Kemudian, dilanjukannya kembali membaca catatan ayahnya…
“…sudah dua hari ini bidadariku tidak mau masuk sekolah. Dia hanya terdiam sedih ketika aku tanya. Kuputuskan untuk pergi ke sekolah menemui wali kelasnya. Dari gurunya aku tahu, jika bidadariku malu karena dihina teman temannya, dihina karena mempunyai ayah yang hanya memiliki sebelah kaki. Lalu aku masuk ke kelasnya, memohon pada teman temannya untuk tidak lagi menghina bidadariku.”
Indri ingat saat itu, saat dia kembali ke sekolah, tak ada lagi teman yang mengejek dirinya.
*** “…hari ini bidadariku akan menikah dan aku merasa bahagia untuknya. Tugasku sebagai ayah usai sudah, dan tugas itu dilanjutkan oleh suaminya, lelaki yang baik, seorang dokter yang bertugas di daerah pedalaman. Aku menyadari bahwa hariku akan sepi tanpa bidadariku. Mereka memang memaksaku untuk tinggal dengan mereka, tapi aku ingin disini menikmati masa tuaku. Aku menyadari, tidak ada ayah yang sempurna di dunia ini, tapi seorang ayah akan berusaha menjadi sempurna untuk anaknya. Dan aku sudah berusaha”
Indri menangis, tangannya bergetar saat menutup lembar catatan itu. Dia menangis merindukan ayahnya tercinta. Dan dia bangga memiliki ayah yang sempurna.
*** Rembang, Maret 2013 Elang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H