Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Darurat Sipil dan Dampaknya bagi Psikologis Warga Negara

31 Maret 2020   17:04 Diperbarui: 31 Maret 2020   19:08 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


LONJAKAN jumlah kasus positif virus corona (covid-19) di tanah air memang cukup mengkhawatirkan. Dalam beberapa waktu terakhir, tidak kurang dari seratus orang dinyatakan terjangkit virus asal Wuhan, Provinsi Hubei, China ini.

Kondisi ini, jika terus dibiarkan tentu saja tidak hanya mengancam keselamatan dan kesehatan seluruh penduduk di tanah air, tapi juga aspek-aspek lainnya. Seperti, sosial, ekonomi, budaya dan agama.

Betapa tidak, di saat jumlah angka kasus positif di Indonesia tidak atau belum sebanyak negara-negara lainnya, terutama Italia, Amerika, Spanyol dan tentu saja China sebagai sumber datangnya pandemi covid-19, sendi-sendi kehidupan di tanah air banyak hampir lumpuh.

Sebetulnya, pemerintah bukan tidak melakukan sesuatu. Sudah cukup banyak langkah-langkah dan kebijakan guna penanganan dan memutus rantai penyebaran virus corona ini. Dan, yang paling ngetrend hingga anak kecil pun bisa melapalkannya, yakni social distancing dan work from home.

Sayang, jika dilihat dari terus-menerus terjadi lonjakan jumlah kasus positif virus corona tiap harinya di tanah air, menandakan anjuran atau himbauan pemerintah terkait dengan untuk selalu diam di rumah tidak berjalan efektif.

Apalagi, fenomena seiring merebaknya pandemi virus corona dan adanya himbauan pemerintah, terjadi arus mudik prematur dari Ibu kota Jakarta ke beberapa daerah, termasuk diantaranya adalah ribuan warga yang pulang ke Sumedang, Jawa Barat.

Kondisi ini mau tidak mau akan sangat membahayakan dan berpotensi besar terjadinya penyebaran virus covid-19 di daerah.

Mengingat hal ini, desakan demi desakan agar pemerintah segera menerapkan lockdown datang dari sejumlah kalangan. Namun, tuntutan ini belum belum membuahkan hasil. Pemerintah bergeming dengan keputusannya dengan cara-cara menjaga jarak dan mengurangi interaksi sosial. Meski untuk selanjutnya rencana ini akan diiringi dengan instrumen hukum yang berlaku.

Apa itu?

Ya, menyadari social distancing dan work from home tidak berjalan efektif, kemarin, Senin (30/3), pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi menerbitkan himbauan baru, berupa pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Pada intinya, PSBB ini tidak jauh berbeda dengan social distancing. Hanya saja, dalam penerapannya kali ini dibarengi dengan sejumlah sanksi bagi yang dianggap melanggar.

Bahkan, dalam penerapan PSBB ini, Presiden Jokowi juga menyebut-nyebut soal darurat sipil.

"Sehingga tadi juga sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Presiden Jokowi. Dikutip dari detikcom.

Mendengar kata darurat sipil, sejujurnya penulis cukup kaget juga. Pasalnya, hal tersebut identik dengan status negara dalam keadaan terancam dan gawat.

Benarkah segawat itu dan apa makna dari darurat sipil itu sendiri?

Seperti dilansir asumsi.com, Pakar Hukum Tata Negara, Jimly Asshiddiqie, dalam buku "Hukum Tata Negara Darurat" yang terbit 2008 lalu menjelaskan, keadaan darurat sipil merupakan keadaan yang tingkatan bahayanya paling rendah dibanding darurat militer atau keadaan perang. Karenanya, tidak diperlukan operasi penanggulangan yang dipimpin oleh suatu komando militer.

Dalam hal ini, anggota tentara atau pasukan militer keberadaannya hanya untuk membantu. Sedangkan operasi penanggulangan tetap berada di bawah kendali dan tanggung jawab pejabat sipil.

Jika boleh di simpulkan, jika pembatasan sosial berskala besar ini dibarengi dengan aturan darurat sipil, ini berarti warga masyarakat "dipaksa" untuk tidak keluar rumah dengan dibawah ancaman pasukan militer.

Jelas ini, menurut penulis hal ini akan sangat berdampak pada beban mental atau fsikologis masyarakat. Betapa tidak, saat mereka (masyarakat) dihadapkan dengan ancaman penyebaran virus ditambah dengan adanya "ancaman" dari pasukan militer akan membuatnya semakin dicekam rasa takut.

Terlebih jika di dalam rumahnya tak ada satupun aktifitas yang bisa dikerjakan, tentunya akan membuatnya lebih stress. Jika ini terjadi, bukan tidak mungkin justru akan menimbulkan penyakit kejiwaan.

Maaf, tingkat kejiwaan atau emosional masing-masing orang itu akan sangat berbeda-beda. Bagi yang bermental kuat, mungkin darurat sipil ini tidak akan begitu bepengaruh.

Tapi, bagaimana dengan yang jiwa dan mentalnya rapuh, apa tidak akan menimbulkan traumatik?

Jadi dalam pikiran sederhana penulis, sebenarnya, jika tidak ada kepentingan politik dan lain sebagainya.  masalah bisa dibuat sesedehana mungkin.

Dalam artian, himbauan social distancing dan work from home pun bisa berjalan efektif asal pemerintah bisa memastikan jaminan hidup warganya.

Kenapa penulis menyebut demikian?

Karena yang selama ini yang kerap tidak menghiraukan himbauan pemerintah ini adalah masyarakat kecil yang dikejar-kejar oleh kebutuhan hidupnya. Sedangkan untuk masyarakat yang berkecukuoan relatif lebih menurut, karena mereka sudah tidak lagi memikirkan ekonominya.

Nah, bagaimana dengan posisi keuangannya?

Maaf, kalau boleh penulis usul, selama ini pemerintah selalu menyalurkan dana desa (DD) ke seluruh desa-desa yang ada di tanah air. Nah, maksud penulis adalah, rasanya untuk sementara ini dana tersebut bisa dimanfaatkan terlebih dahulu untuk kepentingan warganya dalam hal menutupi kebutuhan hidupnya.

Memang betul, ada yang perlu dikorbankan. Dalam hal ini mungkin pembangunan insfrastruktur desa. Tapi, apalah artinya pembangunan jika kondisi masyarakatnya dihadapkan pada posisi serba kesusahan.

Meski begitu, tentu saja, penggunaan DD ini harus dibuatkan dulu perundang-undangannya atau regulasi yang jelas agar pemanfaatannya ini tidak dianggap melanggar aturan.

Sekali lagi hanya pikiran dan usulan sederhana penulis. Tentu saja, dalam hal ini pemerintah lebih paham dan mengerti untuk mengantisifasi kemelut saat ini.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun