Sebut saja, ketika Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020 soal Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19. Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu menyebut bahwa Perppu itu diterbitkan sebagai kepentingan oligarki.
Tidak hanya itu, Masinton juga menilai bahwa Perppu 1/2020 tersebut merupakan bentuk sabotase konstitusi UUD 45.
Kritikan lebih pedas malah datang dari koleganya Masinton, yakni Arteria Dahlan. Anggota Komisi III dari Fraksi PDIP meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencermati Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Kemudian, ketika Presiden Jokowi menerbitkan Perpres No. 64 Tahun 2020 tentang kenaikan iuran bulan BPJS Kesehatan, para politisi PDIP pun kembali mengkritik kebijakan yang diambil oleh manta Wali Kota Solo tersebut.
Mereka menilai kebijakan Presiden Jokowi menaikan iuran bulanan BPJS Kesehatan di tengah-tengah masa pandemi covid-19 adalah tindakan tidak terpuji.
"Menaikkan iuran dalam kondisi saat ini adalah langkah yang tidak terpuji. Lebih tepat dan simpatik apabila sebagian dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) direalokasikan untuk menopang BPJS," kata Hendrawan Supratikno, Jumat (15/5). (Merdeka.com).
Ada apa dengan PDIP?
Sebagain contoh kritik PDIP terhadap Presisen Jokowi tersebut di atas jelas sangat jarang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama.
Alasan adanya perubahan cukup mendasar yang diperlihatkan oleh politisi PDIP ini, menurut pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio adalah sebagai pesan kritik pedas bahwa PDIP tengah cemburu dengan Golkar.