“ ...Bidadariku mulai tumbuh besar dan dia terlihat cantik. Aku begitu mencintainya, begitu juga dengan istriku. Bersama mereka, aku merasakan kebahagian yang lengkap sebagai seorang lelaki. Aku melihat kecerdasan di matanya. Seringkali bidadariku meminta aku untuk mendongeng, saat aku dan istriku menemaninya. Dongeng yang sengaja aku buat, karena dia tak mau mendengar dongeng lama yang didengarnya di sekolah…”
*** Indri duduk sendiri diteras rumah. Rumah yang sudah lama dia tinggalkan, sejak dia menikah dan harus tinggal bersama suaminya. Sudah 40 hari dia ada disini, sejak kematian ayahnya tercinta. Perlahan dibukanya kembali album foto dan catatan peninggalan ayahnya. Dilihatnya foto dirinya saat kecil bersama ayah dan ibunya.
Dia ingat masa kecil dulu, ayahnya suka mendongeng, dongeng bidadari yang menangis. Tentang bidadari yang berdiam di balik gumpalan awan, yang bersedih karena ditinggalkan sahabatnya karena wajahnya yang mendung. Lalu bidadari itu menangis, tangisannya berubah menjadi hujan yang membawa berkah bagi bumi. Setelah tangisannya mereda, wajah bidadari itu menjadi cerah kembali. Indri tersenyum. Masih teringat jelas, betapa dia bangga membawakan dongeng ayahnya di depan kelas.
*** “… hari itu adalah hari paling menyedihkan bagiku. Saat aku terbangun dan kudapati diriku berada di rumah sakit dengan sebelah kaki yang sudah diamputasi. Bukan…bukan kehilangan sebelah kaki yang membuatku sedih, tapi kecelakaan itu yang membuat istrku pergi untuk selama lamanya….”
Sejenak Indri berhenti membaca catatan peninggalan ayahnya. Mengenang kembali saat dimana dirinya kehilangan ibu yang dicintainya. Teringat bagaimana dia menyalahkan ayahnya sebagai penyebab kematian ibunya. Ahh..saat itu dia masih terlalu kecil untuk menerima bahwa kematian ibunya adalah takdir Tuhan.
“…kehilangan istriku tercinta, membuatku menjadi serapuh rapuhnya lelaki. Tapi aku berusaha tampak kuat di depan bidadariku. Dia tampak begitu kehilangan, dan kewajibanku untuk menguatkan, merawat dan menjaganya…..”
*** “…hari ini, bidadariku tidak menyentuh sarapan yang aku buat, sama seperti hari hari kemarin. Aku tahu mengapa dia tidak mau makan. Aku hanya tersenyum padanya, lalu kuantarkan dia ke sekolah sebelum aku berangkat kerja. Tak lupa, aku lebihkan uang jajan untuknya….”
Ya, dia ingat hal itu. Masakan yang ayahnya buat memang tidak enak. Ayahnya tidak pandai memasak, dia sudah terbiasa dengan lezat nya masakan ibunya. Pernah dia berusaha makan masakan ayahnya, agar ayahnya tidak kecewa, tapi rasanya yang tak enak membuatnya jera. Suatu ketika, saat dia kembali mencoba masakan ayahnya…
“…aku berusaha belajar memasak. Kubeli beberapa buku resep masakan, aku banyak bertanya tentang cara memasak pada rekan rekan kerjaku dan aku mencobanya dirumah. Setelah berulang kali mencoba, aku kembali menyiapkan sarapan untuk bidadriku sebelum berangkat sekolah. Dan…ternyata bidadariku tampak menikmati sarapan yang aku buat. Lalu dia memelukku dan memuji masakanku. Aku merasa bahagia sekali….”
*** “…dua tahun sejak kepergian istriku, aku memutuskan untuk mencari pengganti. Bukan sekedar istri buatku, tapi demi bidadariku, agar dia mempunyai ibu pengganti yang merawat dan mencintainya, mempunyai sahabat yang menemaninya saat aku bekerja. Dan kelak, menjadi teman dalam mengisi hari hari tuaku. Tapi bidadariku menolak. Dia marah, karena merasa aku sudah melupakan ibunya, merasa aku sudah tidak mencintai ibunya. Dan aku mencoba memahaminya, lalu kuputuskan untuk tidak menikah lagi.”
Indri terdiam sedih membaca bagian catatan itu. Dia masih terlalu kecil, ya…terlalu kecil untuk memahami keinginan ayahnya. Saat beranjak dewasa, dia baru bisa memahami keinginan ayahnya. Pernah berapakali dia menyarankan ayahnya untuk menikah lagi, tapi ayahnya menolak.
Kemudian, dilanjukannya kembali membaca catatan ayahnya…
“…sudah dua hari ini bidadariku tidak mau masuk sekolah. Dia hanya terdiam sedih ketika aku tanya. Kuputuskan untuk pergi ke sekolah menemui wali kelasnya. Dari gurunya aku tahu, jika bidadariku malu karena dihina teman temannya, dihina karena mempunyai ayah yang hanya memiliki sebelah kaki. Lalu aku masuk ke kelasnya, memohon pada teman temannya untuk tidak lagi menghina bidadariku.”
Indri ingat saat itu, saat dia kembali ke sekolah, tak ada lagi teman yang mengejek dirinya.
*** “…hari ini bidadariku akan menikah dan aku merasa bahagia untuknya. Tugasku sebagai ayah usai sudah, dan tugas itu dilanjutkan oleh suaminya, lelaki yang baik, seorang dokter yang bertugas di daerah pedalaman. Aku menyadari bahwa hariku akan sepi tanpa bidadariku. Mereka memang memaksaku untuk tinggal dengan mereka, tapi aku ingin disini menikmati masa tuaku. Aku menyadari, tidak ada ayah yang sempurna di dunia ini, tapi seorang ayah akan berusaha menjadi sempurna untuk anaknya. Dan aku sudah berusaha”
Indri menangis, tangannya bergetar saat menutup lembar catatan itu. Dia menangis merindukan ayahnya tercinta. Dan dia bangga memiliki ayah yang sempurna.
*** Rembang, Maret 2013 Elang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H