Dalam buku ini ini, kita menemukan ragam sub tema di antaranya yang menyoroti kompleksitas hubungan antara globalisasi, agama dan hak asasi manusia.Â
Buku dengan tebal 226 halaman ini sangat direkomendasikan untuk di baca dipersiapkan untuk diskusi atau seminar, sebagai tanggapan terhadap peristiwa dan fenomena tertentu yang terjadi dalam rentang waktu yang sama.
Seseorang yang memperoleh pencapaian tertinggi, ia ibaratkan seperti burung rajawali sementara manusia yang kerdil yang mematikan akal dan mematikan hati dibaratkan seperti semut yang merangkak di atas tanah yang mudah terinjak oleh orang yang lewat. Seiring dengan kerja keras, manusia pun dalam pandangan Iqbal semestinya tak berhenti bergerak.
Siapa yang berjalan, ia melangkah ke depan, sedangkan siapa yang berhenti untuk beristirahat, ta hancur. Dalam sajak lainnya. Hidup adalah gerakan yang melaju dan menggelombang.
Terkait dengan Hak Asasi Manusia di buku ini di bahas dalam tema Menyoal Paham Teologi Tulang Rusuk. Pada bagian ini penulis ingin menyoal tentang bahwa perempuan di ciptakan dari tulang rusuk pria, dan bengkok pula.
Menurut penulis ini adalah kepercayaan yang diajarkan berabad-abad dan di generasikan ke generasi selanjutnya yang dianggap sesuai dengan kebenaran dan kepercayaan dan tidak bisa di bantahkan. Dari hal itu lah yang menyebabkan manusia yang berjenis kelamin perempuan di pandang tidak utuh sebagai manusia.
Lalu penulis mengingatkan tentang penciptaan perempuan adalah perempuan telah di rendahkan keberadaannya melalui sistem makna yang dibangun oleh masyarakat.
Sistem makna yang cenderung merendahkan ini sama dengan bentuk kekerasan fisik dan psikis, kekerasan simbolik ini berdampak buruk pada perempuan seperti menimbulkan rendah diri, penakut, mudah cemas, tidak berdaya dan bentuk-bentuk pelemahan lainnya.Â
Karena itu, bentuk kekerasan simbolik tentang tafsir penciptaan perempuan dari tulang rusuk pria ini harus segera diakhiri, karena dengan cara itulah salah satu cara untuk menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam pelbagai bentuknya.Â
Perendahan ini oleh Pierre Bourdie disebut sebagai bentuk kekerasan simbolik, yakni bentuk kekerasan yang samar, halus dan tersembunyi, sehingga makna tersebut nampak tidak bermasalah serta diterima oleh banyak kebudayaan sebagai sesuatu yang sah.Â
Pancasila oleh umat Islam harus diterima sebagai landasan etik, karena semua perinsip dalam Pancasila tak ada yang bertentangan dengan etika Islam