Ilmu harus ada sebelum berkata dan berbuat. Beramal tanpa ilmu bisa membinasakan. Berfatwa tanpa ilmu dapat menyesatkan. Jadi, orang yang tidak berilmu namun selalu menampakkan dirinya berilmu, adalah orang sombong yang sok pintar dan sok tahu.
SUASANA malam di sebrang Griya Sumedang telah semakin pekat. Tak menakutkan. Malah sebaliknya, pekat malam itu menghangatkan. Seperti secangkir kopi Sumedang khas Rancakalong, yang berada di meja kayu pada pojokan sebuah cafe. "Kedai Kopi Hangat" begitu orang-orang menyebutnya. Sesuai namanya, inilah tempat ideal bagi orang-orang kesepian.
Ada tiga orang jurnalis yang sedang asik ngobrol. Teguh, Adit dan Deni. Mereka bertiga adalah tuan dari sebuah meja pada pojokan kedai tersebut.
Di antara mereka bertiga, Adit adalah pribadi yang paling menyebalkan. Soalnya suka bicara panjang lebar dan tak bermutu. Kesan sok tahu dan sok pintar ini membuat banyak fihak kurang suka, termasuk Teguh. Bagi pria rada hidung belang ini, segala celotehan Adit sama sekali tak penting, mengawang-awang dan jauh dari realita. Bahkan, tak sedikit yang melabeli Adit sebagai kamus berjalan. Label yang sebenarnya ironi.
"Lihatlah si Adit, dalam setiap kata-katanya seolah tahu segala hal. Padahal, tak lebih dari tong kosong nyaring bunyinya" ungkap Teguh, suatu waktu pada salah seorang sobatnya.
Kembali pada ketiga orang jurnalis yang sedang ngobrol di pojokan kedai kopi hangat. Seperti biasa, Adit mendominasi forum santai tersebut. Dia tampak antusias membicarakan tentang situasi politik Sumedang dan kisruh di dalamnya. Segala undang-undang pusat sampai ke aturan paling rendah dia utarakan dengan yakin. Semua itu diamini kedua rekannya. Meski dalam hati keduanya terbahak-bahak.Â
Sebab, aturan-aturan yang disebutkan "si kamus berjalan" adalah salah. Sebagai contoh, Adit menyebut, aturan tentang pelanggaran dan penyelengaraan pemilu adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 2014. Padahal undang-undang ini tentang pemerintahan daerah. Aturan sebenarnya adalah Undang-undang  pemilu nomor 7 tahun 2017.
"Aku kira aturan pemilu bukan itu bro," sanggah Teguh.
"Wah kata siapa?" Aku tahu betul tentang peraturan ini koq. Kamu aja yang tidak tahu" tandas Adit, yakin.
"Ooh gitu ya.." sahut Teguh lagi. Meski dalam hatinya mendumel. "Sialan lo..!!"
Sebenarnya, Teguh dan Deni bukan orang bodoh. Mereka berdua faham, Adit adalah sosok jurnalis sotoy yang bersikap sok pintar di depan siapa pun lawan bicaranya.
Andai orang lain bercerita tentang sesuatu hal, selalu tak pernah bisa di selesaikan. Karena Adt segera menyela. Bahkan dia merasa paling tahu tentang hal yang dibicarakan lawan bicaranya itu. Tak jarang, hal tersebut membuat geli. Sebab kerap kali obrolan Adit setali tiga uang dengan seorang pembual.
Begitulah Adit, paling gemar memotong pembicaraan. Dia paling tidak senang ada lawan bicara yang ngomong panjang lebar. Dia bakal sekuat tenaga berusaha untuk mengambil alih pembicaraan. Kemudian, membiarkan orang lain mendengarkannya. Sebab, pria yang sudah mendekati usia setangah abad ini tidak suka mendengarkan. Karena pikirnya merasa digurui dan terlihat tolol.Â
Mulutnya akan terasa gatal jika harus dikatup lebih dari dua menit. Dia selalu mencoba untuk didengar semua fihak dan cenderung banyak bicara agar bisa di akui kehebatan dan kepintarannya. Sebaliknya, dia akan merasa rendah diri mengakui kepintaran lawan. Bagi dia, sama halnya sebuah pukulan berat dalam hidup.
Satu hal lagi, Adit bukanlah pria yang memiliki pendirian tetap. Dia  adalah seorang plagiat jempolan. Sering mengutip kata-kata orang lain lalu di klaim jadi milik sendiri. Intinya, Adit selalu menganggap diri sebagai manusia serba tahu.
"Udahlah bro. Kamu emang hebat, segala tahu semua persoalan. Aku punya kabar mengerikan nih..!" celetuk Deni, yang sedari tadi hanya mendengarkan ocehan Adit, sambil sesekali menikmati kopi.
"Kabar apa?" Tanya Adit.
"Iya bro kabar mengerikan apa?" Teguh ikut penasaran.
Sebelum menjawab, pria berkacamata ini menarik nafas sejenak, lalu mulai bercerita.
"Di sebuah sekolah menengah atas swasta telah tejadi pembunuhan sadis terhadap dua orang siswi. Kedua leher siswi tersebut hampir putus dengan tubuh tanpa busana."
Seperti biasa, Adit langsung menyambar cerita Deni. Kemudian, bersuara lantang.
"Wah kasus ini mah udah basi kawan. Aku malah bisa menyimpulkan, kasus ini adalah pembunuhan berencana," terangnya.
"Kok bisa bro?" Tanya Teguh, penasaran.
"Dua hari lalu, aku melihat penjaga di sekolah tersebut sedang ngobrol dengan pemuda. Anehnya obrolan mereka dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Aku yakin pemuda itulah pembunuhnya. Karena sepintas dia bilang kata, RAHASIA pada penjaga itu.." Â yakin Adit lagi.
"Beneran nih bro?" Kalau begitu kebetulan. Salah satu korban itu adalah saudaraku. Sampai sekarang fihak keluarga dan polisi kebingungan menemukan pembunuhnya"
"Mau ya bro jadi saksi. Sekarang aku tinggal nelpon keluarga untuk segera memberikan keterangan baru. Kamu sebagai saksinya...!" Pinta Deni, antusias.
"Eh...ga mau ah. Males aku berurusan dengan polisi." sahut Adit.
"Pliiiiiis bro, mau ya?" Informasi kamu ini pasti sangat berarti." pinta Deni lagi.
"Engga...engga. Kalau begitu aku pulang dulu ya..! Bye.." bantah Adit. Wajahnya pucat, lalu bergegas meninggalkan kedua temannya di kedai itu.
Setelah Adit ngacir, si pria berkacamata ini langsung terbahak-bahak. Teguh pun sama tertawa keras. Rupanya kedua orang ini telah berencana, mengarang sebuah cerita untuk memancing reaksi Adit.
Adit yang awalnya bangga karena merasa lebih tahu, mendadak pucat pasi ketika diminta jadi saksi mata.
"Ha..ha..ha...ha..ha rasain. Dasar kamus berjalan" seru Deni, tertawa lepas. Happy, pancingannya sukses besar.
Sumedang, 01 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H