BELUM lama ini Presiden Joko Widodo (Jokowi), meminta terhadap seluruh elemen masyarakat agar lebih aktif mengkritisi pemerintah. Pernyataan orang nomor satu ini langsung ditanggapi beragam. Ada yang menyambut baik, ada pula yang malah mencibir.Â
Sebagian pihak ada yang mengatakan bahwa statement Presiden Jokowi tersebut layak diapresiasi, lantaran menandakan pemerintah terbuka dan tidak alergi kritik. Mereka benar-benar ingin mempraktikkan arti demokrasi dengan baik. Setiap warga negara bebas mengemukakan pendapat.Â
Namun pada sisi lain, ada pula yang menilai pernyataan Presiden Jokowi ini ibarat pisau bermata dua. Kerap kali kritikan tajam yang diarahkan pada pemerintah berujung proses hukum.Â
Mereka berpendapat, bila pemerintah benar-benar terbuka dan siap dikritik, semestinya regulasi yang berlaku sekarang dibenahi terlebih dahulu. Misal UU ITE, ujaran kebencian. Malah, ada pula yang menghendaki pemerintah membereskan dulu para pendengung atau buzzer. Mereka kerap kompak menyerang siapapun yang dianggap keras terhadap pemerintah.Â
Salah seorang yang merasa takut melontarkan kritik karena khawatir diserang para buzzer adalah ekonom senior tanah air, Kwik Kian Gie. Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Industri di era kepemimpinan Presiden Gus Dur ini merasa nyaman berada di zaman pemerintahan Presiden Soeharto. Menurutnya, zaman pemerintahan penguasa orde baru (Orba) tersebut dirinya diberi kolom sangat longgar oleh salah satu media besar nasional untuk menyampaikan kritik-kritik tajam, tanpa khawatir diserang oleh kata-kata kasar para buzzer.Â
Apa yang diakui Kwik adalah haknya berpendapat. Meski perbandingan yang dia utarakan tersebut tidak aple to aple. Kwik lupa, zaman pemerintahan Presiden Soeharto belum marak internet dan media sosial. Jadi sekeras apapun mengkritik pemerintah, paling banter langsung berhadapan dengan pemerintah atau pihak-pihak yang berkepentingan. Saat itu, boleh jadi tidak banyak masyarakat yang tahu tentang kritikan-kritikan Kwik, sehingga masyarakat pun tak peduli.Â
Namun, kini zaman telah berubah. Segala fasilitas internet dan media sosial telah banyak menyebar hingga hampir ke seluruh pelosok tanah air, sehingga informasi apapun langsung bisa cepat diakses. Wajar, bila ada pernyataan-pernyataan atau statement kita yang tidak sepaham dengan masyarakat atau buzzer, langsung mendapatkan perlawanan.Â
Jadi, bila Kwik tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, lebih baik tutup semua akun media sosialnya. Bebas perkara. Karena, jika berharap pada Presiden Jokowi atau pemerintah untuk mengamankan masyarakat atau buzer rasanya cukup sulit, karena jumlahnya begitu banyak. Kecuali, mungkin kalau hanya buzzer-buzzer yang memang dibayar oleh pihak Istana. Kalau ada.Â
Kembali pada statement Presiden Jokowi, rupanya tidak hanya menggugah masyarakat sipil biasa. Mantan Presiden RI, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun tak luput memberi tanggapannya. Presiden RI ke-6 tersebut membuat perumpamaan kritikan dan pujian dengan obat dan gula. Hal ini disampaikan SBY melalui akun twitter resmi miliknya, @SBYudhoyono.Â
Dikutip dari CNN Indonesia, SBY mengatakan, kritikan itu diibaratkan obat yang terasa pahit, namun bisa mencegah atau menyembuhkan penyakit. Sedangkan gula, menurut SBY ibarat pujian. Bila dikonsumsi berlebihan akan mengakibatkan saki atau kegagalan.Â
"Sementara, pujian dan sanjungan itu laksana gula. Jika berlebihan dan hanya untuk menyenangkan, justru bisa menyebabkan kegagalan," kata dia.Â