Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Meng-Indonesia-kan Kendaraan: Satu Dekade LCGC, dan Era Subsidi Kendaraan Listrik

4 Juni 2023   15:12 Diperbarui: 4 Juni 2023   18:15 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal yang sama juga terjadi baik di roda empat maupun roda dua, ketika beberapa pabrikan besar bahkan belum punya market champion untuk kendaraan listrik beberapa pabrikan baru justru sudah memiliki produk yang disukai masyarakat. Dari brand yang sudah mapan namun belum menjadi penguasa pasar seperti  Hyundai, Wuling, dan Niu maupun pemain baru seperti Gesits, Alva, dan Selis.

Kabar lebih baiknya, brand seperti Gesits, Alva, dan Selis merupakan brand asli Indonesia, dengan Gesits berstatus plat merah.

Kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2018/11/07/12413171/jokowi-pastikan-pemerintah-dukung-penuh-produksi-massal-motor-listrik-gesits  
Kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2018/11/07/12413171/jokowi-pastikan-pemerintah-dukung-penuh-produksi-massal-motor-listrik-gesits  
Setelah proyek Timor yang gagal, dan kendaraan bensin Esemka yang belum jelas kapan dijual ke pasaran. Saya mulai berpikir, mungkin rezeki produsen kendaraan asli Indonesia bukan di kendaraan bakar. Lagipula akan sangat sulit mengejar ketertinggalan teknologi mesin bakar Jepang dan Eropa yang lahir 50 bahkan 100 tahun lebih dahulu. Bandingkan dengan kendaraan listrik yang selisih pengembangannya tidak terlalu jauh.


Program industri yang dirumuskan dengan baik dapat saja menjadikan Indonesia sebagai produsen kendaraan kelas dunia. Dengan perusahaan lokal yang muncul pada era listrik, Indonesia dapat mengandalkan national champ. Prospek tersebut mungkin lebih menarik dibandingkan LCGC, yang meskipun desainer, material, sampai yang nyuci mobilnya dari Indonesia dan TKDN-nya lebih tinggi dari mobil nasional manapun, tetap saja mereknya Jepang.

Program Kendaraan Listrik Nasional
Dapat dikatakan Pemerintah Indonesia sudah mempersiapkan kerangka regulasi bahkan ketika kendaraan listrik belum menemukan hype-nya. Pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Perpres No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Peraturan mengatur mengenai target TKDN yang mencapai 60% pada tahun depan, dan 80% pada tahun 2026. Berdasarkan capaian tersebut, maka produsen dapat mendapatkan insentif. Insentif juga dapat diberikan pada industri penunjang seperti SPKLU, battery swap, dan pengelolaan limbah, maupun bagi konsumen. 

Adapun insentif dapat berupa pengurangan pungutan dan pajak, maupun pembiayaan sampai dukungan pembiayaan oleh pemerintah. Pada sisi upstream, Pemerintah Indonesia juga secara tidak langsung memaksa produsen untuk memproduksi baterai dalam negeri melalui program hilirisasi mineral [program hilirisasi mineral sangat menarik dan perlu dijelaskan pada artikel terpisah, kalau penulis sempat nanti kita bahas].

Insentif kepada masyarakat sudah dilakukan dengan PP 71 Tahun 2021, yang mengklasifikasikan kendaraan listrik dan hybrid sebagai kendaraan bermotor yang dibebaskan dari PPBM. Selain skema pembebasan pajak yang mirip dengan LCGC, rencana subsidi sepeda motor listrik juga menunjukkan upaya mendorong sektor tersebut.

Apa Selanjutnya?
Pemberian subsidi dan berbagai insentif memang menjadi penting dalam dalam menciptakan industri domestik. Namun penulis melihat, subsidi dan insentif harus dianggap sebagai "pemanis" untuk memulai investasi di sektor tertentu. Sehingga apabila secara pasar bebas sudah mapan dan kompetitif, pemerintah perlu secara bertahap menghilangkan kebijakan subsidi atau insentif pajak tersebut. 

Dalam pandangan penulis, skema LCGC sudah ketinggalan zaman, untuk apa masih mempertahankan insentif untuk pengembangan kendaraan bahan bakar minyak apabila Indonesia sudah ingin mengejar elektrifikasi. Pada akhirnya, pelaku industri perlu didorong ke pasar bebas di mana tidak ada insentif atau pajak khusus di dalam negeri, atau bahkan bertarung pada pasar ekspor. Sehingga industri tersebut dapat berkembang melalui inovasi dan efisiensi, bukan karena proteksi pasar yang dilakukan oleh pemerintah. 

Sementara, disrupsi kendaraan listrik bisa jadi momentum bagi Indonesia untuk memiliki national industry champ pada sektor kendaraan alih-alih terus bergantung pada merek luar negeri. Bahkan mungkin menjadi distrupsi yang tidak muncul lagi pada beberapa generasi ke depan. Sehingga, mungkin langkah all out pemerintahan sekarang perlu semakin dipertajam untuk meningkatkan investasi pada sektor tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun