STATUS Jokowi selaku Presiden di republik ini rasanya mulai mendapat tekanan hebat. Bukan datang dari lawan politiknya, tapi justeru berasal dari partai pendukungnya sendiri. Fenomena ini rasanya tidak pernah terjadi di era kepemimpinan SBY.Â
Partai pendukung dibawah komando Demokrat hampir satu suara dan satu barisan. Mereka kompak mendukung apapun yang menjadi kebijakan pemerintah waktu itu.Â
Memang, sempat terjadi riak, waktu Ketua Komisi III DPR RI, Benny K Harman menginisiasi RUU KPK, tahun 2010 lalu. Padahal, dia adalah politisi Partai Demokrat yang notabene anak buahnya sekaligus partai pendukung kekuasaan.Â
Namun, ketika SBY memutuskan untuk menolak RUU KPK tersebut, serentak Benny Cs pun "mundur" tanpa ada ekses apapun. Semuanya aman terkendali.
Lain jaman SBY, lain pula jaman Jokowi. Hanya satu persamaannya, yaitu yang mengisiasi RUU KPK adalah partai pendukungnya. Kali ini, muncul dari partai pendukung terbesarnya, yakni PDI Perjuangan.
Disinilah bedanya, SBY yang juga sebagai Ketua Umum Partai Demokrat bisa memanfaatkan kekuasaanya selaku nahkoda partai untuk menolak inisiasi dimaksud.Â
Karena SBY tak perlu khawatir dan takut tersandera DPR. Â Selain perolehan kursinya waktu itu dominan di parlemen. Partai koalisinya pun nurut dan mendukung putusan SBY.
Lalu, bagaimana sekarang, ketika Jokowi yang bukan anggota partai manapun, kecuali diakui Megawati Soekarno Putri sebagai petugas partainya, dihadapkan pada situasi serupa?....
Sudah kita ketahui bersama, dia seolah tersandera oleh partai pendukungnya sendiri. Entah sadar atau dalam posisi tertekan oleh partai pendukung.Â
Tanpa disangka oleh elemen masyarakat, khususnya penggiat anti korupsi, Jokowi menyetujui RUU KPK yang berpotensi besar melemahkan kinerja lembaga antirasuah dibahas DPR untuk selajutnya disepakati bersama, antara pemerintah dan DPR.Â
RUU KPK disahkan menjadi UU KPK versi revisi. Padahal, awalnya masyarakat menduga, hal tersebut bakal ditolaknya. Ini tentunya tak lepas dari janji Jokowi bahwa akan berdiri paling depan dalam pemberantasan korupsi di republik ini.
Salah satunya akibat disahkan UU KPK pula, gelombang aksi mahasiswa membanjiri gedung DPR dan DPRD di daerah. Namun, Jokowi bergeming dengan putusannya (tidak akan mencabut UU KPK baru) dengan dalih negara masih dalam keadaan terkendali.Â
Masyarakat, dalam hal ini diwakili mahasiswa semakin marah dan terus melancarkan aksi demo, yang akhirnya menelan korban jiwa. Randy dan Yusuf, mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) Sulawesi Tenggara, harus meregang nyawa akibat tindakan represif aparat kepolisian.
Seolah baru terbangun dari tidur, tragedi yang menimpa dua mahasiswa dibarengi menerima masukan dari beberapa tokoh masyarakat, Jokowi akhirnya melunak. Dia, berencana akan mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu, sebagai jawaban atas derasnya arus protes mahasiswa.
Sayang, belum juga Perppu diterbitkan. Jokowi sudah mulai "dikeroyok" partai pendukungnya. Sejauh ini baru dua partai yang terang-terangan mengungkapkan ketidak setujuannya atas rencana Jokowi, dan tidak menutup kemungkinan diikuti oleh partai pendukung lainnya.Â
Pertama, datang dari Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Pemenangan Pemilu, sekaligus Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan di DPR, Bambang Wuryanto.Â
Menurutnya, Jokowi dianggap tidak menghormati DPR, jika menerbitkan Perppu. Karena, masih dikatakan Bambang, ada mekanisme uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Sikap serupa juga dilontarkan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Seperti dilansir TEMPO.Com, Anggota Dewan Syuro PKB, Maman Imanulhaq, meminta Jokowi untuk mempertimbangkan kembali atas rencanannya menerbitkan Perppu.
"PKB menghormati eksistensi KPK, tapi kami meminta Presiden mempertimbangkan tidak perlu mengeluarkan Perpu," ujar Maman Imanulhaq saat ditemui Tempo di Kompleks Parlemen, Senayan, Ahad, 29 September 2019.
Menurut Maman pihak-pihak yang tidak sepakat dengan poin-poin perubahan UU KPK bisa mengambil jalan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.
"Tidak perlu keluar Perpu seperti itu, kita tempuh jalur konstitusi lain yang lebih rasional, kita menghormati sistem agar tidak terjadi preseden buruk," ujar Maman.
Maman berharap Jokowi menghargai kerja DPR yang telah berbulan-bulan membahas UU KPK.Â
"Kalau dipatahkan hanya dengan Perpu misalnya, bisa jadi preseden buruk. Itu kan akan melelahkan sekali,"Â ujar dia.
Entah kenapa dua anggota partai ini malah seolah melarang Jokowi menerbitkan Perppu yang jelas sedang ditunggu dan diharapkan masyarakat. Apa yang menjadi dasar pemikiran partai-partai ini seolah keberatan diterbitkannya Perppu.Â
Apakah benar, seperti yang dikatakan Maman, hanya semata menghindari preseden buruk atau jangan-jangan ada hidden agenda dibalik semua ini?..
Entahlah, namun yang pasti, kedua partai ini tidak sejalan dengan keinginan Jokowi. Mereka terus menyandera Jokowi dengan sikap partainya yang cenderung menolak Perppu.Â
Atau mungkinkan sikap partai ini hanya sebatas gertak sambal untuk menaikan nilai tawar mereka dalam rebutan jatah kursi menteri?...Karena, sejauh ini baru kedua partai itu yang secara blak-blakan minta jatah. Bahkan, jatah yang dimintanya cukup banyak. Ya, semua dalam politik bisa saja terjadi. Wassallam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H