Bagi masyarakat, keberadaan partai politik itu bukan untuk bermain sandiwara dengan segala janji-janji palsu, melainkan aksi nyata dan bisa dirasakan manfaatnya.Â
Mundur ke belakang, isu kudeta Partai Demokrat setidaknya melibatkan tiga nama. Dari internal partai, ada nama Jhoni Allen Marbun. Kemudian, ada nama Muhamad Nazarudin yang pernah menjabat sebagai bendahara umum partai, dan dari pihak eksternal, yakni KSP Moeldoko.Â
Nama Moeldoko ini yang paling menghebohkan. Â Membuat AHY mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi, agar memberikan respon. Sayang, hal tersebut tidak ditanggapi. Mungkin, orang nomor satu di republik ini merasa hal itu bukan menjadi urusannya sebagai presiden. Terlebih, Moeldoko sendiri membantah. Dia mengaku memang pernah bertemu dengan kader-kader Partai Demokrat. Meski begitu, Presiden Jokowi tidak tahu-menahu dan tidak terlibat sama sekali.Â
Pada intinya, AHY kembali cari sensasi untuk menarik perhatian dari kasus yang mulai redup. Seiring waktu, isu tersebut kalah pamor oleh isu buzzer dan UU ITE. Atau, AHY merasa drama kudeta jilid pertama tidak laku, maka, dia terpaksa memutar ulang kaset drama kudeta.Â
Bila benar, hampir dipastikan bahwa kualitas keterampilan kepemimpinannya. AHY hanya bermodalkan sensasi agar dapat disorot media. Sedianya, AHY tidak usah terus berkoar, sebab hal ini justru menunjukan ketidakmampuannya sebagai nahkoda partai politik. Bukan pemimpin namanya kalau hanya bisa curhat atau baperan.Â
Menjual masalah ke masyarakat untuk saat ini bukan waktu yang tepat. Masyarakat jangankan mendengar keluh kesah AHY, untuk memikirkan nasibnya karena dampak pandemi pun oleng setengah mati. Bila ingin dipercaya dan mendapat simpati publik, AHY lebih baik menjadi pribadi yang tangguh, tahan banting terhadap masalah, dan tidak gampang baper. Begitulah kira-kira.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H