PEROMBAKAN atau reshuffle Kabinet Indonesia Maju (KIM) jilid II telah dilaksanakan di Istana Negara, pada Rabu (23/12). Pada kesempatan tersebut, Presiden Jokowi melantik enam menteri baru menggantikan nama-nama sebelumnya. Ada yang dinilai kurang maksimal dalam menjalankan tugasnya, dan ada pula yang tersandung masalah kasus korupsi.Â
Sekadar mengingatkan, keenam nama menteri baru tersebut adalah Tri Rismaharini sebagai Mensos menggantikan Juliari Peter Batubara, Sandiaga Uno menjadi menteri pariwisata dan ekonomi kreatif yang sebelumnya dijabat Wishnutama.Â
Kemudian, ada nama Budi Gunadi Sadikin menggantikan Terawan Agus Putranto sebagai Menteri Kesehatan. Ketua GP Ansor Yaqut Kholil Kaumas menggantikan Fachrul Razi sebagai Menteri Agama. Ada pula nama Sakti Wahyu Trenggono mengganti Edhy Prabowo sebagai Menteri KKP dan Muhammad Luthfi diangkat sebagai menteri perdagangan menggantikan Agus Suparmanto.Â
Perombakan kabinet tersebut dinilai sebagian pihak sebagai wujud keseriusan Presiden Jokowi dalam membenahi kinerja para pembantunya yang dipandang masih kurang maksimal. Maka, dengan hadirnya nama-nama baru di kabinetnya diharapkan bisa menjawab segala kekurangan yang terjadi pada pemerintahan Presiden Jokowi di tahun sebelumnya.Â
Meski begitu, ada juga yang menilai reshuffle kabinet ini tidak akan banyak berpengaruh bagi performa tim kabinet secara keseluruhan. Sebab, masih ada nama-nama menteri yang dipilih berdasarkan komitmen atau jatah politik partai tertentu. Selain itu, tidak mewakili basis akademi yang dimiliki masing-masing menteri.Â
Misal, posisi Menkes yang sekarang digawangi oleh Budi Gunadi Sadikin. Dia sama sekali bukan berbasis ilmu kesehatan atau dokter, melainkan seorang jebolan Fisika Nuklir ITB.Â
Namun, Presiden Jokowi tentu tidak sembarang memilih nama. Dia pasti telah melewati serangkaian proses dan bahkan mungkin tes kelayakan sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan kepada enam menteri yang baru dilantik. Kita sebagai warga negara dan masyarakat biasa hanya bisa berharap, semoga kinerja para menteri baru ini sesuai ekspektasi.Â
Prabowo Kalah PamorÂ
Dari nama-nama keenam menteri yang baru dilantik kemarin, ada dua nama yang cukup menyita perhatian penulis. Mereka adalah Tri Rismaharini dan Sandiaga Uno.Â
Ditengarai, hadirnya dua nama menteri tersebut adalah bagian dari jatah kursi kosong yang dimiliki oleh partai politiknya masing-masing. Diketahui, sebelumnya dua menteri Jokowi dicokok KPK karena tersandung kasus korupsi, sehingga harus menanggalkan jabatannya. Keduanya adalah Mensos Juliari Batubara dari PDI Perjuangan dan Menteri KKP Edhy Prabowo dari Partai Gerindra.Â
Nah, untuk kembali mengisi jatah kursi kosong tersebut, hadirlah Risma---sapaan kecil Tri Rismaharini dari PDI Perjuangan dan Sandi---nama kecil Sandiga Solahudin Uno dari Partai Gerindra.Â
Hanya, kehadiran mereka di kabinet Jokowi tidak semuanya sesuai dengan prediksi awal. Maksudnya, nama-nama menteri yang disodorkan oleh masing-masing partai politik dimaksud tidak semuanya mengisi pos menteri yang ditinggalkan pendahulunya.Â
Hanya Risma yang sesuai dengan pos menteri yang sebelumnya milik PDI Perjuangan. Sementara, Menteri KKP yang ditinggalkan Edhy Prabowo justru diisi oleh Sakti Wahyu Trenggono. Sandi sendiri hanya menempati Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.Â
Pertanyaannya, kenapa Partai Gerindra tidak kembali menempati posisi Menteri KKP? Dalam hipotesis sederhana penulis, ada dua alasan realistis.Â
Pertama, Partai Gerindra boleh jadi menghindari konflik lebih jauh. Mereka tidak ingin masalah internal partai yang sedang goyah semakin terpuruk akibat memaksakan posisi Menteri KKP di bawah kendalinya.Â
Diketahui, sejak tertangkapnya Edhy dan sengkarut kepulangan Habib Rizieq Shihab yang menuai cibiran terhadap Prabowo sebagai Menhan, serta polah Fadli dan Habiburokhman yang jor-joran membela FPI membuat Partai Gerindra menuai sorotan tajam publik.Â
Bukan mustahil, apabila posisi Menteri KKP masih dipegang kader Partai Gerindra, akan timbul kecurigaan publik bahwa partai kepala burung garuda ini ingin mengamankan kebijakan-kebijakan yang sebelumnya diterbitkan Edhy Prabowo. Maka, mereka lebih memilih untuk melepas posisi Menteri KKP dan menggantinya dengan pos menteri lain.Â
Kedua, sebenarnya Partai Gerindra masih menginginkan kursi Menteri KKP. Bagaimanapun dalam setahun lebih ini mungkin telah banyak kebijakan Edhy yang berafiliasi langsung dengan Partai Gerindra.Â
Hanya saja, proposal yang disodorkan Prabowo Subianto selaku Ketua Umum Partai Gerindra tidak digubris Presiden Jokowi. Alasannya, bisa saja orang nomor satu ini tidak ingin kejadian miring Edhy Prabowo terulang.Â
Pertanyaannya kemudian, kenapa PDI Perjuangan masih bisa menempatkan kadernya di posisi yang sama?Â
Dalam hal ini patut diakui pengaruh Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri masih lebih unggul dibanding Prabowo. Jamak, Mega---nama kecil Megawati Soekarnoputri adalah orang yang paling berjasa atas karier politik Jokowi hingga bisa menjadi orang nomor satu di Indonesia. Karena pengaruh besarnya ini, Jokowi tidak bisa berbuat banyak.Â
Terlebih, Mega juga cerdik. Nama yang disodorkan untuk mengganti Juliari sebagai Mensos adalah Risma. Sosok yang selama ini terkenal bersih dan tegas dalam menjalankan tugasnya selaku pimpinan. Kriteria ini cocok, mengingat Kemensos selama ini rawan korupsi karena memiliki anggaran jumbo.Â
Selain itu, pengalaman Risma sebagai Wali Kota Surabaya yang kerap bersentuhan dengan rakyat juga nyambung dengan tugas barunya sebagai nahkoda Kemensos. Tak heran, diangkatnya Risma nyaris tidak ada protes dari pihak manapun.Â
Beda halnya dengan Prabowo yang menyodorkan nama Sandi. Mantan Wakil Gubernur ini hampir dipastikan tidak memiliki latar belakang tentang KKP. Sekalipun dipaksakan, akan tetap berada di bawah bayang-bayang Menteri KKP Kabinet Jokowi jilid pertama, Susi Pudjiastuti.Â
Pengaruh Susi di KKP sudah sangat kuat dan mengena di hati masyarakat Indonesia. Jika Partai Gerindra memaksakan posisi tersebut, nasibnya akan sama dengan Edhy Prabowo yang kerap mendapat cibiran. Dan, ini akan berdampak pengaruh negatif bagi Gerindra.Â
Kendati demikian, ini hanya hipotesis sederhana penulis. Jawaban pasti soal masalah di atas tentu hanya Presiden Jokowi dan dua pimpinan partai politik yang mengetahuinya. Semoga bermanfaat.Â
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H