Sebagaimana diketahui, pada era Soeharto, masyarakat Indonesia seolah dibungkam untuk tidak bersuara lantang menentang kebijakan pemerintah. Jika membandel, akibatnya bakal patal. Lain halnya dengan sekarang, publik begitu bebas mengutarakan pendabatnya tanpa harus dibayang-bayangi rasa khawatir akan diciduk.
Dalam kehidupan berpolitik, diluar memang tampak demokratis terbukti ada 3 partai yakni PPP, Golkar dan PDI yang selalu ikut meramaikan pemilihan umum. Namun realitanya tidak demikian. Ketiga partai hanyalah boneka kekuasaan yang leadernya ada di tangan Golkar.
Di era reformasi sudah bisa kita saksikan bersama, setiap orang atau siapapun itu seolah bisa mendirikan partai politik kapanpun mereka mau selama sesuai dengan regulasi yang ada.
Pun dengan masa jabatan presiden. Pada masa orde baru, presiden bisa terus saja dicalonkan berkali-kali selama dirinya masih mampu dan kuat. Terbukti, Soeharto bisa berkuasa hingga 32 tahun lebih.
Tentu saja, hal itu berbeda dengan era reformasi. Dimana presiden maksimal hanya boleh berkuasa dua periode atau 10 tahun.
Saya rasa itulah perubahan mencolok yang dihasilkan dari era reformasi. Selebihnya justru masih sangat mengkhawatirkan atau tidak lebih baik dibanding era orde baru.
Betapa tidak, di era roformasi kasus-kasus korupsi justru malah kian marak terjadi dihampir setiap lembaga pemerintah. Buktinya tentu tidak usah dibahas lebih jauh. Bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi telah begitu banyak mencokok para karuptor selama lembaga antirasuah ini berdiri sejak tahun 2002 silam.
Pun dengan kehidupan ekonomi, sama sekali tidak bisa disebut lebih baik, apalagi saat ini negara tengah dihadapkan pada pandemi virus corona atau covid-19. Dimana ekonomi rakyat benar-benar sedang terpuruk.