YAMIS, adalah seorang kakek renta, yang hidup sangat sederhana di daerah terpencil. Dia sangat di segani masyarakat, karena sifatnya yang tegas dan selalu bersikap atas nama keadilan dan kejujuran.Â
Kakek Yamis tinggal bersama Firman. Cucu satu-satunya yang sudah menginjak dewasa. Ia sangat dicintai Yamis. Cinta Kakek Yamis pada Firman, melebihi cinta pada dirinya sendiri.
Kerap kali, kakek Yamis melakukan segala cara demi kebahagiaan Firman. Beruntung, si cucu cukup mahfum dengan keadaan kakeknya, yang hanya hidup dari hasil pensiun dan hasil jualan gula aren. Itu sebabnya, Â Firman tak pernah neko-neko. Dia tidak pernah minta sesuatu yang sekiranya tidak akan mampu dikabulkan kakek Yamis. Justeru kakek Yamis sendiri yang selalu merasa kasihan. Dia tahu betul, seumuran Firman, yang sudah menginjak dewasa, pasti banyak hal yang diinginkan. Layaknya, pemuda-pemuda lain yang seumuran.
Suatu malam, Yamis tengah duduk santai di beranda rumah sederhananya, sambil menikmati kopi panas. Tiba-tiba, ada seorang pemuda datang sambil tergopoh-gopoh
"Assalamualaikum, kek."
"Waalaikumsallam. Hey, kenapa kamu seperti ketakutan seperti itu?" Tanya kakek Yamis, pada pemuda tersebut, yang ternyata cucunya sendiri.
"Kek, tolong Firman kek ... !"
"Eh, ada apa ini? Cepat jelaskan pada kakek ... !"
"Tapi, kakek janji tidak akan marahi Firman kan?"
"Udah, cepat katakan! Ada apa?"
Dengan wajah yang masih pucat pasi, Firman menjelaskan, saat arah perjalanan pulang, dia dihadang dua pemuda tak dikenal. Â Kedua pemuda tersebut berniat merampas dompet dan handphonenya. Karena tidak mau menyerahkan barang, si kedua pemuda itu mengancam akan menghabisi nyawanya dengan sebilah pisau.Â
Jelas, Firman tidak tinggal diam. Dia melawan sekuat tenaga dengan ilmu beladiri yang pernah dipelajari dari kakeknya sendiri. Terjadilah perkelahian, hingga pada satu kesempatan, pisau itu berhasil dirampas Firman dan dihunuskannya pada salah seorang pemuda tersebut, tepat ke ulu hati. Pemuda jahat tersebut roboh dengan bersimbuh darah. Lalu, mati.
"Begitulah kek, ceritanya," Jelas Firman. Mukanya masih terlihat ketakutan.
"Firman mohon, tolongin Firman kek...! Firman tidak mau dipenjara."
Mendengar cerita cucunya, Yamis termangu. Mulutnya tak mampu bicara. Hanya air mata yang membasahi pipi. Isyaratkan, jiwanya tergoncang hebat.Â
Yamis tahu, cucunya adalah pemuda baik. Pembunuhan itu terjadi karena situasi terpaksa. Kendati demikian, Firman telah melenyapkan nyawa orang. Suatu tindakan melawan hukum yang pasti harus dipertanggung jawabkan secara hukum pula. Tapi, di sisi lain, naluri seorang kakek juga mengganggu pikirannya. Dia tidak rela, cucu satu-satunya ini harus mendekam di penjara. Perang hebat terus bergulat dalam batinnya.
"Kek, koq malah diam? Firman takut kek. Tolongin Firman...!" Rengek Firman, sambil memegang erat tangan  kakek Yamis.
"Cucuku...!" Ucap Yamis, kedua matanya tak henti mengeluarkan air mata.
"Iya, kek."
"Maafin, kakek tidak bisa menolongmu. Kau harus pertanggungjawabkan perbuatanmu di depan hukum...!"
"Tidak, Firman tidak mau di tangkap polisi, kek," Firman terus merengek minta bantuan kakeknya.
Firman berharap dengan pengaruh kakeknya sebagai mantan tentara dan pejuang kemerdekaan. Seluruh masyarakat, termasuk aparat kepolisian menaruh respek. Karena itu, sangat berharap, kakeknya ini bisa membebaskannya dari segala tuduhan.
"Sekali lagi, maafin kakek. Kali ini, kakek tidak bisa membantumu. Kau harus pertanggung jawabkan perbuatanmu..!" Tukas Yamis, sambil terus bercucuran air mata.
"Ingat, kau adalah cucuku...!. Cucu mantan seorang pejuang. Engkau, pasti sudah tahu siapa kakek? Apapun, akan kakek korbankan, termasuk nyawa, demi kebahagiaanmu. Tapi, untuk kali ini, kakek tidak bisa."
"Kenapa, kek?"
"Karena, kakek tidak mau punya cucu pengecut. Seorang laki-laki itu harus ksatria!" Terang kakek Yamis.
"Kakek bukannya tidak sayang padamu. Jujur, kakek sedih atas kejadian ini. Tapi, kau tetap haru bertanggung jawab...!. Bersiaplah, kakek antar kau untuk menyerahkan diri."
Demikianlah. Tidak lama kemudian, kakek Yamis, mengantar Firman ke fihak kepolisian. Apa yang dilakukan kakek Yamis ini adalah bentuk kasih sayang sebenarnya dari orang tua.Â
Jika menuruti naluri, kakek Yamis sangat ingin membela cucunya, agar lolos dari kejaran polisi atau menggunakan segala pengaruhnya demi kebebasan Firman. Dia, tidak melakukan itu. Karena, menganggap kasih sayang salah kaprah. Suatu bentuk kasih sayang, yang hanya akan menjerumuskan mental si anak menjadi manusia tidak bertanggung jawab dan berjiwa pengecut.Â
Sedangkan kasih sayang yang ditunjukan kakek Yamis, sejati-jatinya kasih sayang orang tua pada cucunya. Dia tidak lagi egois, hanya mementingkan kehidupan orang yang disayanginya untuk saat ini. Dia, lebih memikirkan apa yang akan dan harus dilewati cucunya di masa mendatang. Sungguh, kasih sayang kakek Yamis adalah kasih renta di ujung senja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H