Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Meng-Indonesia-kan Kendaraan: Satu Dekade LCGC, dan Era Subsidi Kendaraan Listrik

4 Juni 2023   15:12 Diperbarui: 4 Juni 2023   18:15 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompas.com: https://www.kompas.com/properti/read/2022/10/25/130000221/pembangunan-pelabuhan-patimban-berlanjut-ini-lingkup-pekerjaannya?page=all

Upaya memiliki industri kendaraan lokal sudah terlihat sejak era, Presiden Soeharto dengan Program Kerjasama Indonesia Jepang, yang melahirkan Toyota Kijang. Hal tersebut berbuah manis, Toyota Kijang terasa seperti mobil Indonesia yang bermerek Jepang, dan menjadi favorit banyak orang Indonesia. Tidak hanya, itu Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) Kijang juga cenderung tinggi dibandingkan kendaraan-kendaraan lain pada generasinya.

Pada sisi Pahitnya, program Timor justru terasa seperti kebalikan dari Kijang, yaitu mobil luar negeri yang diberi logo Indonesia. Termasuk juga rencana Esemka yang tidak kunjung berhasil dilepas ke pasar.

Terobosan kebijakan untuk memiliki industri kendaraan lokal kembali menggeliat pada akhir era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan program LCGC yang beberapa kali dipertajam pada era Presiden Joko Widodo. Pada tahun ini, program LCGC genap berusia sepuluh tahun, pada saat yang bersamaan Pemerintah juga sibuk mengembangkan program kendaraan listrik yang dimulai pada tahun 2019.
   


Satu Dekade Program LCGC
Program LCGC lahir berdasarkan PP No. 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, peraturan tersebut memberikan pembebasan pajak bagi manufaktur yang terdaftar berdasarkan. Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai perpajakan tersebut mengatur mengenai pajak nol persen untuk kendaraan bensin dan diesel kapasitas kecil dengan konsumsi bahan bakar yang baik.

Adapun "Program mobil hemat energi" tersebut diadakan dalam rangka, kemandirian industri kendaraan bermotor roda empat berupa penguatan struktur industri komponen berdaya saing melalui investasi dan alih teknologi.

Ketentuan tersebut ditindaklanjuti Kemenperin dengan Permenperin No. 33 Tahun 2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Terjangkau. 

Permenperin memang tidak secara eksplisit menyatakan kewajiban mencapai TKDN tertentu, namun mewajibkan manufaktur untuk menyampaikan rencana investasi, rencana manufaktur, dan rencana penggunaan komponen sebagai pertimbangan penetapan produsen sebagai peserta KBH2 penerima fasilitas perpajakan. Rencana bisnis tersebut kemudian menjadi dasar kementerian perindustrian untuk mengajukan usulan pencabutan fasilitas perpajakan, apabila realisasinya tidak tercapai. Kewenangan tersebut kemudian menjadi nilai tawar Kemenperin untuk terus mendorong produsen kendaraan untuk terus menaikkan TKDN kendaraan LCGC dan berinvestasi di Indonesia.

Keberhasilan program LCGC dapat dilihat dari pembangunan pabrik kendaraan, dalam satu dekade terakhir Toyota Manufacturing Motor Indonesia membangun dua pabrik, untuk melengkapi empat pabrik yang sudah didirikan sejak kehadirannya di Indonesia pada 1973. Sementara, produsen LCGC lainnya yaitu Honda Prospect Motor dan Suzuki Indomobil juga menambah satu pabrik masing-masing pada tahun 2014 dan 2015.

Tidak hanya itu, empat besar produsen Jepang dan Wuling juga sudah mencapai TKDN 70%. Hal tersebut berarti, Indonesia tidak hanya memproduksi lebih banyak kendaraan, tetapi semakin banyak value chain dari kendaraan yang diproduksi ada di Indonesia. Terlebih lagi, Indonesia juga telah menjadi eksportir mobil, dengan angka hampir 600 ribu unit.        

Masuk Ke Era Kendaraan Listrik

Bisa dibilang, bahwa dekade 2020-an dalam dunia kendaraan penumpang seperti Moto-GP musim 2001, yang menjadi musim terakhir era GP-500 2-Tak dan transisi menuju Moto GP yang bermesin 990 cc 4-Tak. Pada musim itu, beberapa tim yang mapan pada musim sebelumnya gagal untuk beradaptasi dengan skema mesin baru, sementara ada banyak tim baru yang berupaya peruntungan dengan regulasi baru dan berhasil. Hal tersebut karena riset mesin 2-tak yang sudah dilakukan empat dekade, langsung digantikan oleh mesin 4-Tak, riset semua tim seakan-akan mulai dari nol lagi.

Hal yang sama juga terjadi baik di roda empat maupun roda dua, ketika beberapa pabrikan besar bahkan belum punya market champion untuk kendaraan listrik beberapa pabrikan baru justru sudah memiliki produk yang disukai masyarakat. Dari brand yang sudah mapan namun belum menjadi penguasa pasar seperti  Hyundai, Wuling, dan Niu maupun pemain baru seperti Gesits, Alva, dan Selis.

Kabar lebih baiknya, brand seperti Gesits, Alva, dan Selis merupakan brand asli Indonesia, dengan Gesits berstatus plat merah.

Kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2018/11/07/12413171/jokowi-pastikan-pemerintah-dukung-penuh-produksi-massal-motor-listrik-gesits  
Kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2018/11/07/12413171/jokowi-pastikan-pemerintah-dukung-penuh-produksi-massal-motor-listrik-gesits  
Setelah proyek Timor yang gagal, dan kendaraan bensin Esemka yang belum jelas kapan dijual ke pasaran. Saya mulai berpikir, mungkin rezeki produsen kendaraan asli Indonesia bukan di kendaraan bakar. Lagipula akan sangat sulit mengejar ketertinggalan teknologi mesin bakar Jepang dan Eropa yang lahir 50 bahkan 100 tahun lebih dahulu. Bandingkan dengan kendaraan listrik yang selisih pengembangannya tidak terlalu jauh.


Program industri yang dirumuskan dengan baik dapat saja menjadikan Indonesia sebagai produsen kendaraan kelas dunia. Dengan perusahaan lokal yang muncul pada era listrik, Indonesia dapat mengandalkan national champ. Prospek tersebut mungkin lebih menarik dibandingkan LCGC, yang meskipun desainer, material, sampai yang nyuci mobilnya dari Indonesia dan TKDN-nya lebih tinggi dari mobil nasional manapun, tetap saja mereknya Jepang.

Program Kendaraan Listrik Nasional
Dapat dikatakan Pemerintah Indonesia sudah mempersiapkan kerangka regulasi bahkan ketika kendaraan listrik belum menemukan hype-nya. Pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Perpres No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Peraturan mengatur mengenai target TKDN yang mencapai 60% pada tahun depan, dan 80% pada tahun 2026. Berdasarkan capaian tersebut, maka produsen dapat mendapatkan insentif. Insentif juga dapat diberikan pada industri penunjang seperti SPKLU, battery swap, dan pengelolaan limbah, maupun bagi konsumen. 

Adapun insentif dapat berupa pengurangan pungutan dan pajak, maupun pembiayaan sampai dukungan pembiayaan oleh pemerintah. Pada sisi upstream, Pemerintah Indonesia juga secara tidak langsung memaksa produsen untuk memproduksi baterai dalam negeri melalui program hilirisasi mineral [program hilirisasi mineral sangat menarik dan perlu dijelaskan pada artikel terpisah, kalau penulis sempat nanti kita bahas].

Insentif kepada masyarakat sudah dilakukan dengan PP 71 Tahun 2021, yang mengklasifikasikan kendaraan listrik dan hybrid sebagai kendaraan bermotor yang dibebaskan dari PPBM. Selain skema pembebasan pajak yang mirip dengan LCGC, rencana subsidi sepeda motor listrik juga menunjukkan upaya mendorong sektor tersebut.

Apa Selanjutnya?
Pemberian subsidi dan berbagai insentif memang menjadi penting dalam dalam menciptakan industri domestik. Namun penulis melihat, subsidi dan insentif harus dianggap sebagai "pemanis" untuk memulai investasi di sektor tertentu. Sehingga apabila secara pasar bebas sudah mapan dan kompetitif, pemerintah perlu secara bertahap menghilangkan kebijakan subsidi atau insentif pajak tersebut. 

Dalam pandangan penulis, skema LCGC sudah ketinggalan zaman, untuk apa masih mempertahankan insentif untuk pengembangan kendaraan bahan bakar minyak apabila Indonesia sudah ingin mengejar elektrifikasi. Pada akhirnya, pelaku industri perlu didorong ke pasar bebas di mana tidak ada insentif atau pajak khusus di dalam negeri, atau bahkan bertarung pada pasar ekspor. Sehingga industri tersebut dapat berkembang melalui inovasi dan efisiensi, bukan karena proteksi pasar yang dilakukan oleh pemerintah. 

Sementara, disrupsi kendaraan listrik bisa jadi momentum bagi Indonesia untuk memiliki national industry champ pada sektor kendaraan alih-alih terus bergantung pada merek luar negeri. Bahkan mungkin menjadi distrupsi yang tidak muncul lagi pada beberapa generasi ke depan. Sehingga, mungkin langkah all out pemerintahan sekarang perlu semakin dipertajam untuk meningkatkan investasi pada sektor tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun