Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Petani - Serabutan

Ikuti kata hati. Itu saja...!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Salahkan Mahfud MD dan "Bisikan Gaib" Antar Ridwan Kamil Menuju Senja Kala Politik Nasional

18 Desember 2020   12:43 Diperbarui: 18 Desember 2020   12:49 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


KASUS kerumunan massa Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Muhamad Rizieq Shihab (MRS) terus menjadi diskursus publik dan melebar kemana-mana. Bahkan, memantik perseteruan antara Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD. 

Pasca dimintai keterangan sebagai saksi atas kerumunan massa di Megamendung, Bogor, Jawa Barat, Kang Emil---Sapaan akrab Ridwan Kamil menyampaikan bahwa yang harus bertanggungjawab atas terjadinya kerumunan massa MRS ini adalah Menkopolhukam, Mahfud MD. Pemberian izin penjemputan MRS di Bandara Soeta oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi sepanjang tertib dan damai ditafsirkan berbeda oleh para pendukung pimpinan FPI dimaksud, sehingga menimbulkan kerumunan massa yang luar biasa. 

Statement Kang Emil rupanya tidak dibantah Mahfud. Melalui cuitan akun twitter pribadinya, dia siap bertanggungjawab bila dianggap sebagai biang kerok terjadinya kerumunan massa MRS. 

Schreensot akun twitter Mahfud MD
Schreensot akun twitter Mahfud MD
Patut disesali, disaat semestinya para pejabat publik ini saling bersinergi dan bahu-membahu menangani pandemi virus Korona (Covid-19) malah saling berseteru. Apa yang mereka pertontonkan benar-benar tak elok dipandang. Malah, semakin membuat publik bingung akan keseriusan mereka membangun negeri ini. 

Beruntung, Mahfud MD bersikap cukup bijak dan tidak balik menyerang atau membantah pernyataan Kang Emil. Dia bahkan siap bertanggungjawab bila memang pernyataannya dianggap cikal-bakal terjadinya kekisruhan. 

Bila Mahfud tidak terima dan kemudian menyerang balik Kang Emil, tentu perseteruan ini akan semakin panas dan panjang. Alih-alih disibukan dengan tugasnya sebagai pejabat publik, malah sibuk mencari pembenaran serta saling serang statement dan menjadi bahan tertawaan publik serta pihak-pihak yang tidak senang terhadap keduanya. 

Lepas dari sikap ksatria Mahdud MD, tudingan Kang Emil memang cukup mengagetkan. Bahkan tudingan tak disangka ini sempat dibahas penulis bersama teman-teman di grup WhatsApp. 

Rata-rata berpendapat bahwa opini Kang Emil ini cenderung aneh dan bukan atas dasar keinginannya sendiri. Dia seperti mendapat "bisikan gaib". Tentu, bisikan ini bukan tentang perkara mistis, melainkan ada pihak-pihak yang mengendalikan Kang untuk mencoreng nama baik Mahfud MD. 

Masuk akal, lantaran sebelumnya Kang Emil menegaskan akan bertanggung jawab atas kerumunan massa yang terjadi. Ia juga memohon maaf kepada masyarakat jika telah mengganggu ketertiban dan menjadi cemas. Istilah kata, pernyataan Kang Emil ini menyiratkan seorang tipikal pemimpin yang gagah dan ksatria. Selaku penduduk Jawa Barat, penulis pun sempat merasa bangga atas sikapnya itu. 

Eh, tapi kenapa sebulan kemudian sikap Kang Emil jadi jungkir balik. Dia malah menyeret Menkopolhukam, Mahfud MD. Kenapa? Menarik kita telisik. 

Tudingan Kang Emil rasanya sulit dipahami sebagai salah omong. Teman-teman WAG menduga opini yang dibangunnya cenderung bernuansa politis. Lagi, masalah Pilpres 2024.

Sudah banyak beredar di beragam lembaga survei bahwa nama Mahfud dan Kang Emil adalah dua nama yang digadang-gadang layak masuk bursa capres/cawapres 2024. Kebetulan, angka elektabilitas keduanya tidak jauh berbeda. 

Demi meraih rasa aman atau menghindari persaingan diantara mereka berdua, menyingkirkan pesaing terdekat tentu lebih masuk akal ketimbang merongrong nama-nama yang angka elektabilitasnya jauh lebih tinggi. 

Menilik hal ini, percakapan di WAG mengarah pada pihak di balik perubahan drastis Kang Emil. Sebab, tidak ada satupun teman-teman di grup WhatsApp yang berpikir bahwa opini itu murni datang dari mantan Wali Kota Bandung dimaksud. Ada pihak lain yang membisiki atau mengendalikan semua ini. 

Siapa? Kecenderungan pola pikir teman-teman lebih mengarah pada penasehat atu konsultan politiknya. Atau lebih jauhnya adalah partai pilitik yang hendak berupaya memberdayakan Kang Emil. 

Dalam politik sebuah keniscayaan praktik-praktik kotor semacam itu terjadi. Para pesaing kerap berupaya untuk menjatuhkan lawannya demi kepentingan pribadi. Hanya saja, cara yang dilakukan Kang Emil ini tidak tepat waktu. 

Patut diakui, awalnya Kang Emil digadang-gadang sebagai calon pemimpin potensial. Dia dianggap mampu menyatukan perbedaan,  low profile dan tidak neko-neko. Namun kemudian, polesan yang cukup baik itu malah dicoreng sendirinya. Dia mulai berani sedikit membangkang pemerintah pusat. 

Kang Emil tanpa diduga turut mendukung disahkannya Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja, yang jelas-jelas sudah disepakati antara DPR RI dengan pemerintah pusat. Kemudian, dia sempat menyatakan akan bersilaturahmi dengan MRS. Padahal, dia tahu betul bahwa pimpinan FPI itu dianggap simbol oposisi pemerintah. 

Dua tindakan di atas membuat citra Kang Emil langsung ambruk dimata pendukung pemerintah. Bahkan, Masyarakat Jabar sendiri tak sedikit yang menyayangkan tindakannya itu. Bahkan, citra yang sudah jelek ini diperparah dengan tudingannya terhadap Mahfud MD. 

Oke, Kang Emil sudah tak lagi berharap dukungan dari partai pendukung pemerintah. Dan, mengalihkan perhatiannya pada kalangan oposisi. Namun demikian, jalannya memperoleh dukungan dari pihak opisisi pun sepertinya harus melewati jalan berliku dan terjal. Pasalnya, jauh-jauh hari kubu ini telah mempunyai "anak emas" dalam diri Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. 

Jika dibandingkan, jelas posisi Anies jauh lebih kuat dibanding Kang Emil. Untuk bisa menggesernya cukup mustahil. Sebab, konon mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini bakal didaulat sebagai pengganti sosok Prabowo Subianto yang telah menyebrang ke koalisi pemerintah. 

Selain harus melawan Anies, kesempatan Kang Emil meraih dukungan pihak oposisi juga masih harus bersaing dengan nama cukup kuat lainnya. Yaitu, mantan Panglima TNI, Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo. 

Sejak berdirinya Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Gatot seperti mendapat panggung. Dia terus menjalin komunikasi apik dengan pihak-pihak yang bersebrangan dengan pemerintah. Misal, PA 212 dan tokoh-tokoh oposisi nasional. Hal ini membuat nama Gatot pun cukup diperhatikan menjadi jagoannya menuju kontestasi Pilpres 2024. 

Jadi, opininya menendang Mahfud itu sepertinya malah cenderung akan membuat Kang Emil terlempar dari peta persaingan. Dia masih kalah lihai dan kalah kelas bersaing dengan para politisi nasional. Alih-alih mampu melempar Mahfud, bisa jadi tudingannya itu malah mengantarkannya menuju senja kala politik nasional. 

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun