"Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan apabila produksi dan pasokan Ternak dan Produk Hewan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.'
Menjadi
"Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan untuk memenuhi konsumsi masyarakat."
Otomatis, ketentuan bahwa impor hewan ternak dan produk hewan yang tadinya opsi terakhir apabila produk domestik tidak mencukupi menjadi hilang.
Yang lebih fatalnya lagi bagi industri peternakan domestik adalah penghapusan ketentuan Pasal 36B ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dengan demikian ternak impor yang harusnya hanya berupa "bakalan" dan memiliki bobot maksimal tertentu dihapuskan.
Hal tersebut berpotensi menyebab, usaha penggemukan hewan ternak yang sejak awal bergantung pada ketentuan tersebut kolaps. Sebab, sebagaimana telah dibahas, pasar tidak lagi dibatasi untuk membeli sapi yang lebih mahal tapi dibesarkan dan menciptakan lapangan pekerjaan di Indonesia.Â
Alih-alih, kesempatan untuk mengimpor sapi yang sudah dewasa dan siap potong langusng dari Australia dengan harga yang jauh lebih murah dibuat.
Hal yang lebih mengecewakan lagi, alasan perubahan pasal tersebut tidak didasari kepentingan untuk mempermudah bisnis peternakan melaikan kepentingan World Trade Organization. Naskah Akademik Omnibus Law secara gambalng menyatakan:
 "Komitmen Indonesia di WTO khususnya dalam Perjanjian GATT 1994 Indonesia tidak dapat melakukan pembatasan terhadap pemasukan dan pengeluaran barang terkait dengan perdagangan internasional."
Bagaimana Dengan Investasi Asing yang Diharapkan?
Well sebenarnya deregulasi investasi asing merupakan hal yang sangat kontroversial di Indonesia, tetapi karena artikel ini tajuknya #IndonesiaButuhKerja jadi anggaplah penulis sedang mendukung wacana pemerintah dan mengesampingkan potensi negatif investasi asing.