BERGABUNGNYA Prabowo Subianto dengan koalisi pemerintah pasca Pilpres sempat memantik pro kontra. Sebagian ada yang menyesalkan, tetapi sebagian lagi menyambut baik. Pasalnya, bersatunya dua rival yang saling berseteru dalam dua kontestasi kepemimpinan nasional, sehingga hampir mampu memecah belah persatuan bangsa tersebut diharapkan bisa bisa mencair.Â
Lepas dari segala pro kontra, bersatunya Prabowo dengan Jokowi semestinya merupakan keuntungan bagi bangsa dan negara Indonesia. Betapapun saat dua kubu besar dipersatukan biasanya akan menghasilkan kekuatan dahsyat, yang bakal sulit dirongrong oleh pihak-pihak yang tidak senang terhadap pemerintah. Kalaupun ada, pastinya hanya riak yang tidak akan menimbulkan dampak hebat.Â
Harapan besar itu sepertinya bakal terwujud. Pada tahun pertama pemerintahan Jokowi jilid II berjalan, Prabowo yang biasanya kerap mengkritisi pemerintah dan Jokowi, berubah menjadi benteng bagi wong Solo tersebut. Dalam beberapa kesempatan, Prabowo menunjukan loyalitasnya dengan cara membela bosnya itu dari serangan kritik pihak luar.Â
Boleh jadi karena loyalitasnya ini, Prabowo Subianto dipercaya Presiden Jokowi untuk menangani lumbung pangan nasional atau food estate. Sebuah program jangka panjang pemerintahan Indonesia, yang berguna untuk menjaga ketahanan pangan dalam negeri. Program food estate ini memiliki konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan dalam satu kawasan tertentu.Â
Dengan kepercayaan ini pula, publik mulai menggadang-gadang hal itu adalah pemberian karpet merah Presiden Jokowi pada Prabowo menuju kontestasi Pilpres 2024. Masuk akal, karena semestinya program food estate dipercayakan pada Syahrul Yasin Limpo sebagai Menteri Pertanian.Â
Tapi, menginjak tahun kedua pemerintahan Jokowi, loyalitas mantan Danjend Kopasus mulai kembali diragukan publik. Khususnya oleh para pendukung Presiden Jokowi.Â
Loyalitas Prabowo dipandang sejumlah pihak belum 100 persen. Salah satu bukti, saat Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab (HRS) kembali ke tanah air, Prabowo sama sekali tak bersuara. Padahal kedatangan HRS langsung berbuat ulah dengan menciptakan kerumunan massa beberapa kali, sehingga menabrak aturan protokol kesehatan Covid-19. Lebih dari itu, HRS dikenal sebagai simbol oposisi dan sempat menantang pemerintah.Â
Bahkan, ketika dua anak buahnya di Partai Gerindra, Fadli Zon dan Habiburokhman terang-terangan mendukung dan membela HRS, Prabowo pun sama sekali tidak terdengar menegur dan malah terkesan membiarkan anak buahnya tersebut.Â
Spekulasi pun berkembang, Prabowo memang belum benar-benar pacun pada Presiden Jokowi. Hatinya masih terbelah dua. Satu sisi untuk pemerintah, tetapi pada sisi lain masih bersama kelompok oposisinya dulu. Misal HRS.Â
Dari sini, perlahan nama Prabowo dan Partai Gerindra mulai tampak melemah di mata para Jokower atau pendukung Jokowi. Citranya semakin terancam ambyar kala Menteri KKP yang juga kader Partai Gerindra Edhy Prabowo dicokok KPK karena diduga menerima suap atas perizinan benih lobster. Prabowo dan partainya diduga akan tamat dan jalan menuju kemenangan Pilpres 2024 makin berat.Â
Perlu kerja ekstra keras bagi Prabowo dan Partai Gerindra untuk memulihkan nama baik dan kembali mendapat simpati publik. Namun, alih-alih mampu melakukannya, Prabowo malah kembali dituduh membuat blunder.Â
Sebagai Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo baru-baru ini menunjuk mantan Kepala Staf Umum TNI Letnan Jenderal (Purn) Johanes Suryo Prabowo (JSP) sebagai Ketua Tim Pelaksana Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP).Â
Kepercayaan yang diberikan JSP ini langsung menuai sorotan tajam. Pasalnya purnawirawan jendral bintang tiga tersebut merupakan sosok yang kerap mengkritisi Presiden Jokowi. Sementara, tempat JSP bernaung sekarang berada dibawah kepemimpinan wong Solo sendiri.Â
Tak sedikit pihak menilai, penunjukan JSP merupakan akhir dari politik Prabowo. Mantan Danjend Kopasus tersebut dianggap telah membunuh peluangnya menuju kontestasi Pilpres.Â
Seperti disebutkan mantan politisi Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean melalui akun twitter pribadinya, pengangkatan JSP sebagai bentuk kegagalan ujian loyalitas Prabowo terhadap Presiden Jokowi. Dan, sama halnya bunuh diri politik dan melemahkan harapannya pada Pilpres 2024.Â
Jelas dengan kegagalan ujian loyalitas dgn mengangkat Suryo Prabowo, @prabowo sama saja bunuh diri politik dan harapannya 2024 menjadi sirna. Mestinya Prabowo menunjukkan diri berpihak dan bersekutu dengan @jokowi dan pendukungnya, bukan malah menunjukkan diri berseberangan.Â
Masih dicuitkan Ferdinand dalam akun twitternya, penunjukan JSP diyakini akan ditinggalkan oleh para pendukung Jokowi. Padahal, bila ingin mencalonkan presiden, Prabowo semestinya mengambila hati kaum Jokower.Â
Saya yakin para pendukung @jokowi  tidak akan memberikan dukungan kepada @prabowo atas pengangkatan Suryo Prabowo ini, padahal bila Prabowo ingin 2024 berpeluang, dia harusnya mengambil hati kaum Jokower. Inilah blunder dan bunuh diri politik Prabowo.Â
Sebagai pihak yang telah mendeklarasikan diri bergabung dengan pemerintah, sepantasnya Prabowo dan gerbongnya fokus terhadap pemerintah. Jangan berdiri di dua kaki. Mending politik ini mampu meraih simpati dukungan sana-sini. Jika tidak, justru ditinggalkan oleh kedua belah pihak dan akhirnya ambyar. Peluangnya menjadi Presiden RI berikutnya bisa kembali terancam gagal.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H