Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penghuni Gubuk Tua

23 September 2019   22:14 Diperbarui: 23 September 2019   22:55 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore itu, Andika sedang menikmati pemandangan pesawahan yang luas terhampar. Sambil duduk di jok motor bebek jadul, pemuda yang belum genap 23 tahun itu seolah hanyut dalam alam lamunan.

Tiba-tiba, suara riuh bocah mengagetkannya. Sebentar ia menoleh ke arah suara itu, tampak bocah-bocah kecil sedang mengolok-olok seorang kakek tua dengan pakaian penuh tambalan, melintas di jalanan tempat Andika nongkrong.

"Orang gila ... Orang gila ... Orang gila," sebut para bocah sambil berlarian, menjauh dari si kakek tua.

Diolok-olok, orang gila, rupanya si kakek tua tidak tampak sedikit pun rasa kesal apalagi marah. Sebaliknya, dia hanya tersenyum sambil terus berjalan mendekat ke arah Andika.

Andika penasaran. Ditunggunya kakek tua tersebut hingga mendekat. Setelah berjarak kurang lebih dua meter, Andika coba menahan laju si kakek.

"Assalamualaikum, kek..!

"Waalaikumsallam," balas si kakek.

"Maaf, kenapa kakek sampai diolok-olok seperti sama anak-anak tadi? Apa kakek tidak merasa sakit hati?" Tanya Andika, sedikit kepo.

"He ... He ... He ... Namanya juga bocah. Buat apa diambil pusing, nak. Mungkin, karena dandanan kakek seperti orang gila."

"Oh, kakek tinggal dulu ya nak...! Assalamualaikum," Imbuh si kakek, lalu kembali melanjutkan perjalanannya.

"Waalaikumsallam," Sahut Andika. Sejuta tanya terus menghantui pikirannya. Dia yakin ada sesuatu yang disembunyikan kakek tadi.

Tak lama berselang, munculah seorang perempuan paruh baya melintasi jalan itu.

"Kebetulan," Gumam Andika.

"Permisi, bu."

"Iya, ada apa ya?" Tanya perempuan tadi.

"Maaf, saya hanya ingin bertanya..! Tadi ada seorang kakek dengan pakain compang-camping melintas kemari. Terus, dikatai orang gila sama anak-anak. Barangkali, ibu tahu siapa dia?" Tanya Andika, penasaran.

"Oh, kakek gembel itu," Jawabnya, ketus.

"Oh, jadi ibu tahu siapa kakek itu?".

"Kenal sih engga. Cuma, ibu tahu kalau dia tinggal sendirian di batas desa ini, dekat hutan. Tiap hari, pagi dan sore suka lewat jalan sini."

"Emang mau kemana dia, bu?" Tanya Andika, lagi.

"Entahlah, ibu juga tidak tahu kalau soal itu. Emangnya ada apa? Koq sepertinya penasaran, nanya-nanya kakek gembel itu."

"Ah, engga bu. Sekedar ingin tahu saja."

"Hati-hati, nak..! Ibu takut, dia itu teroris yang sedang bersembunyi. Kan, sering ibu nonton di televisi, banyak teroris yang suka bersembunyi di desa terpencil."

"Oh, gitu ya bu."

"Ya, udah kalau gitu, ibu pergi dulu ya..!"

"Oh, ya silahkan bu..! Terimakasih atas informasinya," Sahut Andika.

Setelah kepergian perempuan tadi, Andika makin penasaran akan sosok si kakek. Dia putuskan, untuk menyelidikinya sendiri ke tempat si kakek. Entah, apa yang mendorong hatinya. Rasa ingin tahu keberadaan dan kehidupan si kakek begitu besar menghantui hati Andika.
***
Menjelang magrib, Andika sudah sampai di pinggir hutan. Tampak olehnya, gubuk tua, dengan kayu-kayunya yang sudah mulai lapuk, berdiri sendiri di tengah hutan. Tanpa ada bangunan apapun di dekatnya, kecuali pepohanan dan ilalang. 

Andika perhatikan terus gubuk dari kejauhan. Tak nampak kehidupan sama sekali. Seperadukan teh kemudian, tiba-tiba dari dalam gubuk ada yang keluar. Andika terus perhatikan orang yang keluar itu. Rupanya si kakek yang dia temui tadi sore di jalan desa. Tampak oleh Andika, si kakek hanya duduk sendiri di bangku kecil depan gubuk. Pandangannya kosong seperti sedang melamun. Entah apa yang sedang dipikirkannya.

Ada rasa bimbang dalam diri Andika, antara menemuinya atau tidak. Bagaimanapun, dia belum tahu betul, siapa adanya kakek itu. Namun, melihat tidak ada orang lain lagi selain si kakek sendiri, Andika putuskan untuk mendekat.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsallam," sahut si kakek. Tampak, wajahnya kaget, melihat kedatangan Andika.

"Ada apa ya, anak muda datang kemari?" Tanya si kakek, kebingungan.

"Tidak ada apa-apa kek.! Saya hanya ingin ngobrol-ngobrol saja. Sejujurnya, saya masih merasa penasaran dengan perlakuan anak-anak tadi ke kakek. Tapi, kakek sepertinya tidak merasa marah, bahkan kesal sedikitpun,"Tutur Andika, memberitahu maksud kedatangannya.

Mendengar penuturan Andika, si kakek malah terkekeh. Tampak jelas, giginya sudah tidak ada sama sekali alias ompong.

"Koq, kakek malah tertawa?" Tanya Andika, makin penasaran.

"Soalnya, kamu lucu anak muda. Hal sepele itu buat apa dipermasalahkan. Lagian, mereka itu hanya bocah-bocah yang belum ngerti apa-apa. Jangankan mereka (bocah-bocah), siapapun, termasuk kamu juga pasti nyangka kakek ini orang gila."

"Maaf, memang tadinya saya juga berpikiran seperti itu..!" Sahut Andika, ada perasaan malu dan .menyesal dalam dirinya. Sempat terlintas pikirannya, kalau kakek ini orang gila.

"Tidak apa-apa anak muda. Memang sekarang itu jaman serba aneh. Hanya melihat sesuatu dari luarnya saja.  Tak pernah mau peduli tentang kepribadian atau hal lainnya. Kakek selalu dianggap orang gila, tidak apa-apa kalau itu maunya mereka. Yang penting, kitanya jangan ikut-ikutan gila."

Mendengar penuturan si kakek, Andika hanya bisa tertegun. Hatinya membenarkan, pada jaman sekarang banyak manusia yang terjebak pada penampilan luar.

Orang yang gagah dengan pakaian perlente langsung dihormati, padahal ternyata prilakunya tak lebih dari seorang bandit dan pencoleng, yang hidupnya hanya bisa menyusahkan rakyat.

Sebaliknya, ketika melihat orang yang berpakaian seperti si kakek, serta merta dituduh orang gila dan dilecehkan. Padahal, diketahui Andika sendiri, kakek ini sama sekali tidak gila. Bahkan, pemikirannya tulus dan bersih serta penuh dengan pelajaran hidup.

"Lalu, kenapa kakek tinggal sendirian di sini? Apakah kakek tidak punya sana saudara?" Tanya Andika, makin tertarik untuk mengorek kehidupan si kakek.

Ditanya demikian, si kakek tak langsung menjawab. Pandangannya mendadak kosong. Bahkan, sejurus kemudian, dari kedua sudut matanya keluar air mata. Andika, kaget melihat perubahan rona muka si kakek. Lekas, Andika memohon maaf. Khawatir, pertanyaannya tadi, menyinggung perasaan si kakek.

"Duh, maafkan saya kek..! Sama sekali, tak ada maksud menyinggung perasaan kakek."

"Tidak apa. Kau tidak usah minta maaf segala..! Sejujurnya, kakek punya anak. Kalau kakek mau, bisa hidup berkecukupan tinggal bersamanya. Tapi, kakek menolaknya. Seumuran kakek, sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi. Kecuali ketenangan hidup dan menyerahkan diri sepenuhnya pada sang pencipta. Itulah kenapa, kakek memilih tinggal di sini sendirian."

"Tapi, kenapa kakek nangis?"

"Kenapa kamu heran lihat orang nangis?, Hidup di dunia berpasangan. Ada siang, ada malam. Ada bahagia, ada sedih. Kebetulan, barusan kakek mendadak sedih. Bukan karena pertanyaanmu, tapi hanya ingat kelakuan kakek dulu yang penuh dosa."

"Memangnya, apa yang sudah kakek lakukan?" Tanya Andika.

"Banyak, anak muda. Sewaktu muda, kakek banyak menyusahkan orang lain. Namun, kakek tidak sempat meminta maaf pada mereka. Seberapapun, kakek mencoba mencari orang-orang yang pernah kakek lukai hatinya, tetap saja tidak ketemu. Untuk itu, kakek sengaja menghukum diri di sini. Sekalian bertafakur untuk lebih mendekatkan diri dengan maha pencipta dengan tenang. Tanpa khawatir diganggu dengan kilaunya duniawi."

"Hidup ini panggung sandiwara, dan kita sebagai aktornya. Untuk itu, janganlah sekali-kali menyimpang dari apa yang sudah ditentukan sang sutradara hidup, jika lakonmu ingin berjalan mulus sampai akhir cerita. Sekali saja kau menyimpang, jangan harap kelanjutan lakon hidupmu berjalan dengan baik, kalau tidak segera dilerbaiki." Imbuh si kakek

"Iya, saya ngerti apa yang kakek maksudkan. Kita sebagai manusia memang diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya masing-masing. Sang maha pencipta tidak akan pernah melarangnya. Tapi, tentu apapun yang kita lakukan ada konsekuensi yang harus ditanggung. Bukan begitu, kek?"

"Tepat sekali anak muda. Kita tinggal pilih saja, mau konsekuensi mana yang akan ditempuh. Segala sesuatu yang kita perbuat sudah disiapkan dengan ganjarannya masing-masing," tutur si kakek.

Merasa sudah cukup berbincang dengan si kakek dan mendapatkan pelajaran hidup. Andika pun akhirnya pamit, meninggalkan si kakek menjalani sisa hidupnya di sebuah gubuk tua di pinggir hutan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun