GUNJANG-GANJINGÂ konflik Partai Demokrat terus menjadi bahan perbincangan panas publik, terutama pasca diselenggarakannya Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang, Jumat (5/3/21). Sebagaimana diketahui, dalam KLB tersebut, KSP Moeldoko muncul sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB.Â
Dengan demikian, Partai Demokrat sejak diselenggarakannya KLB Deli Serdang terjadi dualisme kepemimpinan. Yaitu antara kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan kubu KSP Moeldoko.Â
Hal ini membuat sejarah kembali terulang. Jauh sebelumnya dualisme kepemimpinan partai politik juga pernah dialami oleh partai lain. Sebut saja di Partai Golkar, antara Aburizal Bakrie dengan Agung Laksono, Partai Berkarya antara Tommy Soeharto dengan Muchdy PR, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) antara Djan Faridz dengan Romy Romahurmuzy dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) antara Megawati Soekarnoputri dengan Suryadi.Â
Ini artinya, konflik internal yang terjadi pada partai politik tanah air bukan lagi barang baru. Ketika terjadi silang pendapat dan beda kepentingan, maka potensi terpecahnya organisasi partai politik adalah sebuah keniscayaan.Â
Jadi, apa yang terjadi pada Partai Demokrat adalah hal biasa. Mungkin yang menjadikan konflik ini begitu wah dan panas gara-garanya adalah kegenitan yang dipertontonkan AHY dan ayahnya sendiri yang menjabat Ketua Majelis tinggi partai, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), ditambah dengan keterlibatan KSP Moeldoko yang dinilai sebagai pihak luar sekaligus pejabat tinggi negara.Â
Keterlibatan KSP Moeldoko ini pula yang akhirnya memantik kecurigaan sejumlah kalangan bahwa perebutan kursi Ketua Umum Partai Demokrat di-endorse oleh pemerintah. Sejauh ini kecurigaan tersebut belum terbukti, karena pemerintah melalui Menkopolhukam, Mahfud MD, menyatakan, apa yang dilakukan KSP Moeldoko adalah urusan pribadi dan pemerintah tidak bisa ikut campur.Â
Kembali pada dualisme kepemimpinan Partai Demokrat, tidak sedikit pihak menilai bahwa prospek karier politik AHY bakal anjlok bahkan tak menutup kemungkinan tamat. Anggapan ini tentu sah-sah saja. Toh, semua itu hak mereka untuk mengemukakan pendapat. Namun, saya sendiri melihat prospek politik AHY masih fifty-fifty alias bisa anjlok, tetapi bisa juga malah melejit, tergantung sikap yang bakal dia perlihatkan ke depannya.Â
Dengan kata lain, konflik dualisme kepemimpinan di tubuh Partai Demokrat adalah ujian sebenarnya bagi AHY. Apakah dia mampu melewati ujian ini dengan baik atau tidak.Â
Bila AHY memandang KLB Deli Serdang sebagai bentuk penindasan atau ketidakadilan terhadap dia dan partainya dan terus menguarnya ke publik tanpa henti, saya rasa apa yang didugakan sejumlah kalangan tadi bisa terbukti.Â
Elektoral AHY berikut kariernya bakal tamat. Kenapa? Karena publik sudah mulai bosan dengan langkah-langkah politik ala playing victim yang dia peragakan selama ini. Langkah politik semacam ini sudah gampang ditebak. Imbasnya, alih-alih mendapat dukungan atau simpati publik, yang ada malah boleh jadi ditinggalkan.Â
Menurut hemat saya, lebih baik AHY strugle atau berjuang keras mempertahankan kedaulatan partainya dengan cara-cara dewasa dan strategi elegan. Dalam hal ini, AHY dengan segenap kemampuannya berusaha melawan hasil KLB Deli Serdang dengan cara merapatkan barisan segenap kader partai dari mulai tingkat pusat hingga akar rumput. Pastikan mereka semua loyal terhadap kepemimpinannya.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!