Lebih fundamental lagi, jelas sampai hari ini masih ada anggota dewan yang masuk kerja tanpa tahu apa pekerjaannya. Tanpa perlu membaca Undang-Undang MD3 saya yakin anak SMP juga sudah tahu bahwa menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat merupakan tugas anggota dewan. Tentu sangat konyol apabila ada anggota dewan yang merekomendasikan mengajukan keberatan, kritik, atau aspirasi ke Mahkamah Konstitusi. Padahal saluran utama rakyat apabila  ada kritik, aspirasi, merasa ada yang tidak cocok, atau pendapat adalah DPR, bukan Mahkamah Konstitusi.  Apabila DPR memang benar ingin melakukan "tindakan hukum bagi yang merendahkan martabat DPR" seperti dalam Revisi Undang-Undang MD3 seharusnya pernyataan orang-orang seperti itulah yang harusnya ditindaklanjuti, karena pernyataan-pernyataan seperti itulah yang justru secara terang-terangan menunjukan betapa tidak bertanggungjawabnya legislator Indonesia.Â
Mental asal mengesahkan undang-undang lalu menyuruh judicial review, sama saja seperti anak sekolah yang menolak belajar sebelum ujian karena tahu bakal ada remedial. Padahal apabila anak tersebut belajar dia bisa dapat nilai 10, namun karena malas memilih jalur remedial, secara sadar menerima buruknya hasil dan nilai yang pas-pasan untuk lulus.
Tapi Semoga Saja
Tidak ada salahnya mengajukan pengujian undang-undang, namun hal tersebut sepatutnya menjadi opsi paling terakhir rakyat. Opsi utama adalah proses partisipasi publik untuk memastikan undang-undang yang sehat baik lewat upaya yang "halus" seperti kajian, rilis, kampanye media, dan audiensi, sampai yang "kasar" seperti aksi masa. Atau, ya kita akan membiasakan legislator kita untuk menyusun undang-undang secara bermasalah, dan lempar tanggung jawab ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji kualitasnya.
Jelas dalam konstitusi kewenangan penyusunan undang-undang berada pada DPR dan Presiden, dan fungsi legislasi berada pada DPR. Kini, DPR mungkin tidak sepasif pada era orde baru yang ditunjukan dengan banyaknya rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPR. Namun, apakah kultur 5 D, dan tukang stempel sudah sepenuhnya hilang? Dari pembahasan Omnibus Law sepertinya tidak, DPR masih nurut-nurut saja dengan pemerintah untuk membahas rancangan undang-undang bermasalah di bawah kecaman publik.
Yang bagi penulis benar-benar belum hilang adalah paradigma Birokrasi Orba "kalau bisa susah kenapa harus gampang". Sebenarnya DPR bisa saja bekerja lebih keras untuk mempermudah masyarakat dalam memberikan aspirasinya. Namun, dalam praktiknya perlu demo besar-besaran dan berdarah yang menciptakan beberapa "selebgram" untuk benar-benar menunda pengesah berbagai draf undang-undang bermasalah. Padahal hal tersebut bisa dicegah apabila pembentukan undang-undang memang partisipatif dan transparan sejak awal. Lebih lanjut kalau bisa "menyulitkan" masyarakat dengan menyuruh melakukan pengujian undang-undang, "buat apa dipermudah" dengan mengarkan aspirasinya dan merubah berbagai pasal bermasalah. Seperti itulah potret pembentukan undang-undang, 22 tahun pasca Mei 1998, miris memang.
Tentu miris melihat produk reformasi justru dijadikan alat untuk kabur dari tanggung jawab, dan menjelang 75 tahun kemerdekaan kita masih menggaji anggota dewan yang tidak paham fungsinya. Tapi, ya, semoga saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H