SAAT Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara (JPB) ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus korupsi dana bansos untuk wilayah Jabodetabek, otomatis harus menanggalkan jabatannya. Dia harus fokus menghadapi proses hukum yang bakal menjeratnya.Â
Seperti halnya jabatan Menteri Kelauatan dan Perikanan (KKP) yang masih mencari tuannya, kursi menteri yang ditinggalkan JPB pun langsung menjadi diskursus publik. Beberapa pihak mulai meraba-raba siapa nama yang cocok menempati jabatan Mensos.Â
Sejauh ini ada beberapa nama yang beredar ke permukaan. Tentu nama-nama ini berasal dari politisi PDI Perjuangan, karena JPB adalah kader partai berlambang banteng gemuk moncong putih dimaksud.Â
Dari sekian nama yang beredar, nama mantan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini sepertinya berada pada garis depan. Sejumlah tokoh menilai wanita kelahiran Kediri, 20 November 1961 tersebut sangat tepat menduduki jabatan Mensos. Penilaian itu rata-rata merujuk pada prestasi kerjanya yang telah mampu membawa Kota Pahlawan lebih baik.Â
Katakanlah pada saatnya nanti Presiden Jokowi dengan hak prerogatipnya menjatuhkan pilihan pada Risma---panggilan akrab Tri Rismaharini. Kira-kira apa yang sisi baik dan buruknya bagi negara atau pemerintah? Hal ini menarik kita telisik lebih jauh.Â
Bukan hendak meramal apalagi mendahului kehendak Tuhan Yang Maha Esa, Penulis hanya sebatas ingin menyampaikan hipotesis sederhana. Dalam kesempatan ini penulis akan mencoba membedah untung ruginya bila Risma dipercaya sebagai Mensos.Â
Sisi UntungÂ
Bukan rahasia umum prestasi dan etos kerja Risma saat menjabat Wali Kota Surabaya banyak menuai pujian. Dia tipikal seorang pemimpin yang boleh disebut sangat memperhatikan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi. Risma juga terkenal tegas dan tak kenal kompromi dengan hal-hal yang berbau korup.Â
Dengan etos kerja tinggi dan cenderung bersih dari sipat korup, tentu bakal menjadi keuntungan sendiri bagi negara. Kemungkinan anggaran besar yang ada di Kementrian sosial akan benar-benar dialokasikan dengan baik dan tidak dikorupsi. Tidak seperti yang telah terjadi pada menteri-menteri sebelumnya yang terjebak kasus korupsi. Setidaknya ada tiga Mensos termasuk JPB yang dicokok KPK. Dua nama lainnya adalah  Bachtiar Chamsyah dan Idrus Marham.Â
Risma adalah seorang perempuan. Bila jadi Mensos, biasanya naluri kaum hawa lebih memiliki kecenderungan mengayomi, merawat, dan memelihara. Bukan hendak menyoal masalah gender, tetapi sepertinya Risma memang cocok. Tengok saja Mensos dari kaum pria justru jadi pesakitan KPK.Â
Berkaca pada prestasinya sebagai walikota yang mampu menjalin koordinasi sangat baik dengan semua lini, bisa menjadi bekal Risma bila dipercaya jadi Mensos. Koordinasi yang baik jelas dibutuhkan dalam menopang keberhasilan kerjanya selaku aparatur negara.Â
Sebagai tipikal pekerja keras dan tak segan turun langsung ke lapangan akan sangat menguntungkan bagi negara bila Risma jadi Mensos. Dengan mengetahui benar sektor lapangan, tentu diharapkan tidak ada lagi hal-hal miring seperti pernah terjadi sebelumnya. Misal salah sasaran bantuan atau keterlambatan distribusi bansos.Â
Itulah beberapa keuntungan yang bakal didapat pemerintah bila Risma benar-benar didaulat menjadi Mensos menggantikan posisi JPB.Â
Sisi RugiÂ
Risma bukanlah manusia super yang tidak ada cacatnya. Dia tetap saja manusia biasa yang tak luput dari khilap. Istilah kata tak ada gading yang tak retak. Setiap orang pasti memiliki kelemahan. Hal-hal yang menjadi kelemahan Risma ini pula dimungkinkan bakal menjadi sebuah kerugian pemerintah bila Presiden Jokowi mengangkatnya sebagai Mensos.Â
Masih merujuk pada pengalamannya saat menjabat Wali Kota Surabaya, Risma kerap menjadi sasaran pihak lain dan itu membuatnya meledak dan bisa sakit. Nah, karena ada benturan atau serangan dari pihak lain ini pula kadang membuatnya jatuh terpuruk.Â
Akan sangat kurang menguntungkan bagi pemerintah bila sipat baper Risma masih tertanam kuat pada dirinya. Mensos itu jabatan politis, maka sudah hampir pasti bakal banyak pihak yang iri lalu membangun narasi miring dan membuatnya baper, meledak, dan berselisih yang kadang merepotkan.Â
Tengok saja, saat masih menjabat Wali Kota Surabaya, Risma sempat hendak mengundurkan diri dari jabatannya hanya karena merasa tidak kuat lagi dengan segala tekanan yang ada. Diduga, pemantiknya adalah komunikasi buruk antara dia dengan wakil wali kotanya, Wisnu Sakti.Â
Menurut rumor yang beredar di pemberitaan media arus utama beberapa tahun lalu, keretakan terjadi karena bedanya pendekatan Risma ke masyarakat. Cara kerjanya yang ingin selalu mengedepankan pelayanan publik tidak sejalan dengan wakilnya.Â
Nah, menjadi akan sangat berabe bagi Risma bila menjadi Mensos. Tekanan yang bakal dia hadapi jelas kelasnya akan jauh berbeda saat di masih di Surabaya. Siapa tak tahu dengan para wakil rakyat yang berada di Senayan. Demi membela kepentingannya, mereka tak segan menyerang siapapun termasuk menteri.Â
Bila masih baper dan tidak kuat menahan tekanan boleh jadi Risma tidak mampu bekerja maksimal. Dia akan banyak nangis bombay ketimbang mengedepankan tanggungjawabnya sebagai menteri. Bila ini terjadi, sudah pasti bakal menghambat program pemerintah yang berada di Kementrian Sosial.Â
Namun, terlepas dari untung rugi, sudah selayaknya bagi Risma naik kelas. Pemimpin daerah moncer sepertinya memang layak mendapatkan reward sepantasnya. Kinerja, prestasi, dan capaiannya selama menjabat Wali Kota Surabaya sebagai garansi. Kalaupun dia naik kelas bukan karena kader partai atau kedekatannya dengan pribadi-pribadi tertentu.Â
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H