia tidak menyukai pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang harus ia kerjakan. N juga mungkin berpikir ia tidak akan bisa bekerja selamanya, tidak bisa menyalurkan ilmu dan kemampuannya sehingga ia bisa berakhir menjadi orang tidak berguna yang menggantungkan hidup dan finansialnya kepada suami. Untuk N itu adalah hal yang sangat menakutkan meskipun sebenarnya apa yang ia pikirkan tidak memiliki bukti yang kuat untuk terjadi. Semua hanya berfokus pada situasi negatifnya yang saat ini harus dia jalani (mental filter).

Pikiran-pikiran negatif yang tidak rasional tersebut akan membuat N berpikir ia mampu memprediksi masa depan— misalnya bahwa dia tidak akan bisa lagi merasakan apa yang dirasakannya dulu, juga tidak bisa merasakan apa yang dirasakan teman-temannya yang masih bekerja mempunyai penghasilan sendiri. N berpikir dia mungkin tidak bisa lagi liburan kemanapun dia mau, tidak bisa belanja sesuka hatinya, dan dia akan terjebak dalam hidupnya yang monoton.

Hal itu bisa mengakibatkan N memiliki penilaian negatif pada dirinya: bahwa ia adalah seseorang yang tidak berguna dan tidak mandiri. N mulai menilai dirinya hanya dari satu sisi yang mungkin belum bisa dimiliki pada saat ini. Jika dibiarkan, tentu saja akan banyak dampak negatif yang muncul; kondisi Kesehatan mental yang makin memburuk, kesulitan berkonsentrasi, kelelahan, hingga sulit berfungsi di kehidupan sehari-hari. Sebuah penelitian bahkan mengatakan bahwa seseorang yang memiliki perskpektif atau penilaian negatif terhadap dirinya sendiri atau masa depannya dapat merasa putus asa, yang ketika sudah parah dapat menimbulkan pikiran bunuh diri.

Itu cerita N yang mungkin pernah juga dialami oleh kita. Hal tersebut juga menjadi bukti betapa hebatnya pikiran dalam mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Hal yang tadinya kecil bisa berubah menjadi sangat besar dan menakutkan jika kita memiliki perspektif yang salah dalam memprosesnya. Yang tadinya berawal dari pikiran saja nyatanya bisa mempengaruhi emosi, perilaku, dan fungsi keseharian kita.

Jadi, apakah wajar untuk cemas mengenai masa depan? Jawabannya wajar, asal sesuai dengan porsinya, sesuai dengan kondisi yang sedang dialami, dan tidak sampai mengganggu kestabilan emosi.

Mengatasi kecemasan akan masa depan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun