Bukan perkara hanya atau sedikitnya jumlah angka kematian. Ini tentang nyawa manusia, yang satu lembar nyawapun seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk melindunginya.
Tapi, dalam hal ini Luhut menilai bahwa angka kematian warga negara Indonesia yang belum mencapai 500 jiwa dianggapnya sebuah prestasi jika dibanding dengan Negara Amerika Serikat.
Padahal, kalau memang mau membandingkan dengan negara lain, kenapa Luhut tidak mencontoh Vietnam? Negara ini sukses menekan angka kasus positif dan nol persen kematian.
Kedua, menurut penulis adalah tentang gaya komunikasi dirinya yang masih belum bisa luwes. Dalam hal ini boleh jadi Luhut tidak bermaksud menyepelekan tentang jumlah kasus kematian akibat virus corona di tanah air.
Sebenarnya, dia ingin mengutarakan pada publik bahwa pemerintah tidak tinggal diam dengan adanya wabah virus corona ini.Â
Terbukti, meski jumlah penduduk kita mencapai 270 juta, namun berkat kesigapan dan keseriusan pemerintah dalam menangani pandemi virus asal Wuhan ini, jumlah kasusnya bisa ditekan. Pun dengan jumlah angka kematiannya.
Namun, lagi-lagi karena gaya komunikasi publik yang masih lemah ini menjadikan apa yang diutarakan Luhut menuai kontoversi dan multi tafsir. Sehingga pada akhirnya hanya memantik kegaduhan demi kegaduhan.
Sebelumnya, pemberitaan media massa tentang Luhut juga cukup heboh sekaligus membuat bingung publik, khususnya para pengemudi ojek online.
Dalam hal ini tiba-tiba Luhut yang juga Pejabat Ad Interim Menteri Perhubungan (Menhub) menerbitkan Permenhub Nomor 18 Tahun 2020.
Salah satu bunyi dari peraturan ini adalah memperbolehkan pengemudi ojol mengangkut penumpang di saat DKI Jakarta tengah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Padahal, untuk PSBB sendiri yang dibuatkan pedomannya lewat Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 dan dipertegas dengan turunannya lewat Pergub Nomor 33 Tahun 2020 justru menyatakan sebaliknya.