BARU-baru ini Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, melalui siaran langsung di Instagramnya, @mohmahfudmd, Sabtu (2/5), mengatakan bahwa pemerintah sedang mengkaji atau memikirkan adanya relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Maksud relaksasi ini lantaran pemerintah menyadari, jika masyarakat terlalu dikekang bisa menimbulkan rasa stress. Dan jika ini terjadi, maka akan berpotensi menurunkan atau melemahkan sistim kekebalan tubuh atau imunitas, sehingga tubuh menjadi lemah.
PSBB itu sendiri adalah sebuah aturan pemerintah dalam upayanya memutus rantai penyebaran virus corona atau covid-19 yang dalam lebih dua bulan terakhir ini merebak di tanah air.
Prinsip dasar dari aturan ini yaitu bagaimana masyarakat diharuskan senantiasa mengurangi aktifitas yang kurang perlu, mengurangi interaksi sosial (social distancing) dan menjaga jarak fisik (physical distancing).
Guna muwujudkan PSBB ini berjalan epektif, maka beberapa aktifitas diberhentikan sementara atau dilakukan di rumah saja (work from home).
Itulah prinsip dasar dari PSBB yang sejauh ini sudah diberlakukan di beberapa wilayah di tanah air, termasuk tempat kelahiran penulis, Sumedang.
Benarkah masyarakat merasa di kekang san stress akibat adanya pemberlakuan PSBB ini, seperti diutarakan Mahfud MD?
Penulis rasa tidak sepenuhnya benar. Sebab, masyarakat termasuk penulis sendiri tidak merasa ada kekangan dalam hal ini. Ya, jika kita sedikit membatasi pergerakan atau aktifitas memang harus diakui benar adanya. Sebab, hal ini demi keselamatan dan kesehatan masyarakat sendiri, jangan sampai terpapar oleh virus asal Wuhan, China tersebut.
Jadi kesimpulannya, penulis rasa PSBB sama sekali tidak membuat masyarakat termasuk penulis stress dan merasa terkekang. Justru yang membuat masyarakat stress adalah bukan PSBB-nya, tapi jaminan hidup yang dijanjikan pemerintah itu sendiri.
Setidaknya hal ini, dapat penulis lihat dan saksikan di lingkungan terdekat. Masyarakat masih bisa berinteraksi seperti biasa meski harus dibatasi, dan masih ada masyarakat yang menjalankan usahanya, seperti berjualan, atau bekerja sebagai sopir angkutan umum dan ojek online.
Hanya saja, penghasilan mereka sangat jauh menurun semenjak adanya wabah pandemi covid-19, lalu dibarengi oleh aturan PSBB.
Nah, sebenarnya inilah yang menjadi stress masyarakat. Yaitu, mayoritas dari mereka-mereka ini tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sementara gembar-gembor pemerintah, baik dari mulai tingkat pusat hingga daerah yang berjanji akan memenuhi segala kebutuhan dasar masyarakat terdampak. Nyatanya, hingga saat ini masih belum benar-benar merata diterima oleh mereka yang berhak mendapat bantuan.
Telah banyak kasus yang muncul di berita-berita baik online, cetak atau media televisi, dimana masyarakat sangat menunggu bantuan tersebut namun tak kunjung datang. Bahkan, parahnya, kasus-kasus klise masih kerap terjadi. Yaitu, adanya bantuan tidak tepat sasaran. Ini menandakan, masih lemahnya registrasi data yang ada di pemerintah.
Kembali pada masalah telatnya pendistribusian bantuan. Sudah hampir dua minggu masa PSBB di Kabupaten Sumedang, ternyata masih banyak masyarakat yang sama sekali belum tersentuh bantuan, termasuk di lingkungan tempat penulis tinggal. Padahal katanya mereka ini sudah di data sebelumnya.
Dalam padangan penulis, jelas ini sangat memprihatinkan. Tentu saja pemerintah tidak ingin bahwa kasus yang menimpa keluarga ibu Yuli, di Kabupaten Serang terjadi lagi.
Seperti diketahui dan sempat viral di media sosial, Â sebelum meninggal, Ibu Yuli dan keluarganya selama dua hari hanya mampu minum air galon untuk menghilangkan rasa laparnya, karena telatnya bantuan.
Jadi dalam hal ini, penulis hanya berharap agar pemerintah jangan terlalu menggunakan birokrasi jelimet dalam pendistribusian bantuan terhadap masyarakat yang terdampak, jika tidak tidak ingin terjadi kasus seperti yang dialami Ibu Yuli. Naudzubillah him mindzalik.
Wakil Walikota Bogor Respon Mahfud MD
Sebagaimana disinggung pada awal tulisan, bahwa Menko Polhukam, Mahfud MD menyebut masyarakat akan stress jika terlalu dikekang karena adanya PSBB.
Pernyataan Mahfud ini direspon oleh Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim. Seperti dilansir detikcom, Dedie meminta Mahfud menjelaskan aturan mana yang membuat masyarakat merasa dikekang.
"Coba tanya pengekangan di mana? Coba tanya Pak Mahfud Md, dikekang nggak? Sekarang Mas, mau ke mana (saja) bisa kan? Nggak ada tuh dikejar-kejar polisi, dikejar-kejar tentara. Nggak ada kan?" Kata Dedie ketika dihubungi, Minggu (3/5/2020).
"Kecuali kita nggak boleh ke sana, nggak boleh ke sini. Kan massage-nya begini, mengurangi aktivitas yang tidak darurat, tidak urgent. Kecuali ada hal-hal yang sifatnya emergency," jelasnya.
Masih dilansir detikcom, Dedie berharap relaksasi PSBB ini dikaji ulang. Dia mengatakan satu-satunya cara untuk mengurangi penyebaran virus Corona (COVID-19) masih dengan PSBB. Sebab, kata dia, belum ditemukan obat dari virus Corona.
"Padahal sudah longgar (PSBB). Ini sudah longgar banget. Di seluruh dunia di-lockdown, kita di 8 sektor (yang dikecualikan masih dapat beroperasi), yang (merupakan) 70 persen dari kehidupan kita," pungkasnya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H