Jelas, Firman tidak tinggal diam. Dia melawan sekuat tenaga dengan ilmu beladiri yang pernah dipelajari dari kakeknya sendiri. Terjadilah perkelahian, hingga pada satu kesempatan, pisau itu berhasil dirampas Firman dan dihunuskannya pada salah seorang pemuda tersebut, tepat ke ulu hati. Pemuda jahat tersebut roboh dengan bersimbuh darah. Lalu, mati.
"Begitulah kek, ceritanya," Jelas Firman. Mukanya masih terlihat ketakutan.
"Firman mohon, tolongin Firman kek...! Firman tidak mau dipenjara."
Mendengar cerita cucunya, Yamis termangu. Mulutnya tak mampu bicara. Hanya air mata yang membasahi pipi. Isyaratkan, jiwanya tergoncang hebat.Â
Yamis tahu, cucunya adalah pemuda baik. Pembunuhan itu terjadi karena situasi terpaksa. Kendati demikian, Firman telah melenyapkan nyawa orang. Suatu tindakan melawan hukum yang pasti harus dipertanggung jawabkan secara hukum pula. Tapi, di sisi lain, naluri seorang kakek juga mengganggu pikirannya. Dia tidak rela, cucu satu-satunya ini harus mendekam di penjara. Perang hebat terus bergulat dalam batinnya.
"Kek, koq malah diam? Firman takut kek. Tolongin Firman...!" Rengek Firman, sambil memegang erat tangan  kakek Yamis.
"Cucuku...!" Ucap Yamis, kedua matanya tak henti mengeluarkan air mata.
"Iya, kek."
"Maafin, kakek tidak bisa menolongmu. Kau harus pertanggungjawabkan perbuatanmu di depan hukum...!"
"Tidak, Firman tidak mau di tangkap polisi, kek," Firman terus merengek minta bantuan kakeknya.
Firman berharap dengan pengaruh kakeknya sebagai mantan tentara dan pejuang kemerdekaan. Seluruh masyarakat, termasuk aparat kepolisian menaruh respek. Karena itu, sangat berharap, kakeknya ini bisa membebaskannya dari segala tuduhan.