BICARA komedian Bintang Emon, penulis jadi ingat beberapa tahun lalu saat dirinya mulai muncul di salah satu televisi swasta nasional dalam program ajang pencarian bakat.
Ya, ajang pencarian bakat dalam seni komedi stand up atau open mix tersebut, Emon langsung menunjukan talenta luar biasanya, sehingga para juri yang dikomandoi oleh Raditya Dika kerap berdecak kagum atas aksi pangungnya. Tak salah jika pada puncak acara, anak muda yang kental dengan logat betawinya ini keluar sebagai juara.
Sejak saat itu sinar Bintang Emon yang begitu terang saat menjadi kampiun seolah hilang di telan bumi. Dia sangat jarang nongol di televisi alias On Air, menghibur para penggemarnya. Entah kalau sebetulnya dia sibuk mengisi acara-acara Off Air.
Nah, setelah sekian lama penulis tidak lagi bisa melihat aksi panggungnya bahkan beritanyapun jarang terdengar, tiba-tiba nama Bintang Emon kembali mencuat ke permukaan.
Hal ini gara-gara dia mengunggah video kritik terhadap hasil tuntutan JPU Fredrik Adhar Syaripudin terhadap dua pelaku penyiraman air keras pada penyidik senior KPK, Novel Baswedan, yang dianggap janggal dan aneh, serta adanya alasan "gak sengaja" sehingga tuntutan dimaksud menjadi rendah.
Kritikan yang disampaikan Bintang Emon tentu saja sangat jauh berbeda dengan para pengkritik dari kalangan politisi atau praktisi hukum yang kadang sarkas dan tendensius. Dia mengemasnya dalam bentuk candaan-candaan segar khas stand up comedy.
Lantas seperti apa bentuk kritik Bintang Emon tersebut?
Dalam video yang penulis tonton di chanel youtube Serambi On TV, awalnya dia mengatakan :
"Kan kita tinggal di bumi! Gravitasi pasti ke bawah, nyirem badan gak mungkin meleset ke muka."
Lewat kata-kata di atas sudah bisa dipastikan kalau Bintang Emon tengah menggunakan logika sehatnya. Kalau si pelaku penyiraman dibilang tidak sengaja menyiram air keras ke muka karena tujuannya menyiram badan, jelas hal ini sangat bertentangan dengan hukum gravitasi bumi.
![Screensot chanel youtube serambi on tv](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/06/16/img-20200616-103808-5ee84320097f360ab371cc62.jpg?t=o&v=770)
"Pak Hakim, saya niatnya nyirem badan. Cuma gegara dia jalannya bertingkah, jadi kena muka." Bisa masuk akal."
Itulah penggalan video kritik Bintang Emon yang akhirnya menjadi viral di media sosial (Medsos).
Bintang Emon Diserang
Siapa sangka, setelah unggahan video kritik persidangan kasus Novel Baswedan tersebut viral, berdampak buruk bagi si komedian lucu ini.
Bintang Emon mendapatkan banyak ancaman dari pihak-pihak tak jelas yang diduga dilakukan oleh para buzzer.Â
Bahkan salah satu penyerangnya ini tak segan menuduh anak muda yang bernama asli Gusti Muhammad Abdurrahman Bintang Mahaputra ini suka mengkomsumsi sabu-sabu.
Entah apa maksud dan kepentingan para buzzer ini menyerang sedemikian rupa terhadap Bintang Emon.Â
Apakah ini murni sebagai bentuk ketidaksukaan mereka terhadap pria kelahiran 5 Mei 1996 ini atau sebenarnya hanya sekedar pesanan dari pihak-pihak tertentu yang merasa terusik oleh kritikannya ini demi mendapatkan sejumlah uang.
Jika saja para buzzer yang menyerang Bintang Emon ini adalah buzzer-buzzer pesanan alias buzzer Rp, dalam hemat penulis ini merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat masyarakat, sekaligus tak mencerminkan negara demokrasi.
Betapa tidak, di negara yang katanya mengaku sebagai bangsa dan negara berdemokrasi ternyata masih alergi oleh kritik-kritik seperti yang telah dilakukan Bintang Emon.
Menurut penulis, kritik Bintang Emon ini tidak berlebihan dan mengada-ngada. Dia telah menggunakan nalar dan logikanya dengan benar. Tak ada SARA apalagi ujaran kebencian lainnya.
Jika hal ini terus-terusan terjadi sama halnya ruang kritik publik tinggal menunggu kematiannya dan demokrasi tak ubahnya sebagai asesories yang menempel kuat di dinding kamar. Hanya sedap untuk dipandang, tapi tak bisa dinikmati oleh banyak orang.
Pemerintah Harus Turun Tangan
Salah satu ciri negara demokrasi adalah memberi ruang terhadap publik untuk kebebasan berpendapat.
Apa yang terjadi terhadap Bintang Emon adalah bukti bahwa kebebasan itu masih belum dirasakan oprimal oleh masyarakat.Â
Untuk itu, rasanya tidak berlebihan jika pemerintah melakukan penertiban terhadap buzzer-buzzer yang menyerang Bintang Emon.
Sekali lagi, di alam demokrasi memang seharusnya tidak boleh lagi ada bentuk ancaman atau bentuk-bentuk intimidasi lainnya terhadap para pengkritik.Â
Tentu saja, selama kritikan itu konstruktif tidak mengandung unsur SARA dan ujaran kebencian atau bersifat propaganda.
Kita tentunya tidak ingin dicap sebagai negara darurat demokrasi, bukan?
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI