Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Prabowo Menteri, Oposisi Berani?

25 Oktober 2019   11:36 Diperbarui: 25 Oktober 2019   11:44 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HASIL Pemilu 2019 telah menempatkan sembilan partai politik (Parpol) di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), dengan jumlah 575 kursi. Mayoritas pemilik kursi-kursi tersebut adalah parpol pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin.

Berikut komposisi penyebaran kursi parpol di parlemen:
PDIP: 128 kursi
Golkar: 85 kursi
Gerindra: 78 kursi
NasDem: 59 kursi
PKB: 58 kursi
Demokrat: 54 kursi
PKS: 50 kursi
PAN: 44 kursi
PPP: 19 kursi

Dengan komposisi di atas, koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin, yang terdiri dari PDIP, Golkar, Nasdem, PKB dan PPP menguasai kursi DPR dengan jumlah 349 kursi. 

Dominasi koalisi pendukung pemerintah ini semakin kuat dengan bergabungnya Gerindra, seiring didaulatnya Prabowo Subianto dan Edhy Prabowo sebagai bagian dari jajaran menteri yang masuk dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM). Ini berarti jumlah kursi parpol koalisi pemerintah menjadi 427 atau sekitar 74,6 % .

Sebenarnya, banyak yang menyayangkan Gerindra, akhirnya memutuskan bergabung dengan koalisi pemerintah. Karena, selain sebagai leader dari partai oposisi, juga dianggap partai yang paling "bertaring" diantara partai oposisi sekarang (PKS, PAN dan Demokrat) dalam mengkritisi kebijakan pemerintah. 

Tidak hanya itu, kekhawatiran lain dengan bergabungnya Gerindra ke koalisi pemerintah menjadikan tidak sehatnya demokrasi di tanah air. 

Boleh jadi, dominasi kursi di parlemen, menjadikan pemerintah absolut, yang menyebabkan DPR hanya menjadi stempel pemerintah, seperti yang pernah terjadi di zaman Orde baru (Orba).

Kembali pada kekuatan kedua kubu, antara parpol pendukung pemerintah dan partai oposisi yang begitu timpang. Mampu dan beranikah partai oposisi menjalankan fungsinya sebagai check and balances pemerintah?...

Terlebih, dikubu koalisi pemerintah, saat ini telah ada Prabowo yang didaulat jadi menteri dan otomatis partainya, Gerindra juga ikut bergabung dengan koalisi parpol pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin. 

Sebagaimana diketahui, Prabowo bersama Gerindra lah yang mengomandoi mereka (partai oposisi) pada pemerintahan Jokowi jilid pertama.

Tentunya, pertanyaan di atas tadi menarik kita tunggu. Kendati demikian, penulis masih yakin, dalam setahun kedepan, partai oposisi (PKS, PAN dan Demokrat) tampaknya masih solid menjalankan fungsinya. Ya, hanya menjalankan fungsi. 

Perkara hasil, rasanya penulis pesimis kalau gerbong oposisi ini bisa menghasilkan kritikan yang konstruktif dan dirasakan faedahnya oleh masyarakat. Mengingat komposisi mereka yang minoritas.

Apalagi, melihat pengalaman lima tahun ke belakang. Partai oposisi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) adalah partai mayoritas alias digdaya di parlemen. Meski demikian, koalisi ini tidak mampu mempertahankan konsistensinya. 

KMP terus digembosi dan berbalik arah kepada pemerintah. Sebut saja, PPP, PAN dan Golkar. Dengan kata lain, partai oposisi hanya menyisakan Gerindra dan PKS, karena Status Demokrat tidak jelas. Partai ini sepertinya hanya cari aman dan berdiri pada politik dua kaki.

Apalagi sekarang, komposisi oposisi berada pada posisi sebaliknya (minoritas). Berkaca pada pengalaman lalu dengan peta kekuatan KMP di atas parpol pendukung pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) saja, mereka, khususnya PAN tidak kuat berada di luar ring pemerintahan, terlebih saat ini. Bukan hal mustahil karena politik iti dinamis dan cair, untuk satu dua tahun ke depan, koalisi oposisi ini kembali retak.

Kendati begitu, penulis masih yakin dan percaya, PKS akan konsisten dengan sikap politiknya. Setidaknya ada dua alasan yang penulis bisa tangkap.

PERTAMA : Investasi politik
Dengan bergabungnya Gerindra ke koalisi pemerintah, banyak pendukungnya yang kecewa. Boleh jadi rasa kecewa ini menjadikan mereka mengalihkan dukungannya pada partai lain yang dianggap sejalan dengan keinginan mereka. 

Dalam hal ini PKS boleh jadi menjadi pelabuhan para pendukung Prabowo dan masyarakat lain yang kecewa. Selain itu, PKS juga bisa meraih simpati masyarakat "anti Jokowi" yang asalnya berlabuh di gerbong Prabowo, untuk sama-sama berjuang dengan partainya.

Sikap politik seperti ini pernah dilakukan oleh PDI Perjuangan. Partai berlambang banteng gemuk moncong putih ini konsisten berada di luar ring pemerintah semasa kekuasaan SBY. Hasilnya, dua kali berturut-turut menjadi jawara Pemilu. 

Pun, dengan Gerindra. Sikap politiknya menjadi oposisi lima tahun belakangan, bisa dirasakan saat Pemilu 2019 lalu. Meski bukan pemenang Pemilu, raihan suara mereka meningkat, dari 73 menjadi 78 kursi di DPR RI.

Hal ini pula yang akan dibidik PKS dengan menempatkan diri sebagai opisisi, yaitu berinvestasi politik untuk lima tahun kedepan.

KEDUA : Tidak dikehendaki Jokowi.
Seperti dibilang, bahwa politik itu cair dan dinamis. Boleh jadi, PKS pun akan tergiur masuk koalisi pemerintah jika diiming-imingi jabatan strategis di pemerintahan. Namun, rupanya, Jokowi tidak menghendaki itu. 

Selain sudah terlalu banyak pendukung, juga belum juga direstui partai pedukungnya. Melihat gelagat ini, PKS buru-buru menyatakan sikap oposisi. Hal ini tentunya secara politik akan menguntungkan PKS. 

Daripada ketahuan, sikap oposisinya lantaran tidak diberi jatah menteri atau jabatan strategis lainnya. Seperti dialami dua partai sebelumnya (PAN dan Demokrat).

Kedua partai ini rasanya cukup sulit mendapat simpati rakyat. Lantaran kadung tahu, sikap oposisi kedua partai ini hanya gara-gara kecewa tidak diberi jatah kursi menteri. Bukan lantaran ideologi partai.

Pertanyaannya, jika dalam perjalanannya koalisi oposisi retak, masih beranikah mereka, khususnya PKS mengkritik tajam terhadap pemerintah?..

Diakui Ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwaini pada BeritaSatu.com, fihaknya secara faktual akan mengambil jarak kritis dengan pemerintah sebagai konsekuensi berdemokrasi. Namun itu semua didasarkan atas argumentasi dan data-data yang memadai.

"Kita akan mengkoreksi yang salah, mendukung yang baik. Menghindari sikap yang menganggap semua salah dan semua benar. Selama lima tahun kemarin Fraksi PKS punya banyak catatan kritis-konstruktif terhadap kepemimpinan dan kebijakan Pemerintahan Jokowi-JK, mudah-mudahan ada perbaikan ke depan," ujar legislator asal Banten ini.

Jazuli juga mengatakan Indonesia sesungguhnya punya potensi yang besar, namun demikian menghadapi tantangan yang tidak mudah.

"Tidak bisa dikelola sendiri dan butuh peran serta semua pihak, termasuk yang mengawasi dan mengkoreksi secara kritis dan konstruktif," pungkas Jazuli.

Pernyataan Jazuli dan PKS tersebut di atas tentunya masih memerlukan bukti lebih lanjut. Penulis hanya berharap, sebagai partai oposisi, mereka bisa memainkan perannya dengan optimal dan berfaedah bagi masyarakat serta menjaga wajah demokrasi tanah air tetap sehat. 

Dalam hal ini, sikap oposisi mereka menghasilkan pemikiran-pemikiran bermanfaat dan kritik konstruktif. Semoga...!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun