Tak lama kemudian, perempuan itu keluar dari persembunyiannya. Perempuan itu menunggu pasrah. Sang anak melihat, bagaimana tiga lelaki berwajah beringas menghampiri ibunya...memukulinya lalu kemudian menembak ibunya. Wajah beringas yang tak akan dia dilupakan.
Dia ingin menjerit dan menangis, namun tak bisa.
Setelah ketiga lelaki itu pergi, sang anak menghampiri jasad ibunya. Dikeluarkanlah tangis dan jerit yang tadi ia tahan...kepada langit...kepada bumi.
***********
Bagian 2
Pesta pernikahan ini membuatku bahagia.
Ahirnya aku bisa masuk dalam lingkaran yang selama ini aku cari.
Aku menemukan mereka saat menjadi tamu kehormatan dipestaku. Menemukan mereka yang akan menjadi pelampiasan dendamku...aku sangat bahagia.
Pesta hampir usai, tamu undangan pun sudah mulai pulang. Lalu kudengar om Wawan memanggilku.
"Elang...kemari sebentar...ada yang mau Om kenalkan denganmu"
Aku segera menghampiri om Wawan.
"Kenalkan, ini teman teman seperjuangan Om dulu, ini pak Darmawan dan ini pak Basuki" ucap om Wawan.
"Saya Elang...senang berkenalan dengan Om berdua" ucapku sambil menjabat tangan.
"Kalau ada waktu, mainlah ke tempat kami berdua" ucap pak Basuki
"Iya om...nanti kalau ada waktu, saya juga ingin dengar kisah perjuangan om dulu"
"hahaha...nanti saya ceritakan...jangan lupa..mampir kerumah" ucap om Darmawan, lalu mereka berdua pamit undur diri.
"Pasti...pasti aku akan kerumah kalian...tunggu saja kedatanganku...ada hutang yang harus kalian bayar" ucapku dalam hati.
****
Aku sempat melupakan sejenak keinginanku, terlebih lagi saat anak kami lahir. Kuberi nama Lintang, Lintang yang artinya bintang. Aku berharap dia menjadi bintang yang menerangi kebahagiaan kami.
Om Wawan sangat bahagia dengan kehadiran Lintang. Semenjak istrinya meninggal sepuluh tahun yang lalu, baru kali ini merasakan kebahagiaan.
Aku membiarkan Om Wawan dengan kebahagiaannya. Aku berikan waktu untuk dia bergembira dengan Lintang.
Sampai kemudian...Lintang beranjak besar, dan keinginanku sudah tak sanggup kutahan.
****
"Bantuan apa yang bisa saya berikan?" ucap Herman padaku.
Aku meminta Herman datang dari Yogya untuk membantuku. Aku kenal Herman dari kecil. Di Jakarta ini memang mudah untuk mendapatkan orang suruhan, tapi sedikit yang bisa dipercaya. Karena itu aku meminta Herman datang ke Jakarta.
Lalu aku mulai memberitahukan kepada Herman semua rencanaku.
"Kalau soal itu mudah...kau bisa mengandalkan aku Lang"
"Hahaha aku tahu kau bisa diandalkan Man" lalu aku memberikan segepok uang untuk Herman.
"Bersenang senanglah dengan uang itu Man...ini Jakarta. Kalau masih kurang, jangan sungkan untuk hubungi aku" ucapku pada Herman.
Dua bulan lebih Herman membantuku mengintai semua aktifitas pak Darmawan dan pak Basuki. Mempelajari kebiasaan kebiasaan mereka.
"Kenapa tak kau suruh aku saja yang membunuh mereka Lang?" tanya Herman padaku ketika aku mengantarnya ke bandara.
"Tidak Man...ini dendamku...mereka milikku...dan aku berterimakasih atas semua bantuanmu.
Herman tersenyum, lalu menjabat tanganku dan kamipun berpisah.
****
"LAGI, SEORANG PURNAWIRAWAN TEWAS KARENA KECELAKAAN"
Om Wawan Purwanto terkejut melihat berita itu, kematian tragis dua sahabatnya dalam waktu dekat begitu mengejutkannya. Lalu penyakit jantung yang dideritanya kambuh, dia pun pingsan. Hawa yang mendapati papanya pingsan segera membawa ke rumah sakit.
"Mas Elang...segera ke rumah sakit Pertamina, papa kena serangan jantung mas".
Terdengar suara Hawa yang menangis saat menelponku. Lalu secepatnya aku pergi ke rumah sakit. Semampainya disana, aku melihat Hawa dan Lintang sedang duduk diluar menunggu dengan cemas.
"Bagaimana keadaan papamu sayang?" ucapku sambil memeluknya.
"Sudah agak stabil mas...dokter lagi merawatnya di dalam"
Lalu bertiga kami menunggu di luar ruangan. Tak berapa lama dokter keluar.
"Bagaimana dok?" tanya istriku
"Sudah stabil...tapi masih perlu perawatan intensif. Oh ya..tadi pak wawan meminta pak Elang masuk kedalam" ucap dokter itu.
"Elang...masuklah ke dalam...Om ingin bicara denganmu" lemah terdengar suara om Wawan saat aku membuka pintu. Kututup pintu lalu kuhampiri Om Wawan.
Aku berdiri disamping Om wawan yang terbaring lemah, bersiap untuk mendengarkan.
"Apalagi yang kau tunggu...aku sudah siap menghadapi ajalku Aryo"
Aku sangat terkejut, bagaimana Om Wawan mengetahui nama kecilku.
"Kau terkejut? hmm..Aryo Baskoro, putra dari Letnan Baskoro, teman seperjuanganku"
"Bagaimana Om tahu tentang aku?" tanyaku heran.
"Aku mengetahuinya...sebelum aku menerimamu sebagai menantuku, aku mencari informasi atas dirimu..". Sejenak Om Wawan menghentikan ucapannya, lalu dia melanjutkan kembali.
"Tunggu apalagi nak...cabut selang itu, bunuh aku...tuntaskan dendammu..aku rela"
Perang bathin berkecamuk dihatiku, terbayang lelaki yang membunuh ibuku.
Ingin rasanya segera menghabisi lelaki yang terbaring lemah dihadapanku, lalu....
"Aku bukan pembunuh seperti Om, aku tak mau lagi membiarkan naluri pembunuh mengalir ditubuhku" ucapku pelan.
"Tapi...? kematian kedua temanku...kecelakaan itu?" tanya om Wawan heran.
"Om pikir itu ulahku? bukan Om...itu murni kecelakaan..itu kelalaian mereka...polisi bisa membuktikannya, aku tak pernah membunuh...tak pernah membunuh walaupun aku ingin sekali membunuh mereka!" ucapku tegas, lalu kusadari kalau suaraku terlalu keras.
Kemudian aku berbicara lagi, kali ini dengan pelan.
"Andai dulu ada pistol ditanganku, sudah aku tembakkan ke kepala Om, sebelum Om membunuh ibuku. Bertahun tahun aku hidup dengan itu...bahkan sampai saat aku mengenal Om, aku masih tetap ingin membunuh Om...teramat sangat ingin membunuh"
Kulihat Om Wawan meneteskan airmata, perlahan kugenggam erat tangannya.
"Semuanya berubah saat Lintang lahir, saat kulihat kebahagiaan dimata Om...saat kulihat kebahagiaan dimata Hawa istriku...saat kurasakan kebahagiaan yang ada dihatiku. Aku tak ingin anakku mempunyai ayah seorang pembunuh...aku tak mau meracuni hidupnya dengan itu. Aku ingin Lintang bangga denganku sebagai bapaknya" ucapku lalu mencium tangan Om Wawan.
"Aku tak tahu, apakah aku pantas meminta maaf padamu nak...dan..ahh..kau mirip sekali dengan Baskoro...seorang pemberani"
"Ceritakan tentang bapakku Om...ceritakan apa yang sebenarnya terjadi di tahun 1965 dulu, apakah bapakku penghianat negeri ini?". Pertanyaan yang terpendam puluhan tahun dalam hatiku aku keluarkan.
"Saat itu situasinya sangat pelik...tak tahu lagi mana kawan dan mana lawan...ada ambisi kepentingan yang besar...ada rencana besar tersusun"
"Lalu?" tanyaku
"Baskoro ada dipersimpangan...sampai ahirnya dia memutuskan untuk mengundurkan diri dalam ketentaraan. Dia tidak mau terlibat dengan situasi politik, baginya tentara itu haruslah membela dan mengamankan negeri ini, bukan terlibat dalam konflik politik"
Kembali Om Wawan menghentikan sejenak ceritanya, dia kembali merenung, lalu..
"Sampai ahirnya keluarlah perintah untuk menghabisi orang orang yang tidak sejalan. Dan Baskoro adalah satu dari sekian yang harus dihabisi. Tugas itu ada ditanganku nak...tugas untuk menghabisi Baskoro yang juga temanku."
"Kenapa ibuku juga harus dibunuh?"
"Itu perintah...harus menghabisi semuanya termasuk kamu. Dan aku terlalu pengecut untuk menolak...Bapakmu bukanlah penghianat..dia pahlawan negeri ini"
Aku menangis dan pikiranku menjadi kosong, namun kebanggaan itu perlahan mulai hadir dalam diriku.
"Siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas peristiwa itu Om?...siapa yang memberi perintah?" tanyaku kembali.
Lalu Om Wawan memberi isyarat padaku untuk mendekat, kemudian ia membisikkan sesuatu padaku.
"Kamu puas sudah mengetahuinya?" tanya Om Wawan
Aku mengangguk
"Aku juga puas bisa melepas beban ini walau dosaku terhadap keluargamu tak akan terampuni...sekarang, tolong panggilkan anakku Hawa dan cucuku Lintang ke sini...aku mau bicara dengan mereka"
Kemudian aku memanggil istri dan anakku, setelah mereka masuk, akupun keluar dari kamar itu.
Setelah satu jam, istriku keluar dan memelukku sambil menangis.
"Papa sudah pergi" isaknya dalam pelukanku.
***
Kereta yang membawa kami sudah hampir tiba di Yogyakarta.
Dua bulan sejak pemakaman Om Wawan secara militer dilaksanakan, aku membawa keluargaku pulang ke yogya.
Istriku yang duduk disampingku, sedangkan Lintang tengah asik memandang ke luar jendela kereta api.
"Ayah...lama sekali sampainya...kenapa tidak naik pesawat aja? kan bisa cepet" tanya Lintang.
"Lho..kita kan liburan...nikmati aja perjalannya, lagian pemandangannya kan indah" ucapku sambil tersenyum.
"Iya sih...tapi lama sampainya Yah"
"Lintang sayang...seringkali tanpa kita sadari, perjalanan itu lebih indah daripada tujuan"
"Maksud ayah?"
"Suatu saat kamu akan mengerti nak" ucapku sambil memeluknya.
Ahirnya kereta tiba di stasiun Tugu Yogya, kami pun turun dan berjalan keluar stasiun.
Seorang lelaki menjemput kami.
"Selamat datang den Elang, selamat datang bu"
"Makasih mang Bain...oh ya..tolong barang barangnya dimasukkan ke bagasi" pintaku pada mang Bain, sopir keluargaku di Yogya.
Setelah selesai mengemasi barang, kami pun berangkat menuju rumah.
"Ayah...apakah kakek seorang pahlawan seperti Opa?" tanya Lintang saat di dalam mobil.
"Iya...kakekmu seorang pahlawan"
"Tapi dimana kuburannya...kenapa tidak dimakamkan seperti Opa? tanyanya lagi.
"Ayah tidak tahu dimana kuburan kakekmu, yang pasti...pahlawan bisa tumbuh dan hilang dimana saja, tapi bumipun akan tersenyum menyambut jasadnya"
"Lalu...apakah ayah seorang pahlawan? tanya Lintang kembali.
"Menurut Lintang sendiri bagaimana?" aku balik bertanya sambil tersenyum kearah istriku.
Lalu mereka berdua memelukku hangat.
****
Tamat
Rembang, Oktober 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H