SENJA itu, pasir putih diterpa semilir angin sepoi-sepoi menambah suasana di sepanjang pantai timur Pangandaran menjadi lebih indah. Pemandangan air laut yang kebiruan nan bersih membuat siapa pun  betah berlama-lama menikmati indahnya keagungan karya tuhan.
Andika terhenyak dari lamunan. Mendadak matanya yang tidak begitu besar itu melotot ke sosok tubuh tanpa busana, mengambang di bibir pantai. Sontak membuat Andika berteriak, "Ada mayat ... ada mayat!"
Tak ada seorang pun yang merespon teriakannya.
Memang, saat itu suasana di sekitar pantai sudah lengang. Tak ada aktifitas apapun di sana, bahkan untuk orang yang sekadar lewat. Yang terdengar hanyalah suara deburan ombak yang bersahutan dan merdunya suara burung camar yang berlalu-lalang.
Rasa ngeri, takut dan pangilan profesi sebagai jurnalis, campur aduk dalam benak. Sempat dia sejenak menepisnya.
"Ah, aku ini bukan wartawan kriminal, polisi atau detektif. Lebih baik tinggalkan saja tempat ini," gumamnya.
Belum juga kaki Andika melangkah, tiba-tiba matanya tergoda oleh perahu besar di bibir pantai sebelah barat. Terang, otak jurnalisnya bekerja liar. Penuh tanya, sesak praduga.
"Mungkinkah orang di perahu besar itu pembunuhnya?" pikir Andika.
Tanpa pikir panjang, Andika coba beranikan diri menghampiri mayat tadi. Seorang perempuan muda dengan luka menganga di payudara bagian kiri. Sedangkan, di pelipisnya mengucur darah segar. Sambil membaca doa yang tidak begitu jelas, Andika yang berprofesi sebagai wartawan majalah dewasa itu menyeret korban ke daratan.
"Mudah-mudahan, mayat ini secepatnya ada yang menemukan. Aku harus menyelidiki perahu itu segera," pikir Andika.
Setelah mengambil foto beberapa shoot, dia bergegas menjalankan panggilan jiwanya. Ketika berhasil mendekati perahu, Andika mulai celingak-celinguk mengawasi keadaan sekitar, berlaga tokoh detektif karya Sir Arthur Conan, Sherlock Holmes. Disapu seluruh tempat yang ada di sekitar perahu dengan sorot tajam matanya. Lengang, hening, tak tampak kehidupan.