Mendengar penuturan Andika, si kakek malah terkekeh. Tampak jelas, giginya sudah tidak ada sama sekali alias ompong.
"Koq, kakek malah tertawa?" Tanya Andika, makin penasaran.
"Soalnya, kamu lucu anak muda. Hal sepele itu buat apa dipermasalahkan. Lagian, mereka itu hanya bocah-bocah yang belum ngerti apa-apa. Jangankan mereka (bocah-bocah), siapapun, termasuk kamu juga pasti nyangka kakek ini orang gila."
"Maaf, memang tadinya saya juga berpikiran seperti itu..!" Sahut Andika, ada perasaan malu dan .menyesal dalam dirinya. Sempat terlintas pikirannya, kalau kakek ini orang gila.
"Tidak apa-apa anak muda. Memang sekarang itu jaman serba aneh. Hanya melihat sesuatu dari luarnya saja. Â Tak pernah mau peduli tentang kepribadian atau hal lainnya. Kakek selalu dianggap orang gila, tidak apa-apa kalau itu maunya mereka. Yang penting, kitanya jangan ikut-ikutan gila."
Mendengar penuturan si kakek, Andika hanya bisa tertegun. Hatinya membenarkan, pada jaman sekarang banyak manusia yang terjebak pada penampilan luar.
Orang yang gagah dengan pakaian perlente langsung dihormati, padahal ternyata prilakunya tak lebih dari seorang bandit dan pencoleng, yang hidupnya hanya bisa menyusahkan rakyat.
Sebaliknya, ketika melihat orang yang berpakaian seperti si kakek, serta merta dituduh orang gila dan dilecehkan. Padahal, diketahui Andika sendiri, kakek ini sama sekali tidak gila. Bahkan, pemikirannya tulus dan bersih serta penuh dengan pelajaran hidup.
"Lalu, kenapa kakek tinggal sendirian di sini? Apakah kakek tidak punya sana saudara?" Tanya Andika, makin tertarik untuk mengorek kehidupan si kakek.
Ditanya demikian, si kakek tak langsung menjawab. Pandangannya mendadak kosong. Bahkan, sejurus kemudian, dari kedua sudut matanya keluar air mata. Andika, kaget melihat perubahan rona muka si kakek. Lekas, Andika memohon maaf. Khawatir, pertanyaannya tadi, menyinggung perasaan si kakek.
"Duh, maafkan saya kek..! Sama sekali, tak ada maksud menyinggung perasaan kakek."