TRI RISMAHARINI, Menteri Sosial (Mensos) baru, menggantikan Juliari Peter Batubara, langsung menjadi trending topik tak lama setelah dilantik Presiden Jokowi pada pekan terakhir, Desember 2020. Gebrakannya "membongkar" wajah Kota Jakarta mengundang apresiasi banyak pihak.Â
Meski tak terpikirkan sebelumnya, aksi Risma---nama kecil Tri Rismaharini blusukan ke wilayah-wilayah kumuh yang berada di sekitaran kantor dinasnya tidak mengagetkan. Aktivitas tersebut kerap dia lakukan saat masih menjabat Wali Kota Surabaya selama dua periode.Â
Risma memang satu dari sedikit kepala daerah yang memiliki etos kerja tinggi dan tanggungjawab terhadap amanah yang diembannya. Maka, tak heran bila dia dipercaya Presiden Jokowi. Dengan harapan, etos kerja dan sikap amanahnya ini bisa diterapkan di jabatan barunya.Â
Sejauh ini, Risma mampu menjawab kepercayaan tersebut. Tidak butuh waktu lama setelah dilantik, wanita kelahiran Kediri 20 November 1961 ini langsung meninjau kondisi tempat tinggal warga di wilayah sekitar kantor Kementerian Sosial. Salah satu yang ia kunjungi adalah kolong jembatan.Â
Tak berhenti sampai di situ, Risma juga beberapa kali melakukan blusukan dan mengajak para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) agar mau dipindahkan ke panti rehabilitasi sosial. Kemudian, kemarin, bagian wilayah Thamrin yang jadi sasaran blusukannya. Di sana, dia menemukan beberapa orang gelandangan, dan langsung diajaknya ke rumah penampungan.Â
Apa yang dilakukan Risma ini adalah contoh pejabat publik yang tidak pandai menata kata, namun sarat dengan aksi nyata. Tidak heran, bila manfaatnya langsung bisa dirasakan oleh rakyat jelata.Â
Coba bandingkan dengan pejabat publik yang bisanya hanya pandai menata kata tanpa aksi nyata. Yang mereka lakukan hanya beretorika. Sementara masyarakat bawah dibiarkan sengsara. Pagi makan, siang, sore dan malam kembali puasa.Â
Namun, ternyata apa yang dilakukan Risma ini tidak memuaskan semua pihak. Ada saja pihak-pihak yang menyerangnya, terutama para politisi pusat. Mereka seakan menganggap gebrakan Risma ini sebagai ancaman.Â
Menurut dari beberapa portal berita yang saya baca, blusukan Risma ke wilayah-wilayah kumuh DKI Jakarta dinilai tidak sekadar mengintepretasikan jabatannya sebagai Mensos. Aksi Risma ini ada udang di balik batu. Risma tengah mencoba untuk bermanuver politik.Â
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Fadli Zon pun seperti biasa tak betah berdiam diri. Meski tak secara langsung diarahkan pada Risma, namun sindirannya tentang pejabat negara yang kerap blusukan mudah ditebak arahnya. Sasarannya adalah Risma.Â
Dikutip dari CNN Indonesia, menurut Fadli, blusukan merupakan sebuah hal yang bagus. Namun, menurutnya, pejabat negara yang kecanduan melakukan blusukan harus diperiksa karena dikhawatirkan mengalami gangguan gila pencitraan.Â
"Blusukan secara proporsional bagus saja sbg cara melihat langsung lapangan. Tp klu kecanduan blusukan maka harus diperiksa jgn2 gangguan "gila pencitraan," kata Fadli dalam cuitan akun twitternya, Selasa (5/01/21).Â
Jujur, saya tidak habis pikir dengan pola pikir politisi di negeri ini, khususnya yang bersebrangan dengan pemerintah. Saat ada pejabat negara yang berlaku korup dan lemah etos kerjanya diserangnya habis-habisan. Dalihnya tidak becus kerja, salah pilih dan lain sebagainya.
Mungkin untuk pejabat negara seperti itu bisa kita pahami. Jangankan politisi oposisi, kita saja sebagai masyarakat biasa akan bertindak serupa. Kita pastinya akan merasa kecewa dan marah terhadap pejabat korup dimaksud.Â
Namun, anehnya saat ada pejabat publik yang benar-benar mengabdikan dirinya untuk masyarakat dan relatif bersih, para politisi ini masih saja kebakaran jenggot. Mereka seolah tidak senang dengan keadaan itu.Â
Hal ini makin membuktikan bahwa para politisi oposisi ini tidak memiliki sikap jelas. Bagi mereka apapun yang ada dalam diri pemerintah adalah salah. Jika demikian halnya, bohong bila mereka berkoar sebagai pihak yang berfungsi menyeimbangkan atau mengontrol tindak-tanduk pemerintah dan para pejabatnya.Â
Yang ada dalam benak mereka hanya bagaimana caranya menjatuhkan marwah pemerintah. apapun caranya.Â
Jika dipikir-pikir, pola pikir politisi yang katanya kumpulan orang-orang dengan intelektualitas tinggi ini nyatanya masih kalah oleh masyarakat biasa. Dalam hal ini, masyarakat masih bisa berpikir jauh lebih obyektif. Salah bilang salah. Yang benar, patut apresiasi.Â
Jadi, tak ada kata pantas yang bisa disampaikan terhadap mereka, selain "anehnya politisi negeri".Â
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H