SENI menurut Wikipedia adalah keahlian membuat karya yang bermutu, seperti tari, lukisan, ukiran. Seni meliputi banyak kegiatan manusia dalam menciptakan karya visual, audio, atau pertunjukan yang mengungkapkan imajinasi, gagasan, atau keperigelan teknik pembuatnya, untuk dihargai keindahannya atau kekuatan emosinya.Â
Namun demikian, seni juga tidak melulu soal unsur-unsur yang mengandung aspek keindahan. Dalam dunia politik pun dibutuhkan seni atau biasa disebut political of art.Â
Seni berpolitik tentu bakal jauh berbeda penerapannya dengan seni yang biasa kita saksikan di panggung-panggung drama, pameran atau show-show lainnya, yang dimaksudkan agar orang-orang yang disuguhi karya seni tersebut terhibur dan mendapatkan kebahagiaan.Â
Sedangkan seni berpolitik cenderung mengarah pada cara-cara memenangkan pertarungan atau menjatuhkan pihak lawan dengan smooth, tenang dan diam-diam. Mampu memainkan ritme dengan baik. Politisi semacam ini biasanya tahu betul kapan bertindak tegas, keras, tenang dan membuat gaduh. Manajemen 'timing' benar-benar dikuasainya.Â
Tidak banyak politisi tanah air yang memiliki jiwa seni dalam berpolitik. Rata-rata politisi yang ada hanya main grusa-grusu, asal bicara, serta menyerang lawan dengan terang-terangan. Akibatnya kerap terjadi perseteruan melalui perang narasi kotor di media massa atau media sosial. Maksudnya agar pihak lawan jatuh.Â
Lalu, siapa di tanah air yang memiliki seni berpolitik? Bila menilik pada beberapa peristiwa politik terakhir, nama Presiden Jokowi patut dikedepankan. sejauh ini Wong Solo tersebut masih fokus dengan cara mainnya yang seringkali membuat lawan kebingungan dan blunder sendiri.Â
Korban seni berpolitik Presiden Jokowi dengan cara diam-diam namun menghanyutkan, kemudian memainkan ritme dengan akurat telah cukup banyak. Namun, dalam kesempatan ini hanya beberapa saja yang akan dibahas.Â
Sebut saja diantaranya mantan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab.Â
Begitu kembali ke tanah air setelah merantau tiga tahun lebih lamanya di Arab Saudi, Habib Rizieq langsung membuat ulah dan petantang-petenteng. Akibatnya tak sedikit pihak menilai Presiden Jokowi tak tegas, plango-plongo dan takut. Akan tetapi, semua itu salah besar. Ternyata, orang nomor satu di Indonesia ini sepertinya sengaja membiarkan mantan pentolan FPI itu membuat blunder.Â
Pun, saat Habib Rizieq merasa kedudukannya sejajar dengan Presiden Jokowi. Kala itu, dia meminta Jokowi membebaskan tersangka terorisme seperti Abu Bakar dan ulama-ulama kriminal seperti Bahar bin Smith. Lalu memaksa dialog, sampai mengancam akan mengadakan revolusi berdarah jika tidak dituruti. Presiden Jokowi tetap diam dan tenang, hingga tiba saatnya dia bertindak. Habib Rizieq pun tak berkutik kemudian ditahan, dan ormas FPI dibubarkan.Â
Yang paling heboh tentu saja soal bergabungnya Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Siapapun tahu betul bahwa kedua tokoh ini mantan rival utama Presiden Jokowi pada Pilpres 2019 lalu. Serangan-serangan politik hingga menohok masalah pribadi Jokowi, tak segan dilancarkan oleh Prabowo dan Sandiaga uno, termasuk kolega-koleganya yang berdiri di kubu oposisi.Â
Kendati begitu, Jokowi hanya diam. Bahkan, berkat kecerdikan dan kelihaiannya dalam memainkan langkah serta ritme politiknya, kedua mantan rivalnya itu malah "bertekuk lutut". Keduanya sekarang malah rela menjadi pembantunya dengan duduk di posisi menteri.Â
Baru-baru ini, Â ada nama Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan drama kudetanya. Presiden Jokowi juga hanya diam ketika diminta untuk menjawab surat dari AHY.Â
Memang sudah seharusnya Presiden Jokowi diam. Buat apa memaksakan diri menjawab surat konfirmasi yang dilayangkan AHY, toh dia tidak berkepentingan dengan kisruh internal partai berlambang Mercy tersebut. Lagi pula, isu-isu pengambilalihan kekuasaan dan faksi-faksi yang terjadi di tubuh partai politik adalah hal lumrah. Dengan demikian tidak perlu dibesar-besarkan. Malah, bila Jokowi meresponnya, bukan mustahil menjadi preseden buruk. Jadi, daripada harus terjebak, lebih baik diamkan saja.Â
Jika memang ada anak buah Presiden Jokowi yang terlibat, dalam hal ini Moeldoko. Ya, silahkan Partai Demokrat selesaikan sendiri masalahnya tanpa harus melibatkan Presiden Jokowi.Â
Bagi saya, drama kudeta kepemimpinan Partai Demokrat adalah isu politik menyebalkan sekaligus lucu. Untuk melakukan kudeta atau Kongres Luar Biasa (KLB) itu harus meminta ijin majelis tinggi Demokrat, yang diduduki oleh SBY. Dari sini saja kita tentu tidak akan habis pikir, bagaimana bisa terjadi KLB apabila jabatan penting selain ketua umum dipegang oleh ayahnya sendiri.Â
So, mungkin dengan hebohnya drama kudeta Partai Demokrat, Presiden Jokowi hanya senyum saja. Tidak perlu dia sampai turun dan menjawab drama murahan AHY dan kolega lainnya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H