Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Petani - Serabutan

Ikuti kata hati. Itu saja...!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kwik Nostalgia Zaman Orba, SBY Menepuk Air di Dulang Terpercik Muka Sendiri

13 Februari 2021   20:23 Diperbarui: 13 Februari 2021   20:37 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


BELUM lama ini Presiden Joko Widodo (Jokowi), meminta terhadap seluruh elemen masyarakat agar lebih aktif mengkritisi pemerintah. Pernyataan orang nomor satu ini langsung ditanggapi beragam. Ada yang menyambut baik, ada pula yang malah mencibir. 

Sebagian pihak ada yang mengatakan bahwa statement Presiden Jokowi tersebut layak diapresiasi, lantaran menandakan pemerintah terbuka dan tidak alergi kritik. Mereka benar-benar ingin mempraktikkan arti demokrasi dengan baik. Setiap warga negara bebas mengemukakan pendapat. 

Namun pada sisi lain, ada pula yang menilai pernyataan Presiden Jokowi ini ibarat pisau bermata dua. Kerap kali kritikan tajam yang diarahkan pada pemerintah berujung proses hukum. 

Mereka berpendapat, bila pemerintah benar-benar terbuka dan siap dikritik, semestinya regulasi yang berlaku sekarang dibenahi terlebih dahulu. Misal UU ITE, ujaran kebencian. Malah, ada pula yang menghendaki pemerintah membereskan dulu para pendengung atau buzzer. Mereka kerap kompak menyerang siapapun yang dianggap keras terhadap pemerintah. 

Salah seorang yang merasa takut melontarkan kritik karena khawatir diserang para buzzer adalah ekonom senior tanah air, Kwik Kian Gie. Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Industri di era kepemimpinan Presiden Gus Dur ini merasa nyaman berada di zaman pemerintahan Presiden Soeharto. Menurutnya, zaman pemerintahan penguasa orde baru (Orba) tersebut dirinya diberi kolom sangat longgar oleh salah satu media besar nasional untuk menyampaikan kritik-kritik tajam, tanpa khawatir diserang oleh kata-kata kasar para buzzer. 

Apa yang diakui Kwik adalah haknya berpendapat. Meski perbandingan yang dia utarakan tersebut tidak aple to aple. Kwik lupa, zaman pemerintahan Presiden Soeharto belum marak internet dan media sosial. Jadi sekeras apapun mengkritik pemerintah, paling banter langsung berhadapan dengan pemerintah atau pihak-pihak yang berkepentingan. Saat itu, boleh jadi tidak banyak masyarakat yang tahu tentang kritikan-kritikan Kwik, sehingga masyarakat pun tak peduli. 

Namun, kini zaman telah berubah. Segala fasilitas internet dan media sosial telah banyak menyebar hingga hampir ke seluruh pelosok tanah air, sehingga informasi apapun langsung bisa cepat diakses. Wajar, bila ada pernyataan-pernyataan atau statement kita yang tidak sepaham dengan masyarakat atau buzzer, langsung mendapatkan perlawanan. 

Jadi, bila Kwik tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, lebih baik tutup semua akun media sosialnya. Bebas perkara. Karena, jika berharap pada Presiden Jokowi atau pemerintah untuk mengamankan masyarakat atau buzer rasanya cukup sulit, karena jumlahnya begitu banyak. Kecuali, mungkin kalau hanya buzzer-buzzer yang memang dibayar oleh pihak Istana. Kalau ada. 

Kembali pada statement Presiden Jokowi, rupanya tidak hanya menggugah masyarakat sipil biasa. Mantan Presiden RI, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun tak luput memberi tanggapannya. Presiden RI ke-6 tersebut membuat perumpamaan kritikan dan pujian dengan obat dan gula. Hal ini disampaikan SBY melalui akun twitter resmi miliknya, @SBYudhoyono. 

Dikutip dari CNN Indonesia, SBY mengatakan, kritikan itu diibaratkan obat yang terasa pahit, namun bisa mencegah atau menyembuhkan penyakit. Sedangkan gula, menurut SBY ibarat pujian. Bila dikonsumsi berlebihan akan mengakibatkan saki atau kegagalan. 

"Sementara, pujian dan sanjungan itu laksana gula. Jika berlebihan dan hanya untuk menyenangkan, justru bisa menyebabkan kegagalan," kata dia. 

SBY memang tidak dengan jelas terhadap siapa cuitannya tersebut ditujukan. Namun, bila dikaitkan dengan momentum saat ini, rasanya tidak salah bila yang dimaksud dengan cuitan mantan Ketua Umum Partai Demokrat tersebut diarahkan pada Presiden Jokowi dan pemerintahannya. 

Memang, sejak berada luar lingkaran pemerintahan, SBY bisa dengan mudah menyindir atau seolah menasihati pemerintah. Toh, dia tidak dibebani apapun. Yang ada malah mungkin mendapat simpati dari kelompok-kelompok yang bersebrangan dengan pemerintah. 

Padahal, sewaktu SBY masih menjabat sebagai presiden juga tidak benar-benar terbuka terhadap segala kritik yang dialamatkan terhadapnya. Sama halnya terjadi pada pemerintahan Presiden Jokowi, zaman SBY pun tak sedikit para pengkritik yang berujung pada penahanan. 

Dikutip dari tirto.id, aktivis Gerakan Frontier,  I Wayan "Gendo" Suardana dan Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Monang Johannes Tambunan terpaksa harus mendekam dalam penjara karena dianggap telah mengkritik Presiden SBY saat terjadi demo kenaikan BBM pada tahun 2004. Pasal yang dijatuhkan terhadap kedua orang tersebut adalah pasal penghinaan. Kemudian, masih ada beberapa nama lainnya yang juga bernasib serupa. Selengkapnya ada di sini. 

Merujuk pada peristiwa tersebut di atas, semestinya SBY berkaca pada diri sendiri. Pada saat dia menjabat pun tidak benar-benar terbuka, bahkan terkesan anti kritik. Jadi, sedianya SBY berhati-hati dalam setiap narasi atau sindiran yang dialamatkan pada pemerintah. Jangan sampai menepuk air di dulang terpercik muka sendiri.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun