Mohon tunggu...
elcintia purba
elcintia purba Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara

Hobi menulis dan membaca serta menyalurkan apa yang saya pikirkan melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kasus KDRT Lesty-Billar Dilihat dari Sudut Pandang Filsafat Konstruktivis

29 Oktober 2022   11:10 Diperbarui: 29 Oktober 2022   11:12 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Paradigma konstruktivisme sendiri adalah paradigma yang memandang sebuah permasalahan dan realitas dalam masyarakat bersifat subjektif. Realitas bisa berbeda-beda tergantung pada bagaimana konsepsi Ketika realitas itu dipahai oleh wartawan yang mempunyai pandangan yang berbeda (Gans, dalam Eriyanto, 2002:19). 

Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Teori konstruktivisme mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan pada proses daripada hasil. 

Paradigma konstruktivis diartikan sebagai pandangan terhadap peristiwa yang bersifat generative, yaitu perilaku menyimpulkan suatu makna dari apa yang dipelajari. Teori konstruktivis memiliki pemahaman yang lebih menekankan pada hasil daripada proses. K. Bertens mengatakan gagasan konstruktivisme telah muncul sejak  Sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide. 

Opini K. Bertens semakin terbukti ketika Aristoteles mengenalkan istilah informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia juga mengemukakan bahwa manusia adalah mahkluk sosial, setiap perkataan harus dibuktikan dengan kebenaran, bahwa kunci pengetahuan adalah logika  dan dasar pengetahuan adalah fakta.

Pendekatan paradigma konstruktivis memiliki penilaian tersendiri melihat media, wartawan dan berita.  Paradigma konstruktivis memandang fakta/peristiwa sebagai hasil konstruksi. Kaum konstruksionis menganggap bahwa realitas bersifat subjektif. Menurut kaum konstruksionis, kenyataan  atau realitas dihadirkan sesuai dengan konsep subjektif wartawan. 

Oleh karena itu, realitas tidak sama, tergantung pada bagaimana wartawan yang berbeda memiliki konsepsi dan pemahaman yang berbeda pula dalam memandang realitas tersebut.

Paradigme konstruktivis memandang bahwa media  adalah agen konstruksi. Paradigma ini memiliki pemahaman bahwa media bukanlah semata-mata sebagai saluran yang bebas, tetapi juga sebagai subjek yang merekonstruksi realitas. Dalam hal ini paradigma rekonstruksi menilai media sebagai penyalur realitas yang juga sebagai pembentuk atau penggiring opini public atas realitas yang disebarkannya.

Misalnya pada kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi kepada pasangan selebriti Lesty dan Billar. Media yang memberitakan tentang kasus ini akan sangat berperan besar terhadap pembentukan opini public, dalam hal ini public yang dimaksud adalah setiap individu yang melihat realitas yang disebarkan. 

Media dapat menggiring opini publik untuk mendukung Lesty Kejora menggugat dan memenjarakan suaminya yang telah melakukan kekerasan kepadanya. Sebaliknya, media juga dapat menggiring opini masyarakat untuk mendukung Lesty mencabut gugatannya dan memaafkan suaminya.

Penggiringan dan pembentukan opini publik dapat terjadi karena sudut pandang, tata bahasa dan pemilihan kata yang dipilih oleh media tersebut untuk disebarluaskan. Berita yang disampaikan oleh suatu media bukanlah sebuah refleksi dari realitas. Akan tetapi, media menerbitkan berita yang telah direkonstruksi dari realitas yang ada.

Dalam makalah ini penulis akan mengambarkan bagaimana kasus kekerasan dalam rumah tangga Lesty-Billar dari sudut pandang paradigma kontruktivis.

Kasus KDRT yang dilakukan Billar kepada istrinya, Lesty mencuat ke public ketika surat gugatan atas kekerasan yang dilayangkan Lesty kepada Billar di Polda Metro Jaya Jakarta Selatan beredar di media sosial. Dalam laporan gugatan tersebut dijelaskan bahwa saudara tergugat (Rizky Billar) melakukan kekerasan kepada pihak penggugat (Lesty Kejora). 

Dalam laporan gugatan dijelaskan bahwa saudara tergugat ketahuan berselingkuh dan marah kemudian mencekik, membanting dan melempar tubuh istrinya yaitu penggugat hingga terjatuh di lantai kamar mandi rumahnya yang mengakibatkan penggugat harus dirawat di rumah sakit karena mengalami beberapa luka dan lebam ditubuhnya. Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa tenggorokan Lesty sedikit bergeser. Hal ini menyulut kemarahan orang-orang terdekat penggugat, fans hingga seluruh netizen di Indonesia.

Tidak membutuhkan waktu lama, berita tentang gugatan Lesty kepada Billar ini viral di media sosial Instagram dan tiktok. Bahkan pemberitaan tentang kasus kekerasan ini sempat menjadi trending topic di twitter. Banyak pihak yang membela Lesty, terlebih karena kekerasan yang dilakukan suaminya karena ketahuan berselingkuh. Kemarahan netizen ini membuat berbagai rumor mengejutkan mengenai Rizki Billar tersebar di media sosial. 

Mulai dari Billar yang pernah menjadi seorang gigolo, Billar pernah menjalin hubungan dengan transgender, sampai kepada rumor bahwa Billar sebenarnya sudah punya anak dari wanita lain. Namun Billar tidak berkutik terkait rumor dan kemarahan netizen yang ditujukan kepada dirinya.

Jika melihat kasus ini dengan paradigma konstruktivis, penyampaian berita terkait kasus ini sangatlah subjektif. Kebanyakan sumber artikel yang penulis temukan memiliki pandangan atau konsepsi yang secara tersirat menyatakan bahwa dalam kasus ini Lesty adalah korban. 

Terbukti dari viralnya dan seringnya kasus ini menjadi perbincangan, opini public telah mengarah kepada Billar sebagai pelaku yang harus dihukum. Padahal, apa yang disampaikan dan diterbitkan oleh berbagai website berita tersebut   telah dikonstruksi sedemikian rupa dan dikemas sebaik dan seapik mungkin sebelum disebarluaskan.

Jadi, apa yang sebenarnya kita baca di media merupakan hasil rekonstruksi dari si penerbit. Pembaca hanya meihat melalui sudut pandang dan bagaimana konsepsi penulis berita terhadap berita yang ditulisnya.

Demikian artikel ini ditulis demi memenuhi tugas etika filsafat komunikasi atas nama Elcintia Purba, mahasiswa Ilmu Komunikasi 20, kelas A. Semoga apa yang saya tulis dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun