Kedua, menaikan harga tiket tentu berpotensi menciptakan tensi dengan suppoter serta menurunkan kehadiran fans yang merusak home advantage. Ditambah lagi menaikan harga juga sangat sensitif dengan kemampuan ekonomi masyarakat sekitar, jangan mimpi lah tim Indonesia bisa masang harga tiket sejuta kayak di Inggris dan stadion tetap penuh, Â Persija pasang harga tiket ekonomi Rp. 50.000 aja udah bikin megap-megap The Jak padahal Jakarta merupakan salah satu region paling tajir se-Indonesia.
 Opsi melakukan pembesaran stadion tentu bisa dilakukan seperti Spurs. Namun kalau mempertimbangkan harga ekspansi stadion, apalagi rata-rata tim besar berasal dari kota yang padat sehingga nyari tanah kosong buat dibangun stadion saja susah dan banyak sengketanya (ekhem Jakarta).Â
Belum lagi tim yang dalam setahun-dua tahun bisa jadi musafir yang tentunya menurunkan performa. Serta masih ada sumber lain yang lebih mudah, gak heran deh kalau banyak tim Eropa yang tim seperti Bornemouth, Fulham, atau QPR yang betah-betah aja di stadion yang kapasitasnya gak lebih besar dari Almarhum stadion Lebak Bulus.
Seberapa penting matchday income pada sepakbola moderen, ya seperti yang saya bilang tadi tidak teralu. Kita hidup di era dimana sudah tidak membingungkan kalau Bornemouth atau Fulham yang stadionnya gak lebih megah dari Almarhum Stadion Lebak Bulus bisa lebih tajir dari Persija dan Persebaya yang main di GBK dan GBT, dan bukan perkara daya beli atau di Indonesia banyak rojali saja.Â
Faktanya kalau dibandingkan dengan Glasgow Celtic yang kapasitas stadionnya 50.000an, main di Europa League, dan trebel domestik di Skotlandia. Bornemouth yang stadionnya sekilas seperti Stadion Merpati Depok dan cuma finish di posisi 12 Premier League, pendapatannya tetap lebih tinggi sekitar 38 juta Pounds daripada Celtic. Celtic "cuma" dapat 93 Juta Pounds dalam tahun anggaran 2019, sementara Bornemouth dapat 131 Juta Pounds.
Yang lebih gila lagi keunggulan itu didapatkan dengan matchday Income yang kalah hampir sepuluh kali lipat; Bornemouth 4.9 Juta Pounds vs Celtic 43 Juta Punds, dan merchandise yang kalah hampir 18 kali lipat; Bournemouth 1.2 Juta Pounds vs Celtic 18.1 Juta Pounds kok bisa?
Jawabannya adalah brodcasting, Bornemouth main di Premier League sementara Celtic main di Scotish Premier League. Bahkan gabungan antara Media+Commercial Activity Celtic yang main di Europa League dan Juara SPL cuma menghasilkan 22 Juta Pounds. Bandingkan dengan hanya finish di peringkat 12 EPL yang menghasilkan pendapatan mencapai 115.6 Juta Pounds, atau hampir 11 kali lipat. Kalau ditambah dengan sposor, maka pendapatan Bornemouth mencapai 118.7 Juta Pounds.
Pendapatan brodcasting yang luar biasa inilah yang menjadi fondasi kedigdayaan tim-tim Inggris, Italia, Jerman, dan Prancis. Terutama tim Inggris, gabungan antara liga yang seru dan pemain top dunia membuat brodcasting Liga Inggris menjadi yang termahal sedunia. Bahkan menurut Tifo Football bermain satu musim dan terdegradasi dari EPL menghasilkan brodcasting income yang bahkan lebih tinggi daripada brodcasting income ditambah hadiah juara Eredivisie Belanda.Â
Itulah kenapa kesuksesan Ajax, Feynoord, atau PSV pasti akan diikuti dengan eksodus pemain besar-besaran. Selain memang business model dari tim Belanda, menjadi "big fish in a little pond" punya kutukan sendiri, siapa juga yang mau nonton Excelsior vs Sparta Rotterdam kecuali orang Belanda.Â
Karena brodcasting income yang rendah tersebutlah Ajax tidak mungkin mempertahankan pemainnya ketika berhadapan dengan tim dari big five league Eropa. Ya, enaknya jadi tim Inggris finish di peringkat 12 saja sudah menghasilkan uang yang sama dengan penjualan De Light dan Ziyech.