Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

DPR Pasca 22 Tahun Reformasi: Dari Tukang Stempel Presiden Jadi Tukang Bikin Perkara MK

22 Mei 2020   21:14 Diperbarui: 22 Mei 2020   22:24 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://kumparan.com/kumparannews/ketika-mahasiswa-ui-hingga-itb-bersatu-melawan-dpr-dan-pemerintah-1rto5qRqhSW

Lebih fundamental lagi, jelas sampai hari ini masih ada anggota dewan yang masuk kerja tanpa tahu apa pekerjaannya. Tanpa perlu membaca Undang-Undang MD3 saya yakin anak SMP juga sudah tahu bahwa menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat merupakan tugas anggota dewan. Tentu sangat konyol apabila ada anggota dewan yang merekomendasikan mengajukan keberatan, kritik, atau aspirasi ke Mahkamah Konstitusi. Padahal saluran utama rakyat apabila  ada kritik, aspirasi, merasa ada yang tidak cocok, atau pendapat adalah DPR, bukan Mahkamah Konstitusi.  Apabila DPR memang benar ingin melakukan "tindakan hukum bagi yang merendahkan martabat DPR" seperti dalam Revisi Undang-Undang MD3 seharusnya pernyataan orang-orang seperti itulah yang harusnya ditindaklanjuti, karena pernyataan-pernyataan seperti itulah yang justru secara terang-terangan menunjukan betapa tidak bertanggungjawabnya legislator Indonesia. 

Mental asal mengesahkan undang-undang lalu menyuruh judicial review, sama saja seperti anak sekolah yang menolak belajar sebelum ujian karena tahu bakal ada remedial. Padahal apabila anak tersebut belajar dia bisa dapat nilai 10, namun karena malas memilih jalur remedial, secara sadar menerima buruknya hasil dan nilai yang pas-pasan untuk lulus.

Tapi Semoga Saja

https://kumparan.com/kumparannews/ketika-mahasiswa-ui-hingga-itb-bersatu-melawan-dpr-dan-pemerintah-1rto5qRqhSW
https://kumparan.com/kumparannews/ketika-mahasiswa-ui-hingga-itb-bersatu-melawan-dpr-dan-pemerintah-1rto5qRqhSW
Tentu yang salah bukan keberadaan DPR, atau Mahkamah Konstitusi. Yang salah adalah DPR dan Presiden yang tidak menyerap aspirasi masyarakat, dan lepas tanggung jawab dalam membentuk undang-undang yang baik, kemudian menyuruh rakyat melakukan pengujian undang-undang. Mungkin ada juga sebagian salah rakyat karena membiasakan santai dalam menghadapi rancangan undang-undang bermasalah dan manut saja ketika disururh mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi, alih-alih mendesak pihak yang bertanggung jawab untuk menyusun undang-undang dengan baik.

Tidak ada salahnya mengajukan pengujian undang-undang, namun hal tersebut sepatutnya menjadi opsi paling terakhir rakyat. Opsi utama adalah proses partisipasi publik untuk memastikan undang-undang yang sehat baik lewat upaya yang "halus" seperti kajian, rilis, kampanye media, dan audiensi, sampai yang "kasar" seperti aksi masa. Atau, ya kita akan membiasakan legislator kita untuk menyusun undang-undang secara bermasalah, dan lempar tanggung jawab ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji kualitasnya.

Jelas dalam konstitusi kewenangan penyusunan undang-undang berada pada DPR dan Presiden, dan fungsi legislasi berada pada DPR. Kini, DPR mungkin tidak sepasif pada era orde baru yang ditunjukan dengan banyaknya rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPR. Namun, apakah kultur 5 D, dan tukang stempel sudah sepenuhnya hilang? Dari pembahasan Omnibus Law sepertinya tidak, DPR masih nurut-nurut saja dengan pemerintah untuk membahas rancangan undang-undang bermasalah di bawah kecaman publik.

Yang bagi penulis benar-benar belum hilang adalah paradigma Birokrasi Orba "kalau bisa susah kenapa harus gampang". Sebenarnya DPR bisa saja bekerja lebih keras untuk mempermudah masyarakat dalam memberikan aspirasinya. Namun, dalam praktiknya perlu demo besar-besaran dan berdarah yang menciptakan beberapa "selebgram" untuk benar-benar menunda pengesah berbagai draf undang-undang bermasalah. Padahal hal tersebut bisa dicegah apabila pembentukan undang-undang memang partisipatif dan transparan sejak awal. Lebih lanjut kalau bisa "menyulitkan" masyarakat dengan menyuruh melakukan pengujian undang-undang, "buat apa dipermudah" dengan mengarkan aspirasinya dan merubah berbagai pasal bermasalah. Seperti itulah potret pembentukan undang-undang, 22 tahun pasca Mei 1998, miris memang.

Tentu miris melihat produk reformasi justru dijadikan alat untuk kabur dari tanggung jawab, dan menjelang 75 tahun kemerdekaan kita masih menggaji anggota dewan yang tidak paham fungsinya. Tapi, ya, semoga saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun