Sumber pendapatan besar terakhir adalah Commercial Income atau bahasa sederhananya sponsor. Commercial income inilah yang pertumbuhannya juga cepat dan valuenya gak main-main, lima tim paling tajir Eropa menggantungkan sekitar 49% pendapatannya dari commercial income.Â
Yang paling besar adalah Barcelona yang punya angka yang luar biasa, raksasa Katalan berhasil meraup 370an Juta Euro pada tahun 2018 hanya dari commercial income. Itupun harusnya bisa lebih banyak lagi andaikan fans bola kere seperti saya dan jutaan orang lainnya membeli jersey asli, bukan yang grade ori, KW Thailand, apalagi beli lusinan dari Tanah Abang.
Sumber pendapatan komersial ini yang paling gampang keliatan, mungkin adalah merek di jersey. Saking menguntungkannya di banyak liga top dibatasi jumlah, ukuran, dan penempatannya untuk melindungi aestetika itulah kenapa penempatan sponsor biasaya di situ-situ aja dan ukurannya hampir sama antar tim di Liga Inggris, Italia, Jerman atau Spanyol.Â
Nah kalau di negara berkembang seperti Indonesia dan Brazi sepertinya masih belum dibatasi, makanya melihat jersey tim lokal kita agak seperti melihat tampak depan warung kelontong; terpampang beragam merek.
Nah, selain itu terdapat berbagai cara lain yang mungkin di lapangan tidak teralu kelihatan. Mulai dari baju latihan, endorsement, minum minuman energi saat iklan khas Indonesia, sampai dengan "Official Wine Partner" ala Macnhester United. Dengan makin klimisnya pemain bola semenjak George Best dan Beckham, status pemain bola sudah seperti selebgram. B
ahkan lebih ekstrim lagi, kalau Awkarin dibayar untuk mempost sesuatu ke Instagramnya endorsement sepak bola mencapai lebih jauh dari medsos. Misalnya, perjanjian sponsor Audi ke Munchen bahkan mewajibkan pemain Munchen untuk meggunakan mobil Audi ke tempat latihan, bahkan Munchen tidak segan untuk mendenda pemainnya yang nakal pakai mobil lain.
Terdapat beberapa hal yang menentukan commercial revenue. Pertama beberapa tim memang sudah dianugrahi fanbase yang fanatik dan loyal, ibarat cebong atau kampret meskipun jagoannya ngaco seringkali tetap bakal dibela. Tim sepak bola adalah institusi yang sangat dikultuskan sehingga sedemikian setianya fanboynya.
Mau Persija gak main di Jakarta lagi, Juventus main di Serie B, AC Milan jadi tim medioker, Liverpool tidak menang EPL 30 tahun, atau Manchester United menunjukan permainan yang bikin tepok jidat di bawah Moyes. Persija tetap Persija, dan Milan tetap Milan saya yang keburu cinta mati dan saya yakin saya bukan satu-satunya yang gak pernah bisa move on dari cinta pertama di dunia sepak bola. Plus kuantifikasi dari pengikut di media sosial yang banyak, tentu jadi potofolio yang sangat menjual bagi tim untuk dijual perushaan yang ingin menyeponsorinya.
Kedua, prestasi, jelas sekali calon sponsor ingin diasosiasikan dengan tim yang menang [walaupun mungkin produknya kontraditif, yang pasti merokok Marlboro sambil minum Calrlsberg tidak akan bikin kita jadi Schumacher apalagi Gerrard]. Tapi yang jelas perusahaan manufaktur sepatu, asuransi, pesawat terbang, sampai kretek ingin produknya terpampang di para juara.Â
Faktanya dengan menjuarai Liga Champions Liverpool berhasil mendongkrak pendapatan komersilnya dari 154.3 juta Euro menjadi 188 juta Euro atau sebesar 22%. Dengan catatan kenaikan hampir seperempat tersebut diraih tanpa kenaikan prestasi yang sangat drastis dibandingkan tahun sebelumnya dimana tim asuhan Klopp kalah di final.