SENJA itu datang bersama sore yang hangat. Namun, bagi laki-laki paruh baya yang sedang duduk terpaku di beranda rumahnya, merasa waktu itu tak seindah biasanya. Matanya nanar memendam penyesalan. Meski penyesalan itu mungkin sudah terlambat.
Laki-laki itu mantan anggota dewan. Dia gagal terplih kembali pada pemilihan anggota legeslatif lalu. Padahal dua periode sebelumnya, dia selalu gemilang dengan mendulang suara terbanyak dalam usahanya masuk kursi parlemen. Setiap saat diiringi puja puji, tanda tangan sana sini dan menjadi pundi-pundi rupiah yang dinikmati anak isteri. Kini, itu semua tinggalah ilusi yang terus membekas di hati.
Mata nanar itu kini telah menjadi bulir-bulir bening dan merembes ke pipi. Rupanya ia menangis. Namun seberapa banyak masyarakat yang melintasi beranda rumah lelaki itu, satu pun tak ada yang peduli. Air mata buaya, begitu maksyarakat sekitar menganggapnya. Bahkan, tak sedikit pula yang menyambut kegagalan laki-laki ini dengan pesta kecil-kecilan atau sekedar minum kopi bareng di kedai terdekat.
Lamunan lelaki ini terusik, ketika mendengar ucapan salam dari seorang pria yang umurnya tak terpaut jauh dengan lelaki ini. Rupanya yang bertamu itu adalah sahabatnya waktu sekolah di bangku SMA.
"Waalaikumsallam. Eh kamu Rom, silahkan masuk....!" Ucap lelaki itu pada tamunya, bernama Romdan, biasa dipanggil Rom.
"Tumben datang kemari. Ada apa?' imbuh si tuan rumah.
"Ah sekedar ingin bertemu kawan lama saja" Jawab Romdan, sambil tersenyum.
"Oh sukurlah kau masih ingat padaku Rom" Sahut tuan rumah, lalu mempersilahkan duduk sahabatnya tersebut.
"Kenapa, dari tadi aku lihat kau duduk termenung, terus menangis?" Tanya Romdan pada tuan rumah.
Sebelum menjawab, lelaki mantan dewan yang jadi tuan rumah ini hanya tersenyum pahit. Sambil menghadap senja, memandangi sang surya yang kian tenggelam. Baru sejurus kemudian, membuka suara.
"Aku sedang sedih Rom...!" Jawabnya lirih.
"Sedih karena tidak jadi lagi anggota dewan dan kehilangan segala fasitasnya?" Tanya Romdan.
"Bukan...!" Jawabnya singkat.
"Lalu apa yang membuatmu sedih?"
"Sedih karena kelakuanku selama jadi anggota dewan. Aku lupa, aku terjerumus, aku terjebak oleh segala kemewahan yang ada" ucap lelaki itu. Tangisannya kian keras.
"Kenapa harus kau sesali. Bukankah itu semua kau lakukan dengan sadar?" Bahkan, aku dengar dari tetanggamu, kamu ini tak jarang memarahi mereka karena gara-gara tak menghormati dirimu"
"Iya, tak kupingkiri itu. Terlalu banyak dosa yang aku perbuat pada masyarakat"
"Oh jadi kamu sedih karena sekarang dimusuhi masyarakat?" Tanya Romdan lagi.
Sejenak, lelaki itu terdiam. Kemudian menggelengkan kepalanya.
"Bukan Rom. Aku tidak sedih karena mereka mencibirku, bahkan memusuhi. Karena semua itu kuanggap sebagai penebus kesalahanku"
Romdan mengernyitkan dahi, tanda hati dan pikirannya tak mengerti atas apa yang dimaksud sahabatnya itu.
"Lantas apa?"
"Selama 10 tahun jadi anggota dewan tak secuilpun jasaku pada masyarakat. Aku malah asik memperkaya diri, menikmati segala fasilitas mewah yang ada. Tapi, saat aku berkeinginan untuk memperbaiki diri, malah tak diberi kepercayaan lagi" lirih lelaki itu.
Romdan tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu.
"Sudahlah tak ada gunanya menyesal. Aku malah bangga sekarang padamu. Setidaknya kau menyesali atas semua yang pernah kau perbuat. Tak sedikit, mantan anggota dewan yang malah depresi bahkan gila hanya gara-gara tidak terpilih lagi. Tapi kau, tidak seperti itu"
"Terimakasih Rom. Lantas apa yang harus aku perbuat sekarang untuk menebus segala kesalahanku?"
"Banyak kawan. Mengabdi dan berbuat baik pada masyarakat itu tidak harus selalu jadi anggota dewan. Walau tak dipungkiri kekuasaan itu perlu" tutur Romdan.
"Caranya?"
"Kau berbaur kembalilah dengan masyarakat. Minta maaf pada mereka. Lalu, curahkan segala kemampuanmu untuk kemajuan masyarakat. Apalagi kau seorang mantan dewan, tentunya ngerti dan banyak relasi yang bisa mendukungmu untuk memajukan masyarakat...!"
"Terimaksih Rom. Kau memang sahabatku yang paling baik. Coba dari dulu kau datang ke mari. Mungkin aku tak akan tersesat jauh"
"Maaf sobat...! Bukannya aku lupa padamu, tapi aku tidak mau dianggap mendompleng kuasamu. Sebagai sahabat, aku malah senang kau tidak lagi jadi anggota dewan. Kita bisa bebas, tertawa lepas tanpa ada sedikitpun kepalsuan" tutur Romdan. Tutur bahasanya tenang.
"Iya Rom. Mulai sekarang aku janji bakal memperbaiki segala kesalahanku dan meminta maaf pada seluruh masyarakat"
"Aaminn" Balas Romdan, tersenyum bahagia.Â
Setelah ngobrol panjang lebar, akhirnya dua sahabat lama ini kembali berpisah. Romdan undur diri dan kembali lelaki mantan dewan itu termenung penuh penyesalan.
Begitulah, penyesalan memang selalu datang diakhir. Meski begitu, tak berarti kita harus berhenti dan terus dalam keterpurukan. Dengan menyesal, sejatinya membuat diri kita berusaha untuk tidak mengulang kesalahan serupa. Sehingga, penyesalan bisa dijadikan motivasi baru bagi kita menjadi individu yang lebih baik.Â
Jadi, pilihlah jalan terbaik dalam setiap langkah perjalanan hidup.. Karena perjalanan hidup datangnya cuma satu kali dan tak akan terulang lagi. Ingatlah....! Penyesalan selalu datang di akhir cerita hidup manusia.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H