Â
"Tukang stempel" merupakan istilah yang sering digunakan sebagai kritik masyarakat pada Era Orde Baru melihat DPR yang cenderung "manut" terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh eksekutif. Selain itu juga populer istilah "5 D; datang, daftar, duduk, diam, dan duit." Istilah tersebut muncul dari persepsi negatif masyarakat karena kebanyakan anggota DPR dianggap tidak berani menyurakan aspirasi dan melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Dikutip dari jurnal karya Yeby Ma'asan Mayrudin, Mochtar Mas'oed menjelaskan mengenai DPR Era Orde Baru sebagai:
"... praktek pada era Orde baru sebetulnya mengulang praktek yang ada pada rezim Soekarno dimana sudah menjadi tradisi bahwa badan eksekutif langsung mengendalikan politik legislatif. Hasilnya adalah suatu parlemen yang umumnya tanggap terhadap perintah lembaga eksekutif dan dengan patuh melaksanakan perintah itu, dengan akibat mengurbankan proses pembahasan dan pertimbangan yang seksama."
Sekarang, Orde Baru sudah runtuh 22 tahun lalu. Namun, cukup jelas bahwa demokrasi Indonesia sedang berada pada fase buruk, setidaknya dalam kurun waktu pasca 1998. Aksi besar-besaran di perode akhir 2019, dan beragam kritik terhadap proses legislasi pada masa pandemi menunjukan betapa muaknya publik terhadap proses legislasi di Indonesia. Beberapa lembaga gerakan bahkan sampai memberikan stempel Orde Paling Baru sampai Orba 4.0. Artikel ini akan membahas bagaimana peninggalan kultur Orde Baru masih hidup dalam paradigma legislator kita.
Kenapa Undang-Undang Memerlukan Persetujuan DPR, dan Kenapa Harus Partisipatif?
Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat memang tidak dapat dilepaskan dari pemikiran John Locke bahwa "kekuasaan untuk menetapkan hukum tidak boleh dipengang sendiri oleh mereka yang melaksanakannya", yang kemudian berkembang menjadi konsep trias politica.
Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Pasca Amandemen, DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang dan setiap undang-undang merupakan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR. Adapun berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Amandemen, rancangan undang-undang dapat diajukan oleh Presiden berdasarkan Pasal 5 ayat (1), diusulkan oleh DPR berdasarkan Pasal 21, dan dalam RUU dengan materi muatan tertentu dapat DPD Â berdasarkan Pasal 22D.
Menurut Jimly Asshiddiqie, fungsi legislasi yang dalam bentuk konkretnya merupakan fungsi pengaturan berkenaan dengan norma-norma yang mengikat dan membatasi. Dengan demikian, kewenangan ini, dalam hal undang-undang yang dapat memiliki materi muatan yang membatasi hak rakyat, dapat membebani rakyat, atau mengatur pengeluaran oleh penyelenggara negara hanya bisa dilakukan sepanjang rakyat menyetujui. Maka tidak heran apabila pembentukan peraturan tertinggi setelah konstitusi yaitu udang-undang merupakan cabang kekuasaan yang pada dasarnya adalah perwakilan rakyat.
Patut dipahami bahwa pandangan tersebut adalah pandangan ahli hukum, yang dasar keilmuannya normatif. Dengan demikian, pandangan tersebut lebih menjelaskan "apa yang seharusnya terjadi" (das solen) daripada apa yang sebenarnya terjadi (das sein).
Sementara, tugas DPR terkait pembentukan undang-undang dan menyarap aspirasi masyarakat diatur dalam Pasal 72 Undang-Undang MD3. Secara umum DPR memiliki tugas untuk menyusun, membahas, menetapkan, dan menyebarluaskan prolegnas. Selain itu juga untuk menyusun, membahas, dan menyebarluaskan prolegnas rancangan undang-undang. Menerima RUU yang diajukan oleh DPD terkait materi muatan tertentu, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah. Hal yang sangat penting diatur dalam Pasal 72 huruf (g.) yaitu; menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
Tidak hanya kewajiban untuk menyerap aspirasi masyarakat, mengacu Pada Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan "keterbukaan: merupakan suatu asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Adapun, mengacu pada penjelasan Pasal 5 huruf (g.) undang-undang tersebut yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah;
" "asas  keterbukaan"  adalah  bahwa dalam  Pembentukan  Peraturan  Perundang-undangan  mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan,   dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan."
Selain itu, Prolegnas juga sepatutnya disusun didasarkan atas aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat berdasarkan pasal 17 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012.Â
Ironi Pembentukan Undang-Undang Dua Tahun Ke Belakang
Dewan Perwakilan Rakyat kita memang tidak sepasif pada era orde baru. Pada Era Orde Baru, anggota dewan begitu pasif sampai pasca pemilu 1971 tidak ada satupun undang-undang yang menjadi usul inisiatif anggota dewan. DPR juga dinilai hanya menjadi "tukang stempel" karena hanya menyetujui dan mengesahkan rancangan undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. Hal tersebut sangat kontras dengan Prolegnas 2020, dimana 39 rancangan undang-undang diajukan oleh DPR, 13 oleh Pemerintah, dan 1 oleh DPD.
Namun, dalam praktinya tindakan DPR untuk membahas RUU Cipta Kerja yang diajukan oleh pemerintah pada masa pandemi tentu perlu mendapat kecaman keras. Selain karena materi muatannya yang bermasalah, pembahasan pada masa pandemi secara otomatis mengurangi kesempatan partisipasi publik. Hal tersebut menunjukan bahwa, toh pasca reformasi DPR juga masih gagal untuk menampung aspirasi masyarakat untuk menyortir rancangan undang-undang yang bermasalah dari pemerintah.
Lebih lanjut, makin banyaknya rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPR ternyata tidak otomatis membuat penyusunan undang-undang "lebih mewakili rakyat". Aksi #ReformasiDikorupsi pada September 2019 lalu melakukan penolakan pada banyak rancangan undang-undang yang dinilai bermasalah. Sayanya tiga diantaranya sudah disahkan menjadi undang-undang yaitu Undang-Undang Sumber Daya Air, Revisi Undang-Undang KPK, dan Undang-Undang Minerba. Fakta yang menarik adalah bahwa ketiga undang-undang bermasalah tersebut, seluruhnya merupakan usul anggota dewan.
Pasca didemo, Revisi Undang-Undang KPK masih memuat beragam pasal yang dinilai publik bermasalah seperti keberadaan dewan pengawas dan kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan. Begitu juga dengan Undang-Undang Minerba yang disahkan oleh DPR pada masa pandemi juga menuai banyak kritik terkait keberadaan pasal-pasal yang bermasalah.
Tidak hanya itu, beberapa rancangan undang-undan bermasalah lainnya juga merupakan rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPR seperti RUU Pertanahan, RUU Ketahanan Keluarga, dan RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama merupakan usul dari DPR. Sementara RUU KUHP dan RUU Permasyarakatan yang juga menuai banyak kritik merupakan usul Pemerintah dan DPR.
Pada sisi lain, DPR masih belum berhasil mengesahkan, bersama presiden, undang-undang usulannya yang diharapkan oleh publik seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Masyarakat Hukum Adat.
Mungkin benar, bahwa DPR bukan lagi tukang stempel presiden dan sudah mulai aktif dalam pengusulan rancangan undang-undang. Namun, pencapaian DPR dalam dua tahun kebelakang masih sangat mengecewakan. Ekspektasi publik yang tinggi dengan semakin aktifnya DPR justru membuahkan beberapa undang-undang bermasalah, dan gagal mengesahkan undang-undang yang diharapkan.
Biang Perkara di Mahkamah KonstitusiÂ
Peran Mahkamah Konstitusi dalam pembentukan norma apakah sebagai Negative Legislature atau Positive Legislature sendiri merupakan perdebatan yang menarik. Pada satu sisi Mahkamah Konstitusi didorong oleh DPR untuk negative legislature dimana putusan Mahkamah Konstitusi dibatasi hanya untuk membatalkan undang-undang atau pasal. Pasal 57 ayat (2a) Revisi Undang-Undang Mahkamah Kontitusi No.8 Tahun 2011 menyatakan bahwa:
"putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945".Â
Menariknya, pasal tersebut diuji konstitusionalitasnya dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yang menimbulkan perdebatan apakah Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan Undang-Undang yang mengatur tentang dirinya. Terlepas dari itu, dengan membatalkan norma tersebut, Mahkamah Konstitusi membuat dirinya dapat membuat norma-norma baru atas undang-undang atau pasal yang dibatalkan olehnya.
Sayangnya, kewenangan tersebut seringkali dijadikan alasan oleh anggota dewan untuk "lari dari tanggung jawab" untuk menyusun undang-undang yang baik. Misalnya paska dikritik habis-habisan soal Undang-Undang MD3, Fadli Zon menyatakan:
"Kami melihat ada saluran bagi pihak yang menginginkan dilakukan JR (judicial review) terhadap pasal tertentu, meskipun semangat pasal itu bukan berarti antikritik, tetapi persoalan kalau ada penghinaan terhadap lembaga yang memang di luar negari ada juga itu,"
Saat diuji, benar saja, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa pasal "merendahkan martabat anggota dewan" merupakan pasal yang inkonstitusional. Mahkamah mengabulkan permohonan dalam putusan No. 16/PUU-XVI/2018 yang diajukan oleh FKHK, Dr. Husdi Herman, S.H, M.M, dan Yudhistira Rirfy Darmawan. Yang menarik, adalah banyak orang mengira bahwa Mahkamah Konstitusi menerima permohonan Zico Leonard dan Josua Collins, padahal dalam Putusan No. 18/PUU-XVI/2018, padahal mahkamah menyatakan bahwa permohonan tersebut kehilangan objek karena telah diputus dalam putusan sebelumnya.
Hal yang serupa juga dikatakan oleh ketua Panja RUU Minerba, Bambang Wuryano yang alih-alih menjelaskan mengenai pasal-pasal bermasalah dalam RUU Minerba justru menyatakan:
"Kalau enggak cocok, lakukan judical review. Enggak perlu memborbadir Whatsapp ke anggota panja. Mohon maaf. Enggak perlu teror,"
Pernyataan ini, dalam pandangan penulis pernyataan tersebut lucu. Wajar saja publik membombardir Whatsapp anggota dewan, karena pembahasan dilakukan pada masa pandemi sehingga tidak memungkinkan bentuk penyampaian pendapat lain seperti aksi masa. Terlebih lagi, sebagaimana dibahas diatas, RUU Minerba dinilai masil memiliki pasal-pasal bermasalah ketika disahkan.
Begitu pula dengan pernyataan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco terkait Perppu No. 1 Tahun 2020:
"Menurut saya lebih bagus kalau ada yang tidak setuju dengan Perppu itu kemudian, melakukan upaya-upaya hukum yang real seperti misalnya, judicial review untuk menyalurkan aspirasinya,"
Yang dalam pandangan penulis justru menunjukan bahkan anggota dewan selevel Wakil Ketua DPR RI sekalipun, gagal memahami fungsi lembaganya. Â
Kultur tersebut tentu bermasalah, penulis sepakat dengan pendapat ahli Hukum Tata Negara, Refly Harus dalam penjelasannya mengenai Pengujian Undang-Undang. Menurutnya undang-undang yang buruk belum tentu inkonstitusional. Hal tersebut masuk akal, beban pembuktian di Mahkamah Konstitusi adalah apakah sebuah undang-undang sesuai dengan konstitusi atau tidak, yang cakupannya tentunya lebih kecil daripada membahas apakah sebuah undang-undang baik atau buruk.Â
Putusan Mahkamah Konstitusi, pun dalam konteks positive legislatuer, juga cenderung terbatas dibandingkan opsi pembentukan undang-undang yang sehat dan partisipatif. Melalui penyusunan rancangan udang-undang yang sehat dan partisipatif berbagai aspirasi publik dan pendapat ahli dapat ditampung untuk menjadi sebuah undang-undang yang lebih baik secara komperhensif. Belum lagi mempertimbangkan, mengubah beberapa pasal melalui pengujian undang-undang mungkin hanya akan menimbulkan perbaikan yang parsial.
Apabila dilihat secara etis, mempertimbangkan tugas dan tanggung jawab yang diamanatkan Undang-Undang, seharusnya DPR dan Presiden malu apabila ada orang yang mengajukan judicial review. Hal paling aneh adalah ketika DPR sadar bahwa ada banyak orang yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena sebuah RUU, namun tetap memaksa mengesahkannya. Berbagai rekomendasi judicial review dari anggota dewan maupun pemerintah justru menunjukan mereka sadar ada hak yang dilanggar namun tetap mengesahkan undang-undang.
Apalagi, sampai sekarang penulis belum pernah melihat anggota dewan atau Presiden yang meminta maaf apabila sebuah undang-undang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bukankah ketika sebuah judicial review dikabulkan, produk hukum dari DPR dan Presiden terbukti melanggar hak konstitusional rakyatnya, atau memang melanggar hak konstitusional bukanlah sesuatu yang memalukan di mata pejabat Indonesia?
Lebih fundamental lagi, jelas sampai hari ini masih ada anggota dewan yang masuk kerja tanpa tahu apa pekerjaannya. Tanpa perlu membaca Undang-Undang MD3 saya yakin anak SMP juga sudah tahu bahwa menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat merupakan tugas anggota dewan. Tentu sangat konyol apabila ada anggota dewan yang merekomendasikan mengajukan keberatan, kritik, atau aspirasi ke Mahkamah Konstitusi. Padahal saluran utama rakyat apabila  ada kritik, aspirasi, merasa ada yang tidak cocok, atau pendapat adalah DPR, bukan Mahkamah Konstitusi.  Apabila DPR memang benar ingin melakukan "tindakan hukum bagi yang merendahkan martabat DPR" seperti dalam Revisi Undang-Undang MD3 seharusnya pernyataan orang-orang seperti itulah yang harusnya ditindaklanjuti, karena pernyataan-pernyataan seperti itulah yang justru secara terang-terangan menunjukan betapa tidak bertanggungjawabnya legislator Indonesia.Â
Mental asal mengesahkan undang-undang lalu menyuruh judicial review, sama saja seperti anak sekolah yang menolak belajar sebelum ujian karena tahu bakal ada remedial. Padahal apabila anak tersebut belajar dia bisa dapat nilai 10, namun karena malas memilih jalur remedial, secara sadar menerima buruknya hasil dan nilai yang pas-pasan untuk lulus.
Tapi Semoga Saja
Tidak ada salahnya mengajukan pengujian undang-undang, namun hal tersebut sepatutnya menjadi opsi paling terakhir rakyat. Opsi utama adalah proses partisipasi publik untuk memastikan undang-undang yang sehat baik lewat upaya yang "halus" seperti kajian, rilis, kampanye media, dan audiensi, sampai yang "kasar" seperti aksi masa. Atau, ya kita akan membiasakan legislator kita untuk menyusun undang-undang secara bermasalah, dan lempar tanggung jawab ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji kualitasnya.
Jelas dalam konstitusi kewenangan penyusunan undang-undang berada pada DPR dan Presiden, dan fungsi legislasi berada pada DPR. Kini, DPR mungkin tidak sepasif pada era orde baru yang ditunjukan dengan banyaknya rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPR. Namun, apakah kultur 5 D, dan tukang stempel sudah sepenuhnya hilang? Dari pembahasan Omnibus Law sepertinya tidak, DPR masih nurut-nurut saja dengan pemerintah untuk membahas rancangan undang-undang bermasalah di bawah kecaman publik.
Yang bagi penulis benar-benar belum hilang adalah paradigma Birokrasi Orba "kalau bisa susah kenapa harus gampang". Sebenarnya DPR bisa saja bekerja lebih keras untuk mempermudah masyarakat dalam memberikan aspirasinya. Namun, dalam praktiknya perlu demo besar-besaran dan berdarah yang menciptakan beberapa "selebgram" untuk benar-benar menunda pengesah berbagai draf undang-undang bermasalah. Padahal hal tersebut bisa dicegah apabila pembentukan undang-undang memang partisipatif dan transparan sejak awal. Lebih lanjut kalau bisa "menyulitkan" masyarakat dengan menyuruh melakukan pengujian undang-undang, "buat apa dipermudah" dengan mengarkan aspirasinya dan merubah berbagai pasal bermasalah. Seperti itulah potret pembentukan undang-undang, 22 tahun pasca Mei 1998, miris memang.
Tentu miris melihat produk reformasi justru dijadikan alat untuk kabur dari tanggung jawab, dan menjelang 75 tahun kemerdekaan kita masih menggaji anggota dewan yang tidak paham fungsinya. Tapi, ya, semoga saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H