Kristal-kristal dan manikam dari pelosok galaksi buncah dalam percik hatinya yang gundah. Brahma segera mengumpulkan kekuatan semesta, menasbih permohonan sederhana, menyanding pesona yang telah menjalar di denyut-denyut nadinya selama berabad-abad. Brahma akhirnya mendapat anugerah. Brahma dengan lima kepala.
Lima kepala Brahma yang dapat menembus istana Syiwa dan mengamati tingkah gerak cahaya hatinya dari lima penjuru sorotan pandangan mata secara diam-diam. Hasrat besar di dadanya untuk menembus istana Syiwa akhirnya terwakili. Secara diam-diam pesona Parwati dari lima penjuru pandangannya memuaskan kerinduan yang mengakar rimbun nadinya, di rekat jantungnya, Brahma memuaskan hasrat.
/7/
Malam menjelang dalam ruang. Bulan menjala pandangan. Masih dengan mimik yang mengisyaratkan sesuatu. Pemuda itu tahu benar isyarat tesebut, tapi ia mencoba menampik perasaan yang tidak menentu tersebut. Wanita di sampingnya semakin tenggelam dalam pelukan. Desah nafasnya menyatu dengan desah nafas pemuda tersebut.
Di balik gerai malam titik-titik api yang menjalar di sepanjang lembah telah nyata dalam pandangan. Titik api yang timbul tenggelam dalam lebat pepohonan. Suara riuh dan teriakan-teriakan menggema di seantero lembah. Alam dan penghuninya terjaga, burung-burung segera mencicit bergemeresak terbang berhamburan beradu dengan kelelawar-kelelawar yang mencium darah. Binatang-binatang melata menjalar menjauh. Lalu tiba-tiba menjadi hening. Senyap. Titik api tersebut merupakan cahaya ratusan obor yang meliuk berkibaran diterpa angin.
Ratusan cahaya obor tersebut mengepung penjuru. Bergerak perlahan tanpa suara. Mereka adalah penduduk kampung lembah. Bunyi-bunyian tersebut mereka gunakan untuk menakut-nakuti makhluk jadi-jadian yang sering membawa kabur gadis desa dengan menyamar sebagai pemuda tampan. Namun di antara penduduk tersebut, sesosok kelam menatap nanar dalam kilau merah di matanya. Gemerisik menderap perlahan, Pemuda itu semakin erat mendekap wanita di sampingnya. Bergeming dari tempat duduknya. Mendesah perlahan dalam irama yang stabil. Ia telah tahu isyarat yang akan dihadapinya.
Bayangan kelam itu semakin dekat. Dari balik jubah pekatnya tersembul kilat logam yang begitu pedih. Pemuda itu menangkap kelebat sinar pantulannya dari bisikan bulan dan ketika kepalanya menoleh, logam itu telah melesat begitu dekat ke arah lehernya. “Tak akan kubiarkan ada pertautan yang abadi antara kalian!” seru bayangan kelam menggelegar.
Membuncahlah merah darah membasahi bangku panjang lusuh yang selalu setia menemani pertemuan-pertemuan kecil di kala purnama. Penduduk desa terkejut, mereka sama sekali tak mengira pemuda yang mereka kira siluman jadi-jadian mengeluarkan darah. Mereka telah terhasut. Tapi darah telah mengalir, percikannya menetes ke bawah, jatuh di atas rumput, merembes ke dalam tanah, meresap bersama senandung pedih wanita yang tetap memeluk erat tubuh pemuda yang terpenggal kepalanya, darah yang sama, darah kerinduan.
“Ardhanari, begitu begitu cepat penguasa malam menemukan kita.”
Catatan
Ardhanari : Sebuah relief batu di museum Trowulan yang menggambarkan brahma dengan lima kepala dan Syiwa yang memenggal satu di antaranya karena berebut dewi Parwati.
Kroda : Marah, murka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H