Bahkan, dalam penerapan PSBB ini, Presiden Jokowi juga menyebut-nyebut soal darurat sipil.
"Sehingga tadi juga sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Presiden Jokowi. Dikutip dari detikcom.
Mendengar kata darurat sipil, sejujurnya penulis cukup kaget juga. Pasalnya, hal tersebut identik dengan status negara dalam keadaan terancam dan gawat.
Benarkah segawat itu dan apa makna dari darurat sipil itu sendiri?
Seperti dilansir asumsi.com, Pakar Hukum Tata Negara, Jimly Asshiddiqie, dalam buku "Hukum Tata Negara Darurat" yang terbit 2008 lalu menjelaskan, keadaan darurat sipil merupakan keadaan yang tingkatan bahayanya paling rendah dibanding darurat militer atau keadaan perang. Karenanya, tidak diperlukan operasi penanggulangan yang dipimpin oleh suatu komando militer.
Dalam hal ini, anggota tentara atau pasukan militer keberadaannya hanya untuk membantu. Sedangkan operasi penanggulangan tetap berada di bawah kendali dan tanggung jawab pejabat sipil.
Jika boleh di simpulkan, jika pembatasan sosial berskala besar ini dibarengi dengan aturan darurat sipil, ini berarti warga masyarakat "dipaksa" untuk tidak keluar rumah dengan dibawah ancaman pasukan militer.
Jelas ini, menurut penulis hal ini akan sangat berdampak pada beban mental atau fsikologis masyarakat. Betapa tidak, saat mereka (masyarakat) dihadapkan dengan ancaman penyebaran virus ditambah dengan adanya "ancaman" dari pasukan militer akan membuatnya semakin dicekam rasa takut.
Terlebih jika di dalam rumahnya tak ada satupun aktifitas yang bisa dikerjakan, tentunya akan membuatnya lebih stress. Jika ini terjadi, bukan tidak mungkin justru akan menimbulkan penyakit kejiwaan.