Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Berlari dengan Sepatu yang Berbeda #3: Infrastruktur dan Finansial, Penyebab Kolapsnya Klub Indonesia Timur

10 Mei 2020   01:44 Diperbarui: 10 Mei 2020   02:05 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: instagram.com/badaklampungfc

Artikel ini adalah artikel serial "Berlari dengan Sepatu Yang Berbeda" apabila anda belum membaca seri pertama dan seri kedua, sebaiknya anda membaca artikel sebelumnya terlebih dahulu.

Apabila membahas torehan prestasi, Persipura memang menjadi rajanya dengan mengoleksi empat gelar juara semenjak 1994. Namun, apabila melihat lima besar pengoleksi juara terbanyak maka tim dari pulau Jawa sangat mendominasi Persebaya, Persija, Persib dan Persik semuanya mengoleksi 2 trofi.

Prestasi Persipura menunjukan bahwa dengan manajemen yang baik dan keadaan yang mendukung, tim sepak bola dari Indonesia Timur dapat menjadi sangat kompetitif apalagi mempertimbangkan catatan pemain nasional yang dilahirkan klub-klubnya. Sebut saja Persiter Ternate tahun 2007 yang tidak terkalahkan di kandang sepanjang musim dan melahirkan beberapa pemain top nasional, atau Persiwa Wamena yang sempat sempat menjadi kesebelasan elit. 

Namun, Ketika bertanya kenapa kedua tim tersebut tidak ada di Liga 1 tentu jawabannya sangat miris. 

Persiter Ternate yang harusnya menjadi kontestan Liga Super pertama gagal karena masalah biaya, infrastruktur, dan kondisi politik pasca Pemilihan Kepala Daerah Maluku Utara. Bahkan pengurus juga tidak mengikuti kompetisi tahun 2008/2009 yang membuat Persiter terpaksa memulai dari Divisi Amartir, dan masih berkutat di divisi tersebut sampai hari ini. Sementara, Persmin Minahasa tim senasib Persiter yang juga gagal lolos ke ISL 2008/2009 karena perkara uang dan infrastruktur juga masih terdampar di Liga 3.

Salah satu stadion paling angker: Stadion Pendidikan Wamena - sumber: http://jeckosatrio.blogspot.com/
Salah satu stadion paling angker: Stadion Pendidikan Wamena - sumber: http://jeckosatrio.blogspot.com/

Kisah Persiwa juga tidak kalah pahit, runner up Liga Super 2008/2009 yang juga memiliki rekor tidak kalah di kandang, dan peringkat ke tiga Liga Super 2011/2012.

 Permasalahan finansial menyeret Persiwa Wamena ke jurang degradasi pada 2013, gagal promosi perkara keuangan dan pada tahun 2015  juga memperkeruh keadaan. 

Permasalahan yang menimpanya, masih sama persoalan infrastruktur dan keuangan. Bahkan permasalahan finansial persiwa pada tahun 2013 masih berlanjut sampai musim 2018 ketika sanksi pengurangan 6 poin karena gagal membayar gaji pemain memastikan degradasi ke divisi tiga.

Permasalahan keuangan juga menjadi alasan tidak kompetitifnya Persidafon Dafonsoro pada ISL 2013 yang berakhir pada degradasi. Bahkan pada musim 2014 Persidafon mengundurkan diri dari gelaran Divisi Utama Karena Permasalahan yang sama.

Sementara itu, tercatat dua tim asal Papua mengalami nasib yang lebih tragis. Persiram Raja Ampat yang sempat berlaga di ISL tanpa stadion pada akhirnya dibeli dan berubah menjadi PS TNI yang bermarkas di Pulau Jawa pada tahun 2016. Hal yang sama juga terjadi pada Perseru Serui, yang karena alasan finansial yang membuat lisensi tim tersebut dijual ke Lampung dan menjadi Badak Lampung FC pada tahun 2019. 

sumber: instagram.com/badaklampungfc
sumber: instagram.com/badaklampungfc

Patut diakui, pada era moderen komersialisasi sepak bola tidak terhindarkan untuk menjamin majunya sebuah liga dan (mungkin saja) tim nasional. 

Sepak bola moderen bukan lagi permainan yang dimainkan di lapangan becek pada sore hari dan ditonton warga sekitar. Sepak bola moderen dimainkan di lapangan rata pada malam hari untuk menyesuaikan jadwal tayang, untuk memastikan ditonton banyak orang, sehingga orang melihat sponsor yang ditampilkan di pinggir stadion atau baju pemain. 

Dari sponsor tersebut maka dapat didatangkan pemain asing berkualitas untuk berkompetisi dengan pemain lokal yang tumbuh dari akademi yang berkualitas.

Dari apa yang diupayakan dalam satu setengah dekade terakhir, Indonesia terlihat meniginkan hal tersebut dengan segara kekurangannya. Sayangnya sepertinya Liga Indonesia mengasumsikan semua tim "berlari" dengan sepatu yang sama. 

Faktanya Indonesia tidak seperti Inggris dimana pembangunannya cukup merata, mungkin lebih mirip seperti Jerman pasca unifikasi padah tahun 1991 dimana sebagian wilayahnya jauh lebih makmur dibandingkan wilayah lainnya. Kesenjangan pasca unifikasi Jerman ternyata membuat tim-tim eks Jerman Timur langsung tidak kompetitif dibandingkan Jerman Barat. 

Kasus Indonesia memang tidak seperti Jerman dimana dua negara dan dua liga digabungkan, namun sepak bola moderen ternyata sulit untuk menciptakan kompetisi yang adil dalam hal terdapat disparitas ekonomi yang besar antar wilayah.

Sebut saja perkara infrastruktur, tentu bukan salah tim sepak bola dari kota kecil apabila stadionnya tidak memadai. Toh, semua tim Indonesia masih menyewa stadion yang umumnya dimiliki oleh pemerintah daerah yang sayangnya tidak merata di seluruh Indonesia. 

Ketika pemerintah daerah kota-kota yang cukup makmur dapat membangun stadion super megah seperti Baltakan di Balikpapan, Aji Imbut di Tenggarong, atau Bandung yang punya beberapa stadion sekaligus. Mungkin hanya Stadion Mandala Jayapura yang dapat menampung lebih dari 25.000 orang di kawasan timur Indonesia.

Lebih lanjut, penulis juga masih sangat mempertanyakan format Liga 1 yang tidak menggunakan sistem wilayah. Sekedar perbandingan, NBA dan MLS yang memiliki perputaran uang yang jauh lebih besar masih menggunakan sistem wilayah barat dan wilayah timur. 

Hal tersebut diperparah dengan keadaan Indonesia sebagai negara kepulauan yang membuat perjalanan bagi tim-tim di ujung negeri menjadi tidak hanya melelahkan namun juga mahal. Penerbangan Aceh ke Jayapura saja bisa memakan waktu satu hari dengan tiga kali transit menggunakan pesawat.

Pencabutan APBD yang cukup mendadak tentu juga mencekik finansial banyak tim yang belum siap. Tanpa APBD, otomatis tim sepakbola bergantung pada tiga sumber broadcasting, commercial, dan match day. 

Namun, tidak semua tim memiliki stadion yang besar dan berasal dari kota dengan populasi yang besar juga untuk mendapatkan matchday income yang besar. 

Lebih lanjut, tidak semua tim mendapatkan kemewahan disiarkan langsung oleh pengelola liga dan mendapatkan eksposure yang cukup unuk menaikan nilai komersialnya. Belum membahas skema pembagian keuntungan dari penyiaran yang masih sangat perlu dipertanyakan.

Apabila sempat, saya akan membahas bagaimana cara tim sepak bola moderen menciptakan penghasilan untuk menjelaskan mengapa sistem kompetisi, pilih kasih operator liga dan pembiayaan yang lazier faire mencekik tim dari kawasan timur Indonesia. 

Mungkin tidak dalam satu-dua hari ke depan karena saya sedang menjalankan uang, maka apabila berkenan jangan lupa klik tombol follow akun kompasiana ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun