Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Indonesia Memang Butuh Kerja, tapi Omnibus Law Justru Mengancam Peternak Lokal dengan Produk Impor?

16 Agustus 2020   18:02 Diperbarui: 17 Agustus 2020   15:40 2411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari ke belakang muncul berbagai kampanye dukungan ke RUU Cipta Kerja di media sosial mulai dari akun-akun komik, sampai endorsement artis yang membuat klaim bahwa RUU Cipta Kerja bakal membuat lapangan pekerjaan. 

Well entah siapa yang mendanai, tapi menurut saya kampanyenya juga tidak cerdas, karena bahkan tidak menyinggung substansi RUU Cipta Kerja. 

Justru kempanyenya lebih banyak "ngeledekin" orang yang mengkritik RUU Cipta Kerja, dan buat klaim bahwa RUU Cipta Kerja akan mendatangkan investor dan menciptakan kerja tanpa menjelaskan bagaimana RUU tersebut membuat investasi lebih mudah. 

Bahkan kalau dilihat baik akun maupun artis yang membuat konten #IndonesiaButuhKerja tidak sama sekali membahas pasal atau substansi dari omnibus law.

Lantas apakah karena namanya "Cipta Kerja" otomatis menciptakan pekerjaan? Well untuk jawab dampak dari keseluruhan RUU tersebut akan butuh lebih banyak dari satu artikel. 

Tapi dalam artikel ini saya akan bahas secara spesifik beberapa pasal yang justru sangat kontradiktif dengan klaim mendatangkan investasi dan menciptakan lapangan bekerjaan. 

Justru bisa dibilang perubahan dalam RUU Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan bisa dibilang membunuh industri peternakan lokal.

Industri Penggemukan Sapi & Regulasi yang Melindunginya

Kebetulan, orang tua saya punya peternakan sapi kecil dengan jumlah ternak tidak sampai 10 ekor sebagai usaha sampingan.

Nah, dari yang saya pelajari salah satu skema bisnis paling menguntungkan dan aman buat peternak dengan modal kecil sebenarnya adalah penggemukan sapi. 

Jadi sapi dibeli dari ukuran sedang, atau ukuran "bakalan" kemudian dilakukan penggemukan atau yang lebih dikenal dengan feedlote. Ongkos dan risiko  investasi yang diperlukan cenderung jauh lebih rendah dibandingkan membesarkan dari ukuran anakan apalagi memelihara induk dan membesarkan dari lahir.

Hal tersebut dimungkinkan karena ketentuan dalam Pasal 36B ayat 1-3 Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mengatur:

(1) Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan apabila produksi dan pasokan Ternak dan Produk Hewan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.

(2) Pemasukan Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berupa Bakalan.

(3) Pemasukan Ternak ruminansia besar Bakalan tidak boleh melebihi berat tertentu 

(4) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Bakalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memperoleh izin dari Menteri. 

(5) Setiap Orang yang memasukkan Bakalan dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan penggemukan di dalam negeri untuk memperoleh nilai tambah dalam jangka waktu paling cepat 4 (empat) bulan sejak dilakukan tindakan karantina berupa pelepasan. 

Apabila dikaji dari aspek ekonomi, bentuk kebijakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kebijakan berbentuk import restriction. Dalam pandangan penulis, restriksi impor  tersebut sangat beralasan.

Salah salah satu alasan tersebesar mengapa pemerintah melakukan restriksi impor adalah untuk melindungi industri domestik yang rawan kolaps apabila dipaksa bersaing dengan produk impor, nah salah satunya adalah peternakan sapi.

Sulit sekali untuk mempertahankan industri peternakan sapi di Indonesia tanpa adanya restriksi impor. Kecuali di beberapa daerah seperti NTT, peternakan sapi merupakan usaha yang cukup labor intensive.

Iklim tropis memang memberikan berkah berupa tanah yang sangat subur, namun bagi peternak sapi tanah yang subur tersebut justru bermasalah karena menciptakan hutan hujan tropis.

Sedikit sekali daerah Indonesia yang berupa savana atau padang rumput dimana peternak dapat melepaskan sapinya untuk merumput. Justru banyak peternakan sapi di Indonesia mengandagi sapi mereka, sebagai implikasinya rumput harus diarit untuk dibawa ke kandang yang merupakan pekerjaan yang membutuhkan banyak orang dan melelahkan.

Dibandingkan peternak Indonesia, peternak Australia mendapatkan keuntungan dari padang rumput yang luas. sumber: teysaust.com.au
Dibandingkan peternak Indonesia, peternak Australia mendapatkan keuntungan dari padang rumput yang luas. sumber: teysaust.com.au

Permasalahan terbesar kita adalah karena kita bertetangga dengan salah satu negara paling effisien untuk memproduksi hewan ternak. Peternak Australia tinggal melepas sapinya di padang rumput yang jauh lebih murah dan mudah dibandingkan sistem peternakan di kandang. 

Ditambah lagi dengan fakta bahwa Australia punya lebih banyak sapi dibandingkan manusia, tidak harga sapi hidup di Indonesia yang mencapai Rp. 47.000,00 pada 2019 jauh lebih mahal dibandingkan dengan Austalia yang hanya setengahnya pada saat tulisan ini dibuat.

Tanpa adanya restriksi impor, maka bisa dijamin bahwa sapi siap potong impor dari Australia akan membanjiri pasar dan menggulung tikar industri yang selama ini sudah megap-megap karena regulasi yang bermasalah. 

Akan lebih fatal lagi kalau keran impor yang dibuka adalah daging, kalau hal ini yang dilakukan bukan hanya peternak yang terkena dampaknya, tapi industri rumah jagal juga akan, kena jagal.

Kalau dalam pandangan saya kewajiban penggemukan dalam negeri sudah cukup tepat untuk tetap menyediakan sapi di Indonesia dan menciptakan lapangan pekerjaan di saat yang bersamaan, meskipun kewajiban rasio impor indukan dan bakalan masih perlu dikritisi.

Toh biar bikin harga lebih mahal untuk konsumen tujuan menciptakan lapangan pekerjaan terpenuhi kan, sementara harga juga tidak teralu meroket karena setengah dari hidup si sapi dibesarkan di lokasi yang paling effisien.

Lagipula Indonesia punya banyak alternatif protein lain, ditambah dengan fakta konsumsi daging merah berlebihan tidak baik bagi kesehatan dan lingkungan sebenarnya tidak ada urgensi bagi pemerintah untuk membuat daging sapi jadi komoditas super-murah.

Sebenarnya kebijakan ini sangat tidak disukai publik Australia  yang berkali-kali mendorong larangan ekspor sapi hidup ke Indonesia. Narasi yang dibentuk adalah kekejaman hewan dalam proses penjagalan sapi di Indonesia yang dulu videonya sempat viral.

Namun apakah video itu hoax atau tidak, bahkan menjadi pertanyaan di Australia, sebagaimana dijelaskan dalam blog salah satu ahli biologi Australia Jennifer Marohasy dalam artikelnya:

 "We were told the footage wasn't taken by Four Corners or the ABC.  Lyn White from Animals Australia is the face of the campaign against live cattle export and she starred in the documentary. She was at pains to tell us it was easy enough to get the footage. So we were lead to believe she had taken it herself.

 "Of course professionals could have staged something like this. The footage could have been totally contrived. We could have been looking at a work of fiction: a setup, a horror film.

 "Interestingly there is an organisation that specialises in film production for environmental, conservation and animal protection groups. In the 'Tracks Investigations, Annual Review 2011-12' the UK-based directors, Gem and Ian, claim responsibility for the footage shown on ABC TV. They boast that their work was "aided" by the screening on "Australia's main TV station ABC in May". They also claim it was their most successful project in their 18 year history:"

Intinya, ada kemungkinan bahwa video tersebut sebenarnya diciptakan untuk mendorong kebijakan anti ekspor sapi hidup ke Indonesia. Secara sekilas menciptakan isu tersebut sebenarnya masuk akal karena mengekspor daging tentu lebih menguntungkan dibandingkan mengekspor sapi bakalan. 

Hal yang lebih lucu lagi karena ternyata peternakan dan rumah jagal Australia juga memiliki masalah dengan para aktivis pencinta hewan, dan Australia bahkan menggodok regulasi untuk mengkriminalisasi aktivis anti kekerasan hewan. 

Tapi toh kampanye tersebut terlepas dari kepentingan hewan atau cuma memaksimalkan ekspor, justru menjadi bumerang bagi negara asal bumerang tersebut. Selama ini Indonesia menjadi tujuan ekspor utama sapi dari kawasan utara Australia, nah karena adanya larangan ekspor sapi hidup dan stok sapi menjadi menumpuk tanpa terserap pasar, sebuah kebijakan yang akhirnya mereka cabut.

Bagaimana Omnibus Law Menciptakan Pengangguran?

Oke sekarang kita tahu bagaimana kewajiban penggemukan domestik menciptakan lapangan kerja; dengan mencegah sapi siap konsumsi masuk ke Indonesia dan mewajibkan penggemukan dan secara tidak langsung penyembelihan di Indonesia. Nah kita juga sudah tahu bahwa kebijakan tersebut mendapat tekanan dari mancanegara.

Logikanya, kalau Omnibus Law benar-benar menciptakan lapangan pekerjaan atau setidaknya tidak memperburuk keadaan, seharusnya perlindungan ke industri domestik yang secara alami sudah sudah susah tersebut tidak dicabut, ya kan?

Terlebih kalau melihat partai yang mengusung Presiden dan Ketua DPR dalam kampanyenya ada foto Sukarno yang mencetuskan ekonomi bedikari, harusnya tekanan asing tidak jadi alasan untuk melindungi industri domestik kan?

Well kalau melihat naskah akademik Omnibus Law RUU Cipta Kerja, ekspektasi saya tidak terpenuhi. Pertama, perubahan RUU Perternakan dan Kesehatan Hewan dalam omnibus law justru merubah Pasal 36A ayat (2) dari:

"Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan apabila produksi dan pasokan Ternak dan Produk Hewan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.'

Menjadi

"Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan untuk memenuhi konsumsi masyarakat."

Otomatis, ketentuan bahwa impor hewan ternak dan produk hewan yang tadinya opsi terakhir apabila produk domestik tidak mencukupi menjadi hilang.

Yang lebih fatalnya lagi bagi industri peternakan domestik adalah penghapusan ketentuan Pasal 36B ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dengan demikian ternak impor yang harusnya hanya berupa "bakalan" dan memiliki bobot maksimal tertentu dihapuskan.

Hal tersebut berpotensi menyebab, usaha penggemukan hewan ternak yang sejak awal bergantung pada ketentuan tersebut kolaps. Sebab, sebagaimana telah dibahas, pasar tidak lagi dibatasi untuk membeli sapi yang lebih mahal tapi dibesarkan dan menciptakan lapangan pekerjaan di Indonesia. 

Alih-alih, kesempatan untuk mengimpor sapi yang sudah dewasa dan siap potong langusng dari Australia dengan harga yang jauh lebih murah dibuat.

Hal yang lebih mengecewakan lagi, alasan perubahan pasal tersebut tidak didasari kepentingan untuk mempermudah bisnis peternakan melaikan kepentingan World Trade Organization. Naskah Akademik Omnibus Law secara gambalng menyatakan:

 "Komitmen Indonesia di WTO khususnya dalam Perjanjian GATT 1994 Indonesia tidak dapat melakukan pembatasan terhadap pemasukan dan pengeluaran barang terkait dengan perdagangan internasional."

Bagaimana Dengan Investasi Asing yang Diharapkan?

Well sebenarnya deregulasi investasi asing merupakan hal yang sangat kontroversial di Indonesia, tetapi karena artikel ini tajuknya #IndonesiaButuhKerja jadi anggaplah penulis sedang mendukung wacana pemerintah dan mengesampingkan potensi negatif investasi asing.

Artikel ini untuk menguji klaim-klaim pendunkung omnibus law bahwa rancangan undang-undang tersebut "mengundang investor ke Indonesia" sehingga menciptakan lapangan pekerjaan.

Lagipula kan pembahasannya apakah Omnibus Law bakal bikin pekerjaan, dan salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengundang investor asing.

Hal positif yang berpotensi diciptakan oleh investasi asing adalah stimulasi ekonomi, transfer pengetahuan dan teknologi, perkembangan skill pekerja apabila perusahaan asing membuat pelatihan, dan yang cukup jelas adalah menciptakan lapangan pekerjaan.

Di antara berbagai indikator ekonomi, salah satu yang paling bermasalah dari Indonesia adalah Foreign Direct Restrictiveness. Walaupun tetap perlu dipandang dengan kritis, karena data FDI Restrictiveness dari OECD hanya mengkaji regulasi secara normatif sehingga tidak mempertibangkan faktor-faktor rill di lapangan seperti korupsi dan kesulitaan dalam praktik. 

Secara umum Indonesia mendapatkan ranking kedua terburuk se-ASEAN dan hanya kalah dari Filipina, Indonesia hanya mendapatkan nilai 0.321 bandingkan dengan Vietnam yang mendapat angka 0.130 dimana 0 berarti bebas, dan 1 berarti tidak mungkin melakukan FDI. 

Untuk sektor primer, Indonesia juga menghasilkan ranking yang sama dengan skor 0.439 dibandingkan dengan Vietnam yang hanya 0.61. Dapat dibilang Indonesia merupakan negara kedua tersulit se-ASEAN bagi modal asing untuk masuk, jadi wajar saja kalau investor sulit berbisnis di Indonesia.

Dengan demikian, kalau seuai kampanyenya yang ditujukan pada penganggur atau yang terkena PHK bahwa Omnibus Law akan memberikan akses ke investor asing yang akan membuat pekerjaan, sehingga sepatutnya berbagai pembatasan investasi asing di berbagai undang-undang dihapus. Kebetulan, salah satu Undang-Undang yang menatur restriksi investasi asing adalah Pasal 30 Undang-Undang Perternakan dan Kesehatan Hewan yang mengatur:

 (1) Budi daya hanya dapat diselenggarakan oleh perorangan warga negara Indonesia atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum Indonesia.

(2) Perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerja sama dengan pihak asing sesuai dengan peraturan perundangundangan di bidang penanaman modal dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.

Subtansi pasal tersebut jelas bahwa keterlibatan asing sangat dibatasi hanya pada kerja sama dengan investor Indonesia, sehingga penenaman modal langsung tidak dimungkinkan. 

Pertanyaan selanjutnya apakah omnibus law menghapus pasal tersebut, setelah membaca naskah akademiknya ternyata jawabannya tidak.

Jadi dapatlah dibilang propaganda bahwa investor banyak memilih negara lain dibandingkan Indonesia, dan untuk mencegah hal tersebut solusinya adalah RUU Cipta Kerja adalah gimik semata.

Bagaimana mau mengundang investor dan menciptakan lapangan pekerjaan kalau pasal yang membatasinya saja tidak dicabut oleh omnibus law?

Kesimpulan & Saran

Aksi mahasiswa UI Jakarta, Kamis, 16 Juli 2020Credits: Ryan
Aksi mahasiswa UI Jakarta, Kamis, 16 Juli 2020Credits: Ryan

Perubahan yang akan dilakukan Omnibus Law terhadap Undang-Undang Perternakan dan Kesehatan Hewan sangat mengecewakan. Bahkan tidak perlu menggunakan perspektif "SJW" yang memiliki standar keadilan yang lebih tinggi untuk menyadari bahwa Omnibus Law bermasalah. 

Bahkan RUU Cipta Kerja gagal memenuhi hal yang digembor-gemborkan oleh para pendukungnya yaitu menciptakan lapangan kerja dan mengundang investasi.

Pada sektor Peternakan, Omnibus Law seperti liberalisasi yang nanggung dan merupakan kombinasi terburuk dari kebijakan ekonomi yang protektif dan liberal. 

Pada satu sisi, Omnibus Law justru meliberalisasi restriksi impor hewan dan produk ternak yang jangankan menciptakan lapangan pekerjaan baru, ketentuan tersebut malah berpotensi mematikan industri yang sudah rapuh dan perlu perlindungan.

Pada sisi lain, omnibus law tetap membatasi investasi asing yang diperlukan untuk membuat lapangan kerja baru. Bukannya mengundang investor untuk menciptakan lapangan kerja, omnibus law justru menjadi karpet merah bagi produk impor yang kontradiktif dengan tujuan awalnya yaitu menciptakan lapangan kerja.

Perubahan tersebut juga sangat membingungkan bagi saya karena pemerintah mengklaim bahwa omnibus law mempermudah perizinan dan investasi, tapi tidak membahas mengenai mempermudah impor.

Kalaupun dibilang bakal bikin pekerjaan ya tidak salah, dengan ketentuan baru pasti impor sapi jauh lebih mudah dan menciptakan lapangan kerja bagi importir sapi, dengan mengorbankan peternak sapi yang jumlahnya jauh lebih besar.

Mungkin harga sapi domestik yang sangat tinggi dibandingkan harga internasional juga ada ruginya bagi industri dan penciptaan lapangan kerja. Toh, pada akhirnya industri pengolahan daging sapi seperti kornet, sosis, dan bakso yang menciptakan lapangan kerja juga bergantung pada daging. 

Harga yang tinggi tentu akan membuat industri pengolahan daging kita stunting dan tidak kompetitif di pasar internasional. Saran saya, kalau hal tersebut dipertimbangkan mungkin kebijakan penggemukan perlu direlaksasi, namun hanya pada kebutuhan daging industri. Dengan demikian, industri pengolahan daging dapat mengimpor daging secara langusng.

Namun untuk konsumsi masyarakat tetap dibatasi pada ternak yang telah melalui penggemukan di Indonesia yang diimpor dengan berat maksimal tertentu.

Liberalisasi ekonomi memang sering dianggap solusi kemajuan beberapa negara seperti India, China dan Vietnam. Namun, semoga pemerintah dan DPR melakukan liberalisasi dengan perhitungan yang sangat matang jangan sampai liberalisasi justru mencabut perlindungan bagi industri domestik namun tetap membatasi investasi seperti draf RUU Cipta Kerja.  

Permasalahan RUU Cipta Kerja tidak hanya di sektor peternakan, cek pandangan mahasiswa terkait RUU Cipta Kerja di artikel ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun