/4/
Di pusat formasi astadikpala Brahma gelisah, dadanya bergejolak bergetar-getar tak karuan hingga membuat singgasananya goyah. Gejolak itu ikut dirasakan oleh dewa-dewa astabrata penjaga delapan penjuru mata angin. Mereka kebingungan, apa yang hendak mereka perbuat. “Apakah gerangan yang membuat Brahma begitu gelisah, adakah yang bisa kami bantu?” Indra memberanikan diri mengundang tanya.
Brahma memandangi mereka, hatinya berdetak-detak menjalarkan kerinduan yang menggumpal, menoreh cadas-cadas hati dengan sesosok cahaya, “Adakah di antara kalian yang mampu menembus istana Syiwa dan membawakanku satu sosok yang mengakar di dadaku ini.”
Dewa-dewa astabrata menunduk, arah pembicaraan Brahma sudah dapat mereka tangkap. Mereka sadar akan titah yang tak patut dari Brahma. Lagipun mereka tidak akan sanggup menembus istana Syiwa.
“Kembalilah kalian, jangan ganggu aku, kembailah ke delapan penjuru!”
“Duh Ardhanari, mengapa telah dipersatukan, mengapa ada pertemuan?”
/5/
“Pertemuan, semuanya bermula dari pertemuan,” pemuda itu mengatur tarikan napasnya. Di angkasa kelam bulan masih memberikan isyarat yang tak ingin dipahaminya.
“Saat itu, irama orkestra kahyangan begitu meronta-ronta indah. Seluruh undangan, para dewa-dewa, hadir dengan pakaian kebesaran mereka. Istana Syiwa yang terkenal pekat dengan nuansa lindap tampak cerah dan bersahabat. Para dewa-dewa begitu terkejut. Pesta yang sangat marak; penuh warna, penuh keharuman, penuh hidangan. Semuanya sempurna, dan itu hadir di istana Syiwa. Brahma sang pencipa yang hadir diiringi dewa-dewa penjaga penjuru mata angin, serta Wisnu pemelihara semesta tak luput terkejut. Namun ada yang lebih membuat Brahma terkejut.”
“Terkejut? Apakah gerangan yang membuat seorang dewa terkejut?”
“Sangat sederhana. Dari semesta yang lunak, angin membawa lembut keharuman permata Mahadewa, menyongsong puja saloka. Di tataran tribun megah yang melayang di atas danau teratai muncul seorang pesona yang menawan mata Brahma. Orkestra kahyangan melembut, lampu-lampu permata menyergap penjuru. Brahma bertanya-tanya pada delapan dewa penjaga mata angin siapakah gerangan purnama permata tersebut? Tapi sama sekali dewa-dewa astabrata tak mengenal sosok itu. Brahma hendak mendekat, menyapa. Namun gelegar Syiwa segera menerjang niatnya mundur. Di hadapan seluruh dewa-dewa kahyangan Syiwa dengan senyum mengembang mendaulat pesta di istananya. Pesta Ardhanari, pesta penyatuan antara Syiwa dan Parwati, dewi yang sepersekian detik menjarah hati Brahma.”
“Brahma Sang Pencipta terjarah hatinya pada sosok keindahan penciptaan?” wanita itu terheran-heran. Sang Pemuda tersenyum, “Bukan sekedar keindahan penciptaan. Brahma benar-benar gelap, lindap, terang dalam pesona hingga berabad-abad setelah pertemuan itu.?”
/6/
Kicau burung kahyangan membentak Brahma di pertapaannya. Benturan-benturan gelap terang menderap penjuru pandangan. Senyumnya pecah ketika ia harus berpikir untuk datang mengetuk pintu istana Syiwa dan bertamu. Lucu, Brahma bertamu di istana Syiwa? Brahma bertamu di kediaman Syiwa untuk melihat seberapa mempesonanya Parwati yang telah dipersatukan di hadapan seluruh dewa kahyangan.