PENYEBARAN virus corona (covid-19) di Indonesia masih terus bergerak liar dan meluas. Belum ada tanda-tanda kalau virus yang berasal dari Wuhan, Provinsi Hubei, China ini berakhir dalam waktu dekat.
Pasalnya, dari sejak ditemukannya kasus positif pertama dan kedua pada 2 Maret 2020 lalu, grafik kenaikan angka kasus positif akibat virus corona terus cenderung naik tiap harinya.
Hingga hari ini, Jumat (3/4/20) menurut rilis data pemerintah yang disampaikan Juru Bicara khusus penanganan virus corona, Achmad Yurianto, jumlah kasus positif mencapai 1.986 kasus dengan 181 diantaranya meninggal dunia dan 134 orang telah dinyatakan sembuh.
Jumlah kasus hari ini berarti ada kenaikan 196 kasus dibanding hari kemarin (2/4/20) yang masih diangka 1.790 orang, dengan 170 diantaranya meninggal dunia dan 112 dinyatakan sembuh.
Dengan jumlah kenaikan melebihi angka 100 orang lebih tiap harinya jelas sangat mempeihatinkan, sekaligus membuktikan bahwa upaya pemerintah dalam upaya memutus rantai penyebaran virus corona masih tidak efektif.
Himbauan social distancing, work from home, bahkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dibarengi Undang-Undang Darurat Kesehatan yang sudah berjalan tiga hari sejak diumumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap saja tidak mampu berbuat banyak.
Kenapa?
Karena pemerintah pusat maupun daerah masih terus memberi peluang terhadap pergerakan orang atau masyarakat di luar rumah.
Boleh jadi kalau social distancing dan work from home statusnya masih himbauan. Tapi PSBB sudah mulai tegas dengan adanya UU darurat kesehatan, yang di dalamnya ada sanksi-sanksi hukum yang harus ditegakan. Namun, nyatanya sama saja dengan waktu sebelumnya, PSBB juga tumpul alias tidak mampu menjadikan masyarakat mentaatinya.
Bahkan, anehnya lagi di saat PSBB sudah berjalan, pemerintah atau Presiden Jokowi malah meniadakan larangan mudik terhadap masyarakat. Jelas menurut penulis ini kontradiktif dengan PSBB yang diinginkan pemerintah.
Jujur penulis tidak paham dengan logika berpikir para pemangku kebijakan dalam menerbitkan sebuah aturan. Sepertinya, masalah pandemi virus corona ini hanya dijadikan barang mainan semata.
Jika sudah seperti ini mau sampai kapan bencana nasional non alam ini akan berakhir, jika pergerakan masyarakat tetap dibiarkan.
Penulis paham atas apa yang diutarakan Presiden Jokowi, bahwa aturan yang diberlakukannya itu agar roda ekonomi tidak macet. Maka dari itu, presiden hanya meminta jaga jarak dan jaga jarak. Padahal bagaimana bisa terjadi jika interaksi sosial dan pergerakan masyarakatnya masih cukup padat.
Contoh kecil, saat Presiden Jokowi meniadakan larangan mudik. Sudah pasti, jaga jarak seperti yang diinginkan Jokowi sulit terjadi. Karena pemudik ini mayoritas menggunakan traspormasi umum, yang sudah barang tentu akan berhimpitan.
Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Sekarang pertanyaannya, mampukah pemerintah mengantisifasi pegerakan virus corona yang kemungkinan besar sudah bereksodus ke daerah?
Sebenarnya pertanyaan ini tidak penting. Karena mau bagaimanapun caranya pemerintah harus mampu karena sudah menjadi kewajiban mereka untuk melindungi rakyatnya dari ancamana apapun termasuk virus corona.
Hanya saja bentuk perlindungannya seperti apa, itu yang masih belum penulis pahami hingga hari ini. Padahal sebagaimana dilaporkan Badan Intelejen Negara (BIN), penyebaran virus corona baru akan mengalami puncaknya pada bulan Juli 2020 mendatang atau kurang lebih 3 bulan dari sekarang.
Melansir dari Kompas.com, BIN memprediksi bahwa penyebaran kasus yang diakibatkan virus corona pada bukan Juli ini akan mencapai 106.287 kasus.
Data ini disampaikan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan covid-19, Doni Monardo, dalam rapat kerja dengan Komisi IX lewat konfrensi video, Kamis (2/4/20).
"Puncaknya pada akhir Juni dan akhir Juli," kata Doni.
Masih dilansir dari Kompas.com, menurut Doni berdasarkan data BIN, penyebaran virus corona akan mengalami lonjakan pada akhir Maret sebanyak 1.577 kasus, akhir April 27.037 kasus, akhir Mei 95.451 kasus dan di akhir Juni menembus angka 105.765 kasus.
Dari jumlah kasus tersebut, masih dikatakan Doni terdapat 50 kabukaten/kota prioritas yang memiliki risiko tinggi tentang peningkatan penyebaran virus corona. Dan, 49 persennya berada di Pulau Jawa.
Sejujurnya penulis merinding sekaligus ngeri jika prediksi BIN ini terjadi. Ini pada akhir Juni nanti jumlah kasus di tanah air melebihi angka 100 ribu jiwa yang terinfeksi. Lalu, tidak terbayangkan berapa jumlah angka kematiannya, mengingat persentase kematian di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia.
Jika dihitung dari kalkulasi hari ini, bahwa jumlah kasus mencapai 1.986 dengan angkat kematian 181 kasua, berarti persentase kematiannya adalah 9,1 persen.
Tentunya prediksi dari BIN ini tidak boleh terjadi. Artinya pemerintah perlu memikirkan cara yang paling tepat lagi agar upaya memutus rantai penyebaran virus corona ini benar-benar berjalan efektif.
Mampukan pemerintah mematahkan prediksi BIN? Penulis kira harus mampu, karena ini menyangkut keselamatan dan nyawa warga negaranya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H