Misalkan, membaca alam atau lingkungan sekitar, membaca budaya dan karakteristik kehidupan masyarakat, baik perorangan maupun kelompok serta membaca hal lainnya yang dipandang perlu untuk menambah ilmu pengetahuannya sekaligus memperkaya khasanah penulisannya.
Jadi tidak sekedar menulis curhatan di medsos. Tapi, bisa lebih serius menulis hal lainnya, semisal puisi, cerpen atau karya lainnya sesuai arah minat.
Tapi, lupakan dulu hal itu. Kita kembali ke prinsip dasarnya saja.
Setelah minat baca anak atau siswa tumbuh kembang san sukur-sukur sudah menjadi kebiasaan, barulah kita melangkah pada hal lain. Yakni, jangan coba-coba membatasi imajinasi anak atau siswa dalam hal menulis.
Saat si anak atau siswa sudah mulai tertarik untuk membuat tulisan, jangan batasi tema tulisan yang ingin mereka buat.
Biarkan imajinasi mereka berkembang untuk kemudian disalurkan ke dalam tulisan. Baik itu soal binatang yang dia senangi, pahlawan yang dikagumi, kesukaan mereka, cita-cita mereka, atau mungkin hal lainnya.Â
Intinya, biarkan imajinasi mereka liar sesuai hati dan pikirannya. Asal, tentu saja sifatnya positif.
Kenapa jangan dibatasi?
Perlu diketahui, jika dibatasi hanya akan menghambat kebebasan mereka untuk mengembangkan kemampuan atau kreativitas dalam menulis. Ingat, penulis yang baik biasanya dia yang menguasai materi dan menyukainya.
Nah, setelah itu alangkah lebih baiknya jika ibu/bapak, encang/encing dan para staf pengajar bisa menyediakan media komunikasi bagi si anak atau siswa sekaligus sebagai sarana publikasi hasil tulisan mereka.
Kalau di sekolah, misalnya siapkan berupa majalah dinding (mading) atau sekedar papan di kelas dengan tema yang berbeda-beda setiap bulannya.
Media ini bisa menjadi tempat bagi siswa menyalurkan karya tulisan dan menjadi wadah aktualisasi bagi mereka. Jika dimanfaatkan dengan baik, media seperti ini dapat menumbuhkan minat siswa untuk menulis.