KEBERANGKATAN Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) masuk dunia politik bisa dibilang masih seumur jagung. Yakni, sekitar empat tahunan kurang. Tepatnya, saat mantan tentara berpangkat mayor tersebut tiba-tiba saja ikut dalam kancah Pilgub DKI Jakarta 2017.Â
AHY yang berpasangan dengan Sylviana Murni tampak percaya diri menghadapi dua pasangan kandidat lainnya. Ahok-Syaiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.Â
Telah diprediksi sebelumnya, pasangan AHY-Sylviana tidak mampu berbuat banyak. Dan, harus menerima kenyataan sebagai juru kunci. Itu artinya terlempar dari persaingan perebutan kursi kekuasaan di ibu kota.Â
Terjunnya AHY dalam dunia politik sebenarnya cukup banyak yang menyayangkan. Pasalnya, dia disebut-sebut sebagai prajurit yang berprestasi dan memiliki karier militet cemerlang.Â
Namun, itulah takdir dan jalan hidup AHY. Tak ada angin, tak ada hujan, mendadak jadi bagian percaturan politik nasional.Â
Cerita selanjutnya mungkin telah sama-sama ketahui. AHY sepertinya mau tidak mau harus berkiprah dalam politik. segala jabatan di internal partai dia duduki. Mulai dari Ketua Kogasma, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, dan kemudian puncaknya sebagai ketua umum.Â
AHY dipercaya menjadi ketua umum, tentu dengan harapan mampu menampilkan wajah partai lebih fresh dan keluar dari bayang-bayang stigma buruk. Yakni, dianggap sebagai partai korup.Â
Stigma ini bukan omong kosong. Selama Partai Demokrat berkuasa, cukup banyak petinggi-petinggi partai yang terjebak dalam pusaran korupsi. Diantaranya, Muhamad Nazarudin, Anas Urbaningrum, Jero Wacik, Sutan Batugana dan Angelina Sondakh.Â
Namun, sejak di bawah komando AHY, Partai Demokrat tetap angin-anginan. Suami Anisa Pohan ini masih belum bisa mengangkat nama partai lebih baik. Sepertinya, ingatan publik masih belum lupa dengan perilaku kader-kader partai. Selain itu, AHY juga lebih cenderung menjadi wayangnya SBY dalam menggerakan roda partai.Â
Artinya, sebagai ketua umum, AHY belum bisa sepenuhnya mandiri. Banyak yang percaya, semua tindakan dan sikap yang keluar sebenarnya aktornya adalah SBY sendiri, termasuk dengan isu yang sedang panas saat ini. Yakni soal kudeta kedudukan AHY di Partai Demokrat. Â
Lewat keterangan pers, putra sulung SBY ini dengan gamblang menyatakan akan ada aksi 'kudeta' di Partai yang dia pimpin. Kekuasaannya akan digulingkan oleh 5 orang. Mengejutkan, dalam tuduhannya, AHY langsung mengarah ke Istana. Konon salah seorang yang akan melakukan kudeta tersebut adalah pejabat tinggi pemerintahan. Dalam hal ini, Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko.Â
Statement cenderung menuduh itu lantas dijawab Moeldoko dengan singkat, padat dan menohok. Dikutip dari Kompas.com, ada beberapa poin yang disampaikannya. Yaitu, jangan menyebut isu upaya pengalihan dengan pihak istana, jangan ganggu Jokowi, yang disebut Moeldoko tidak tahu apa-apa soal isu ini, pemimpin jangan "baper" dan jangan mudah terombang-ambing, jika tidak ingin anak buahnya kabur, lebih baik diborgol saja, dan terakhir adalah kudeta itu tidak berasal dari luar, tapi dari dalam partai.Â
Apa yang disampaikan Moeldoko dalam amatan saya sarat dengan sindiran terhadap AHY. Bila kakak kandung Ibas cerdas, mestinya dia bisa mengartikan pesan mantan Panglima TNI tersebut. Kemudian, memperbaiki internal partai supaya tidak semakin karam dan ambyar.Â
Tapi, apabila AHY lebih mengedepankan emosi dan terpengaruh dengan pola pikir lama, maka responnya tidak akan berbeda dengan Partai Demokrat ketika masih dinahkodai SBY. Baperan dan selalu menempatkan diri sebagai playing victim.Â
Pertanyaannya, apabila pernyataan Moeldoko terbukti benar, tidak ada upaya kudeta seperti yang dituduhkan, beranikah SBY menurunkan AHY dari jabatan sebagai Ketum Partai Demokrat? Karena, berharap AHY mundur dengan sukarela rasanya bagai pungguk merindukan bulan.Â
Kenapa saya harus melontarkan pertanyaan di atas? Karena, rasanya bila Partai Demokrat tidak tampak perubahan apapun, lebih baik SBY saja yang jadi ketua umum. Soalnya, percuma jabatan itu diwariskan, tapi keleluasaan mengelola partai tidak diberikan. Ibarat kata, kepala dilepas, tapi ekornya tetap diikat.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H